Demi mendapati secawan kopi di sepeninggal
pagi tanpa meninggalkan kursi, sekiranya hati mesti rela bersabar mengemil satu
sistem birokrasi terlebih dulu.Atas kesadaran antropologi budayayang kau punya,
pemesanan cawan bisa saja dilakukan dengan panggilan dari telepon genggam (itu
kalau kau seorang Pesohor).Tapi jikalau kau seorang adiluhung atau bahkan hanya
seorang pesuruh yang mudah saja terpengaruh, bikin sajalah sendiri.Sila
bereksplorasi sesuai selera hati, tanpa khawatir diracuni.
Yang paling pertama dan utama dalam
membikin secawan kopi, pastikan bubuk kopi dan air panas telah siap
tergenapi.Jika tidak,ngopisajasecara
fiksi. Mari.Dan tentang korelasi cawan atau cangkir sebagai wadah yang classy, usah resah terlampau dipikirkan.
Cukup kemasan bekas air mineral atau serupa penutup termos yang digunakan, maka
jadilah kitangopi sambil berfantasiuncang-uncang kaki.
Fotogenik Lakonik
Selayang pandang teori tentang ngopi,pria kelahiran Solo (Jawa Tengah) pada 07 Nopember 1935 ini
lebih suka membikin kopinya sendiri.Terbukti,ketika seorang Willibrordus Surendra Broto Rendra
atau Wahyu Sulaiman Rendra (Kompas, 08
Agustus 2009) menjawabpermintaan wartawan Gamma (21
Nopember 1999:79) untuk mendeskripsikan dirinya (yang sekaligus seorang
dramawan dan teaterawan itu) dengan sepatah kata.Dan Rendramenjawab
dirinya sebagai seorang“penyair!”.
Pengakuan ini tentu senada dengan mutu yang dimiliki seorang Rendra, terhitung
hingga millennium ketiga---ketika ia merayakan ulang tahunnya yang
ke-64---wartawan majalah berita itu menyebut bahwa ia telah berkarya selama
empat puluh empat tahun (Gamma No 39, hlm 78). Yang sejatinya, ia sudah
berkarya 3 tahun lebih lama dari perhitungan majalah tersebut. Tercatat sejak usia
sembilan belas tahun, sebuah karya lakonnya Orang-orang
di Tikungan Jalan memenangkan hadiah pertama dari bagian Kesenian
Departemen P dan K, Yogyakarta, di tahun 1954. Meskipun begitu, sajak-sajak
yang dimuat dalam kumpulan Balada
Orang-orang Tercinta ditulisnya ketika ia masih berusia tujuh belas tahun---yang
kemudian pada tahun 1957 kumpulan puisi masa SMA-nya tersebut menangkan
anugerah hadiah dari Dewan Kesenian Nasional. Bahkan kian jauh dari perhitungan
majalah tadi (Si Burung Merak oleh
Bakdi Soemanto: Kompas, 01 Januari
2000).
Alinea
Kornea
Pengkajian antropologi sastra sangatlah mungkin
dilakukan, dalam hal ini dapat dilakukan pada ketokohan atau karya-karya
sastranya; prosa; puisi; dan drama.Mengingat sastra tak melulu mengandung unsur
yang bersifat naratifdengan segala pirantinya, tetapi juga hal-hal yang
bersifat sosiologis, psikis, historis, maupun antropologis---sekalipun Willy (sapaan akrab Rendra) disebut
sebagai avent-garde atas puisi-puisi
naratifnya yang menggali dan berkisah di tengah dominasi liris, seperti yang
pernah disebut oleh Dahono Fitrianto dalam Rendra
dan Ajaran Kepeduliannya (Kompas, 16
Agustus 2006). Hipotesa ini diperkuat oleh argumentasi bahwa sastra bersifat
terbuka, artinya seorang pengarang memiliki kebebasan yang luas untuk
mengekspresikan segala aspek kehidupannya (kehidupan dalam kepenyairannya .pen) ataupun kehidupan masyarakat di
sekitarnya---dalam kaitan ini melalui media bahasa.Oleh karena itu, sastra bisa
saja dibahas melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal yang
menyangkut kehidupan manusia atau masyarakat.
