Judul :
Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra Indonesia
Penulis : Ayu Sutarto
Terbit : Jurnal Kritik, No. 04 Tahun 2014
Penulis : Ayu Sutarto
Terbit : Jurnal Kritik, No. 04 Tahun 2014
Tulisan
Ayu Sutarto---seorang Guru Besar Universitas Jember--- dalam Jurnal Kritik, No.
04 Tahun 2014 coba menjawab tentang eksistensi sastra bandingan, atas
pertanyaan-pertanyaan relevansi sastra bandingan di hadapan dunia yang tengah
menghadapi fenomena pascamodern akibat dari pesatnya perkembangan teknologi
informasi. Kemudian eksistentsi pendekatan-pendekatan yang menjadi telaah
sastra bandingan ketika dunia mengalami proses homogenisasi budaya.
Laju
perkembangan teknologi informasi telah membawa manusia masa kini ke dalam
berbagai sisi realitas baru dalam kehidupan. Beberapa kosa kata yang terkait
dengan gaya hidup seperti penampilan, kenyamanan, keterpesonaan, kebebasan
berekspresi, kebebasan hasrat, dan pemaknaan terhadap berbagai gejala telah
menyebabkan sebagian masyarakat kehilangan realitas-realitas masa lalu.
Topik-topik kekinian seperti fun, ekstasi, skizofrenia, libido, konsumerisme,
neo-liberalisme, kapitalisme global, dan lain-lain. Sampai kepada sastra siber
yang hadir bersama cyberporn, playstation, dan online games, berbaur
dengan berbagai krisis; moneter;
spiritual; kepercayaan.
Tradisi
bersastra di berbagai belahan bumi juga mengalami perubahan yang cukup berarti,
para pengarang yang hidup di berbagai negara dapat dengan mudah melihat perubahan
yang terjadi, termasuk yang terjadi di luar negaranya. Seperti melalui televisi
dan internet. Singkatnya, pada hari ini ketika proses homogenisasi budaya mulai
tampak kehadirannya, dan dunia sastra juga mengalami perkembangan yang pesat.
Terkait dengan tema, masalah yang diangkat, maupun dengan pendekatan dan teori
yang digunakan untuk mengkaji. Maka disiplin sastra bandingan juga harus
membuka diri guna merespon perubahan zaman, dan mengaitkan fenomena perubahan
yang terjadi untuk memperluas lahan garapan.
Arus
informasi, juga secara langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi proses
kreatif seorang pengarang. Baik ideologi maupun akidah, menjadi suatu
keniscayaan yang harus diterima sebagai penyeretan atas arus perubahan.
Beberapa bangsa bisa saja menerima perubahan tanpa sangka dan curiga, tetapi
beberapa bangsa lain juga ada yang menolak sebagian perubahan, terutama
perubahan yang mengancam identitas budaya atau identitas nasional, dengan
memberikan berbagai bentuk perlawanan. Dan berangkat dari fenomena zaman
seperti itulah, maka kiranya disiplin sastra bandingan menemukan lahan yang
lebih luas dan menarik. Melalui disiplin sastra bandingan, bangsa-bangsa yang
hidup pada era pascamodern dapat memetik pelajaran dari segala dampak positif
maupun negatif dari berbagai perkembangan dan kecenderungan global yang hadir
di tengah kehidupan mereka.
Era
pascamodern yang kita alami sekarang ini adalah era peradaban pasar. Bahasa dan
pola pikir pasar/bisnis mendominasi kehidupan sehari-hari. Peradaban pasar
dikhawatirkan menjadi pemicu terjadinya proses homogenisasi budaya. Peradaban
pasar tidak hanya mengubah gaya hidup lokal menjadi global, tetapi juga
mewarnai perkembangan ketahanan, dan nasib berbagai produk kebudayaan dan
peradaban yang berlabel lokal. Ranah pemakaian bahasa, apresiasi sastra, dan
penggunaan produk-produk kebudayaan lokal
kini makin menyempit dan terpinggirkan.
Budaya
pascamodern ditandai dengan kabur dan runtuhnya sekat-sekat tradisional antara
budaya tinggi dan budaya rendah, antara budaya bisnis dan dunia seni, dan
antara kebudayaan dan bisnis. Seperti, meningkatnnya penampilan dan status
budaya pop, yang dipercepat oleh media elektronik telah mengakibatkan kekaburan
posisi antara keduanya (Chambers, 1986: 194).
