February 1, 2015

Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra Indonesia


Judul   : Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra Indonesia
Penulis : Ayu Sutarto
Terbit   : Jurnal Kritik, No. 04 Tahun 2014

Tulisan Ayu Sutarto---seorang Guru Besar Universitas Jember--- dalam Jurnal Kritik, No. 04 Tahun 2014 coba menjawab tentang eksistensi sastra bandingan, atas pertanyaan-pertanyaan relevansi sastra bandingan di hadapan dunia yang tengah menghadapi fenomena pascamodern akibat dari pesatnya perkembangan teknologi informasi. Kemudian eksistentsi pendekatan-pendekatan yang menjadi telaah sastra bandingan ketika dunia mengalami proses homogenisasi budaya.

Laju perkembangan teknologi informasi telah membawa manusia masa kini ke dalam berbagai sisi realitas baru dalam kehidupan. Beberapa kosa kata yang terkait dengan gaya hidup seperti penampilan, kenyamanan, keterpesonaan, kebebasan berekspresi, kebebasan hasrat, dan pemaknaan terhadap berbagai gejala telah menyebabkan sebagian masyarakat kehilangan realitas-realitas masa lalu. Topik-topik kekinian seperti fun, ekstasi, skizofrenia, libido, konsumerisme, neo-liberalisme, kapitalisme global, dan lain-lain. Sampai kepada sastra siber yang hadir bersama cyberporn, playstation, dan online games, berbaur dengan berbagai krisis;  moneter; spiritual; kepercayaan.

Tradisi bersastra di berbagai belahan bumi juga mengalami perubahan yang cukup berarti, para pengarang yang hidup di berbagai negara dapat dengan mudah melihat perubahan yang terjadi, termasuk yang terjadi di luar negaranya. Seperti melalui televisi dan internet. Singkatnya, pada hari ini ketika proses homogenisasi budaya mulai tampak kehadirannya, dan dunia sastra juga mengalami perkembangan yang pesat. Terkait dengan tema, masalah yang diangkat, maupun dengan pendekatan dan teori yang digunakan untuk mengkaji. Maka disiplin sastra bandingan juga harus membuka diri guna merespon perubahan zaman, dan mengaitkan fenomena perubahan yang terjadi untuk memperluas lahan garapan.

Arus informasi, juga secara langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi proses kreatif seorang pengarang. Baik ideologi maupun akidah, menjadi suatu keniscayaan yang harus diterima sebagai penyeretan atas arus perubahan. Beberapa bangsa bisa saja menerima perubahan tanpa sangka dan curiga, tetapi beberapa bangsa lain juga ada yang menolak sebagian perubahan, terutama perubahan yang mengancam identitas budaya atau identitas nasional, dengan memberikan berbagai bentuk perlawanan. Dan berangkat dari fenomena zaman seperti itulah, maka kiranya disiplin sastra bandingan menemukan lahan yang lebih luas dan menarik. Melalui disiplin sastra bandingan, bangsa-bangsa yang hidup pada era pascamodern dapat memetik pelajaran dari segala dampak positif maupun negatif dari berbagai perkembangan dan kecenderungan global yang hadir di tengah kehidupan mereka.

Era pascamodern yang kita alami sekarang ini adalah era peradaban pasar. Bahasa dan pola pikir pasar/bisnis mendominasi kehidupan sehari-hari. Peradaban pasar dikhawatirkan menjadi pemicu terjadinya proses homogenisasi budaya. Peradaban pasar tidak hanya mengubah gaya hidup lokal menjadi global, tetapi juga mewarnai perkembangan ketahanan, dan nasib berbagai produk kebudayaan dan peradaban yang berlabel lokal. Ranah pemakaian bahasa, apresiasi sastra, dan penggunaan produk-produk kebudayaan lokal  kini makin menyempit dan terpinggirkan.

Budaya pascamodern ditandai dengan kabur dan runtuhnya sekat-sekat tradisional antara budaya tinggi dan budaya rendah, antara budaya bisnis dan dunia seni, dan antara kebudayaan dan bisnis. Seperti, meningkatnnya penampilan dan status budaya pop, yang dipercepat oleh media elektronik telah mengakibatkan kekaburan posisi antara keduanya (Chambers, 1986: 194).