Pembicaraan sastra dari sudut antropologimerupakan
hal yang jarang dalam kajian sastra.Pendekatan antropologi terhadap sastra
sebenarnya sudah pernah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh aktor
intelektual bernama Claude Levi-Strauss (1963:206).Aktor ini pada awalnya
banyak membaca buku-buku filsafat. Ia tertarik pada ilmu Antropologi setelah
membaca buku Primitive Society karya Robert Lowie (Ahimsa Putra, 1977:x), ia
melakukan pengkajian secara struktural terhadap mitos dengan teori oposisi
binernya. Sejatinya, hal yang samapula bisa diterapkan pada sastra modern,
seperti: prosa, puisi, atau drama. Seperti yangterdapat dalamdua pengkajian
mendalam yang dilakukan oleh Kris Budiman berjudul Claude Levi-Strauss di
Hadapan Maria Zaitun dan Liminalitas Maria Zaitun (Budiman, 1994: 14-40). Dua
penelitian tersebut mengambil objek yang sama yaitu satu puisi panjang Willy
yang berjudul Nyanyian Angsa dengan
dua teori yang berbeda, yang pertama menggunakan Strukturalisme Strauss dan
yang kedua menggunakan Liminasi-nya Turner.
Lahirnya pendekatan antropologi sastra sebagai
prosesi mendapati secawan kopi tadi, didasarkan atas kenyataan bahwa: (a) baik sastra maupun antropologi
menganggap bahasa sebagai objek yang penting; (b) baik sastra maupun antropologi mempermasalahkan relevansi
manusia dengan budaya, dan (c) baik
antropologi maupun sastra sama-sama mempermasalahkan tradisi lisan atau sastra
lisan, seperti : mitos, dongeng, dan legenda menjadi objek kajiannya (Kutha
Ratna, 2004:352). Kesanggupan ketiga kenyataan tadi, dapat dibaca sajak-sajak
Willy yang menghadapkan kita pada citra atau pengertian yang terlukiskan dalam
citra yang amat dekat dengan panca indera (lihat Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat oleh Ignas Kleden: Kompas, 12 Agustus 2009). Dalam hal seni
kata dan menciptaia memang jagonya, hampir di setiap jenis sastra: semisal puisi,
cerita pendek, lakon, esai, uraian bagaimana bermain drama, serta teks iklan, dan
novel sebagai pengecualian.
Balada
Orang-orang Tercinta adalah kumpulan puisi
yang bercerita, sementara cerpen-cerpennya, sepertiIa Sudah Bertualang, Hutan Itu, Dua Jantan, dan beberapa lainnya
tak hanya merupakan fiksi pendek yang bercerita, tetapi sekaligus menyentuhkan
tenaga ke-puitis-annya sejak usia yang sangat muda. Karakteristikyang khas baik
dari pilihan diksi maupun gaya. Hal tersebut sebagaimana diakui sendiri oleh Willy
adalah pengaruh dari tembang dolanan Jawayang mempunyai kelincahan-kelincahan
image yang asosiatif (Haryono, 2005: 63).Sementara mengenai diksi yang
digunakannya, Willy sendiri mengatakan bahwa kekuatan sebuah puisi bukanlah
terletak pada kalimat-kalimat yang njlimet,
tetapi pada kalimat-kalimat yang ditulis dengan sederhana dengan daya ungkap
yang sederhana pula (Maulana, 2009: 20-21).