Lima
pemicu yang oleh Appadurai (dalam
Uncapher, 1995: 2) masing-masing dinamakan; (1) etnoscapes yang
terkait dengan pengaruh informasi dan penetrasi budaya melalui migrasi berbagai
kelompok etnis dari satu negara ke negara lain; (2) mediascapes yang
terkait dengan penyebaran informasi melalui berbagai media, seperti surat
kabar, majalah, stasiun televisi, film, dan internet; (3) techoscapes; (4)
financescapes; (5) dan ideoscapes. Semua pemicu itu, baik
diterima maupun berlawanan, baik yang yang moderat maupun radikal, mengalir
dengan deras ke berbagai negara dan menggenangi kehidupan manusia.
Pascamodern
adalah sebuah gejala yang membingungkan. Pikiran manusia terseret oleh wacana
yang terkait dengan resistensi, pemindahan, dan perubahan gagasan tentang
kebudayaan. Yang pada gilirannya,
pascamodern telah mengambil perhatian yang mendalam terhadap fenomena bahasa
dan kebudayaan, dan gejala kebudayaan seperti ini sangat mempengaruhi proses
kreatif seorang pengarang/sastrawan yang berperan sebagai pencatat kehidupan
dan perjalanan peradaban. Dan
manusia-manusia pascamodern adalah manusia yang mengidap berbagai penyakit
kecanduan, akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang dipenuhi informasi sehingga
tak ada satu sudut pun yang tak tersentuh oleh informasi. Seperti, kecanduan
obat-obatan elektronik. Media televisi, video, video game, telepon seluler,
komputer, dan internet. Maupun berbagai bentuk ritual baru seperti opening
ceremony, clubbing, social gathering, fans club, anti-fans club, facebook,
twitter, fashion show, dan lain-lain.
Para
pengisi era pascamodern, dapat disebutkan beberapa nama-nama yang mewarnai
dunia sastra. Seperti penulis-penulis sastra kontemporer, yang kekinian diberi
label sebagai penulis sastra wangi. Nama-nama tersebut seperti, Ayu
Utami, Djenar Maesayu, Fira Basuki, Dewi Lestari, dan lain-lain, yang merupakan
sosok perempuan belia yang cantik, menarik, dan kosmopolit. Jika Generasi Balai
Pustaka (1920-an) ditandai dengan konflik antara individu dan adat, Angkatan
Pujangga Baru dengan Nasionalis, Angkatan 45 dengan Humanisme, Angkatan 66
dengan protes Sosial-Politik, dan Generasi 70-80 dengan budaya populer, maka
Generasi 2000an diidentifisikan dengan liberalisme dan dengan sejarah aspek
penulisannya. Dan tulisan-tulisan mereka seringkali mengabaikan moralitas dan
penuh dengan slang serta referensi sosial (Arimbi, 2009: 80).
Dari
uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam era pascamodern yang
diwarnai dengan derasnya arus informasi ke seluruh penjuru dunia. Gejala yang
saling mempengaruhi bukan makin surut malah makin membesar. Fenomena seperti
itu tentu bukan hanya mengakibatkan
hegemoni, melainkan juga pergesekan dan benturan antar-peradaban. Dalam
berbagai bidang kehidupan termasuk kehidupan bersastra dan satra bandingan
khususnya, muncul fenoma yang mempengaruhi dan dipengaruhi, yang
menjajah dan dijajah, yang menindas dan ditindas, dan yang
meniru dan yang ditiru, akan senantiasa hadir di tengah-tengah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh
karena itu, dalam era pascamodern di mana muncul banyak gejala, telaah sastra bandingan bukan hanya
akan memperluas cakrawala berpikir Timur untuk memaknai dan memahami Barat,
tetapi juga akan membuka mata Barat untuk melihat dan mendefinisikan kembali
Timur.
Selanjutnya,
pertanyaan yang akan selalu hadir di tengah pikiran dan perasaan kita adalah
apakah kita harus serta-merta menjadi global atau tetap menjadi lokal, semisal
tetap menjadi Melayu atau Indonesia? Pertanyaan ini sejatinya dapat kita jawab
melalui sastra bandingan, karena setiap perasaan dan pikiran manusia tidak
dipandang dari ras, etnis, agama, maupun belahan bumi mana. Dan kesejatian,
telah diuraikan oleh para sastrawan di seluruh dunia melalui karya-karyanya dan
pegiat sastra bandingan. Dan dalam memilih atau menentukan sikap sebagai
pemahaman gejala, maka dengan membandingan menjadi suatu keniscayaan yang mesti
kita lakukan. ***
No comments:
Post a Comment