Lima pemicu yang oleh Appadurai (dalam  Uncapher, 1995: 2) masing-masing dinamakan; (1) etnoscapes yang terkait dengan pengaruh informasi dan penetrasi budaya melalui migrasi berbagai kelompok etnis dari satu negara ke negara lain; (2) mediascapes yang terkait dengan penyebaran informasi melalui berbagai media, seperti surat kabar, majalah, stasiun televisi, film, dan internet; (3) techoscapes; (4) financescapes; (5) dan ideoscapes. Semua pemicu itu, baik diterima maupun berlawanan, baik yang yang moderat maupun radikal, mengalir dengan deras ke berbagai negara dan menggenangi kehidupan manusia.

Pascamodern adalah sebuah gejala yang membingungkan. Pikiran manusia terseret oleh wacana yang terkait dengan resistensi, pemindahan, dan perubahan gagasan tentang kebudayaan.  Yang pada gilirannya, pascamodern telah mengambil perhatian yang mendalam terhadap fenomena bahasa dan kebudayaan, dan gejala kebudayaan seperti ini sangat mempengaruhi proses kreatif seorang pengarang/sastrawan yang berperan sebagai pencatat kehidupan dan  perjalanan peradaban. Dan manusia-manusia pascamodern adalah manusia yang mengidap berbagai penyakit kecanduan, akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang dipenuhi informasi sehingga tak ada satu sudut pun yang tak tersentuh oleh informasi. Seperti, kecanduan obat-obatan elektronik. Media televisi, video, video game, telepon seluler, komputer, dan internet. Maupun berbagai bentuk ritual baru seperti opening ceremony, clubbing, social gathering, fans club, anti-fans club, facebook, twitter, fashion show, dan lain-lain.

Para pengisi era pascamodern, dapat disebutkan beberapa nama-nama yang mewarnai dunia sastra. Seperti penulis-penulis sastra kontemporer, yang kekinian diberi label sebagai penulis sastra wangi. Nama-nama tersebut seperti, Ayu Utami, Djenar Maesayu, Fira Basuki, Dewi Lestari, dan lain-lain, yang merupakan sosok perempuan belia yang cantik, menarik, dan kosmopolit. Jika Generasi Balai Pustaka (1920-an) ditandai dengan konflik antara individu dan adat, Angkatan Pujangga Baru dengan Nasionalis, Angkatan 45 dengan Humanisme, Angkatan 66 dengan protes Sosial-Politik, dan Generasi 70-80 dengan budaya populer, maka Generasi 2000an diidentifisikan dengan liberalisme dan dengan sejarah aspek penulisannya. Dan tulisan-tulisan mereka seringkali mengabaikan moralitas dan penuh dengan slang serta referensi sosial (Arimbi, 2009: 80).

Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam era pascamodern yang diwarnai dengan derasnya arus informasi ke seluruh penjuru dunia. Gejala yang saling mempengaruhi bukan makin surut malah makin membesar. Fenomena seperti itu tentu  bukan hanya mengakibatkan hegemoni, melainkan juga pergesekan dan benturan antar-peradaban. Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk kehidupan bersastra dan satra bandingan khususnya, muncul fenoma yang mempengaruhi dan dipengaruhi, yang menjajah dan dijajah, yang menindas dan ditindas, dan yang meniru dan yang ditiru, akan senantiasa hadir di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Oleh karena itu, dalam era pascamodern di mana muncul banyak  gejala, telaah sastra bandingan bukan hanya akan memperluas cakrawala berpikir Timur untuk memaknai dan memahami Barat, tetapi juga akan membuka mata Barat untuk melihat dan mendefinisikan kembali Timur.

Selanjutnya, pertanyaan yang akan selalu hadir di tengah pikiran dan perasaan kita adalah apakah kita harus serta-merta menjadi global atau tetap menjadi lokal, semisal tetap menjadi Melayu atau Indonesia? Pertanyaan ini sejatinya dapat kita jawab melalui sastra bandingan, karena setiap perasaan dan pikiran manusia tidak dipandang dari ras, etnis, agama, maupun belahan bumi mana. Dan kesejatian, telah diuraikan oleh para sastrawan di seluruh dunia melalui karya-karyanya dan pegiat sastra bandingan. Dan dalam memilih atau menentukan sikap sebagai pemahaman gejala, maka dengan membandingan menjadi suatu keniscayaan yang mesti kita lakukan. ***

No comments:

Post a Comment