Willy, mula-mula menerima undangan dari Kementerian
Luar Negeri Amerika (DR. Henry Kissinger)
untuk mengikuti seminar di Harvard(Rendra, 1998: i), kemudian ia lanjutkan
dengan mendaftarkan diri ke New York, guna menuntut pelajaran teater secara
formal di America Academy of Dramatic Arts selama tiga tahun (Si Burung Merak oleh Bakdi Soemanto: Kompas, 01 Januari 2000). Kemudian dia
masuk sebentar di Jean Erdman School of Dance,mengikuti penyutradaraan di
University of New York, membaca-baca buku mengenai sosiologi, dan kembali ke
Indonesia menjelang akhir 1967 (Haryono, 2005: 94). Dengan pola-pola yang ia
kantongi selama masa studi, menggugah kegelisahan Willy untuk membuka semacam program
studi teater di Fakultas Sastra UGM.Namun patut disayangkan, keinginan itu tak
lekas terlaksana. Maklum Orba, pendidikan teater merupakan bagian dari seni
pertunjukan juga. Hinggalah sepulang dari Amerika, Willy pun coba menawarkan
diri untuk membenahi Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film).Tapi kembali, gagasan
itutak jua menemukan kecocokan.
Tampaknya, dua kegagalan tadi tak lantas menyurutkan
niat Willy dalam menggugat suasana gawat
seni drama moderen di Indonesia.Pengalamannya selama studi di AS itu, telah
membuka kesadarannya,bahwa yang pertama dan utama adalah membenahi calon-calon
aktor.Hal ini seperti yang telah tertuang dalam makalahnya yang berjudul Menyadari Kedudukan Drama Modern di
Indonesia,Willymemulai khotbahnya di Sonobudaya (Yogyakarta) yang
diselenggarakan oleh Studi Mantika.Ia menuliskan bahwa perlu diadakan kompromi
dalam hal memilih pemain yang dapat memberikan dedikasi secara professional, ia
juga menuliskan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kebudayaan
lisan---tradisi lisan dalam hal ini memang merupakan hasil budayadan berkembang
dalam suatu masyarakat. Yang kemudian ia realisasikan dengan membentuk grup
teater bernama Bengkel Teater.Waktu itu masih beranggotakan Moortri Purnomo,
Chaerul Umam, Azwar AN, dan Bakdi Soemanto.
Berbekal kepulangan dari studinya di Amerika pada
tahun 1964, Willy memperkenalkan bentuk latihan, lakon pendramaan, improvisasi,
yang belum dikenal sebelumnya.Dan seiring pola-pola latihan terus berjalan,
mulai berdatangan teman-teman teaterawan untuk ikut bergabung, antara lain Putu
Wijaya, Amak Baljun, Entik dan lain-lain.Pola-pola latihan kian meningkat,
mulai dariekplorasi gerak tubuh, lakon dengan cara-cara yang spontan, hingga
sikap-sikap bahasa non-verbal.Dan pada titik inilah---dengan juga asosiasi dolanan jawa semasa kecil, Willy
berhasil menyangkal dominasi tradisi lisan di Indonesia.Suatu langkah baru
dalam jagat teater di Indonesia, yang oleh GM (Goenawan Mohammad),menamainya
sebagai Teater Mini Kata, dan tentang
apa yang dimaksudkan oleh GM adalah posisi teater mini-kata sebagai teater avant-garde, sebagaimana ciri khas
gerakan avant-garde lainnya
mengejutkan, tampak dengan sengaja mencari keributan, dan juga hasrat untuk
memberontak pada lingkungannya (Mohamad, 1981: 139). Pun beberapa pengamat lain
senada menamai mereka dengan sebutan masing-masing. Taufik Ismail menyebutnya
sebagai Teater Puisi; dan Arifin C.
Noer menyebutnya sebagai Teater Murni.
Alinea
Rasa
Seperti telah diketahui, bahwa pendekatan
antropologi sastra dalam kajian sastra adalah suatu hal yang baru.Menyebabkan, sedikitnya
temuan teori-teori tentangantropologi sastra tersebut.Hal ini mungkin juga
karenadominasi pendekatan sosiologi sastra karena menganggap bahwa hal-hal yang
bersifat antropologis dalam sastra merupakan wilayah kajian sosiologi sastra.Atas
kelangkaan tersebut, maka dalam kajian antropologi sastra pada tulisan ini
hanya mengacu pada pandangan-pandangan Prof. Dr.I Nyoman Kutha Ratna saja yang
dipakaisebagai pijakan.Pandangan-pandangannya tersebut ada dalam bukunya
berjudul Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra (2004).
Willy, dalam menghadapi alam, kesenian ataupun seni
baginya adalah pekerjaan yang tak ubahnya dengan bercocok tanam, berkantor,
atau berdagang. Posisi terhadap alam menempatkan dirinya dalam pelbagai
persoalan-persoalan yang muncul; dengan segala ketegangan hubungan masyarakatnya dan dirinya. Dalam Doa Orang Lapar, Willy berkata: O Allah,/Kelaparan adalah burung
gagak/jutaan burung gagak/bagai awan yang hitam/ menghalang pandangku/ ke
sorgaMu! Maka lahir kegelisahan metafisik yang membawa penyair kepada
lirik, yang menerjemahkan gerak-gerik alam, dan gerak-gerik lahiriah
bermetamorfosa menjadi gerak-gerik batin (Ignas Kleden pada Kata Pengantar dalam
Buku Rendra, Ia Tak Pernah Pergi).
Antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan mengenai
manusia dalam masyarakat (Kutha Ratna, 2004: 63).Manusia dalam konteks ini
tentu saja manusia sebagai individu yang membentuk suatu kebudayaan, bukan
manusia sebagai mahluk sosial dalam masyarakat, yang nantinya melahirkan
pendekatan sosisologi sastra.Masih dalam (Kata Pengantar Ignas Kleden) hubungan
dengan masyarakat lahir kegelisahan politis, yang membawa penyair kepada
dramatik, intensifkan gerak-gerik batin menjadi laku lahiriah dalam proporsi
yang dilebih-lebihkan: Tanganku mengepal/
ketika terbuka menjadi cakar/ aku meraih ke arah delapan penjuru (sajak Tangan). Sedangkan dalam berhadapan
dengan dirinya, lahir kegelisahan eksistensial yang dapat diungkapkan secara
liris maupun secara dramatis. Dalam sajak Bumi
Hangus Willy berkata: Di bumi yang
hangus hati selalu bertanya/ apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?Di bumi
yang hangus hati selalu bertanya/ kita harus pergi ke mana, di mana rumah
kita?Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ bimbang kalbu oleh cedera/ Di
bumi yang hangus hati selalu bertanya/ hari ini maut untuk siapa?
Sebagaimana dijelaskan oleh Yule, kata budaya
mengacu pada semua gagasan dan anggapan tentang sifat dasar benda-benda dan
manusia yang kita pelajari ketika kita menjadi anggota dari sebuah kelompok sosial
(Yule, 2006: 216).Kata budaya, demikian dapat diartikan sebagai pengetahuan
yang diperoleh secara sosial. Reaksi seseorang yang dijawantahkan berupa bahasa
dapat muncul dari rangsangan yang didapatkannya dari persentuhannya dengan
orang lain yang tergabung dalam sebuah masyarakat. Pengertian budaya menurut
Yule tersebut di atas hanyalah satu dari sekian banyak pengertian
budaya.Pengertian tersebut di atas mendekati dengan pengertian kebudayaan yang
diajukan oleh Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan
karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan
dari hasil budi dan karyanya itu(Koentjaraningrat, 1983: 9). Berdasarkan
definisi yang diajukannya, Koentjaraningrat kemudian membagi wujud kebudayaan
menjadi 3: (a) Wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
dan sebagainya. (b) Wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat. (c) Wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dengan adanya tiga wujud kebudayaan
ini, maka wujud rangsangan terhadap seseorang yang mempengaruhi reaksi bahasa
pun dapat disimpulkan berupa hal-hal yang tercakup dalam tiga wujud tersebut.
Antropologi sastra memberi perhatian pada manusia
sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan
lainnya (Kutha Ratna, 2004: 353-357).Artinya, antropologi sastra mengkaji sastra
dengan memperhatikan teori dan data-data yang bersifat antropologis yang ada di
dalamnya.Dalam konteks yang lebih operasional, dapat disimpulkan bahwa
pengkajian antropologi sastra terhadap sastra adalah dengan berusaha melihat
perjalanan atau sikap individu tokoh cerita yang mewarnai dan pengungkap budaya
masyarakat tertentu yang terkandung dalam kesastraan itu sendiri.
Dalam tulisan ini, dibahas sebuah sajak berjudul Nyanyian Angsa karya Willy yang dimuat
dalam kumpulan puisinya yang berjudul Blues
Untuk Bonnie (1981:32--40). Sajak ini merupakan salah satu sajak yang
berwacana tentang kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana
halnya sajak-sajaknya yang lain.Bila dilihat dari sudut antropologis, maka
tampak bahwa sajak Nyanyian Angsamengandung
nuansa antropologis.Hal ini tergambar dari perjalan kehidupan tokoh Maria Zaitun
sebagai seorang pelacur yang sudah tak menarik lagi.Sebagaiseorang individu
yang sedang mencari jati diri sebagai makhluk Tuhan,ditugasi oleh penyair untuk
mengeksplorasi aneka budaya kehidupan manusia yangsenantiasa bersifat kontradiktif.
Dalam sajak itu tersiratbermacam pertanyaan yang bersifat filosofis, tentang
apa dan bagaimana sesungguhnya hidup itu.Sampaiakhirnya, pada tepian
sebuah sungai, dalam kelelahan setelah mengalami pelbagai penolakan demi
penolakan.Sebagai simbolik ritual keagamaan, Maria Zaitun mulai meminum air
yang mengalir di sungai itu, lalu membasuh muka, tangan, besertakakinya.Membersihkan
diri dari segala dosa, merenungi perjalanan hidupnya. Hingga bertemulah ia
dalam cumbu pelepasan dosa dengan sosok lelaki yang tampan. Dipercayai oleh Maria
Zaitun sebagai Juru Selamat, atas pemaknaan bekas luka penyaliban sang Kristus.
Alinea
Telinga
Di samping itu, persinggungan antropologis
sajak-sajak Willy dengan pola diksi-diksi tabu yang digunakan dalam kumpulan
sajak-sajaknya. Di mana bahasa dan budaya, telah dipahami sejak lama sebagai
dua elemenyang berkaitan erat. Semisalnya
dalam buku Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Koentjaraningrat, 1983: 2)
menjelaskan bahasa sebagai salah satu dari tujuh unsur universal kebudayaan.Dan
dalam beberapa sajak yang telah dimuat dalam antologi-antaloginya tersebut,
dapat ditemukanbeberapa diksi tabu.Semacam tetek, mengobel klentit, berak, dan
babu.Pun diksi-diksi serupa dapat pula ditemukan pada sajak-sajak dalam antologi-antologiyang
sebelumnya. Seperti, Blues Untuk Bonnie
dan Sajak-sajak Sepatu Tua.Pemilihan
diksi tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan:Mengapa dalam sajak-sajak Willy, banyak bermunculan diksi-diksi yang
dalam khazanah leksikon bahasa Indonesia merupakan hal yang tabu?Apakah hal
tersebut ada kaitannya dengan persentuhan Willy dengan budaya Amerika di pasca studinya
tersebut?
Timbulnya penggunaan diksi tersebut---dalam
kaitannya dengan kondisi sosial budaya di Amerika---dapat dipahami dengan
memilah kesembilan antologi puisi Willy, yang dua di antaranya (Balada Orang-orang Tercinta: 1957, dan Empat Kumpulan Sajak: 1961)diterbitkan
sebelum dia berangkat ke Amerika dan tujuh sisanyaditerbitkan setelah dia
pulang dari sana. Dan berikut daftar antologipuisi tersebut (Rahman, 2009: 36);
(a) Blues Untuk Bonnie (1971); (b) Sajak-sajak Sepatu Tua (1972); (c) Nyanyian Orang Urakan (1985); (d) Potret Pembangunan Dalam Puisi (1983);
(e) Disebabkan Oleh Angin (1993); (f) Orang-orang Rangkasbitung (1993); dan
(g) Perjalanan Bu Aminah (1997).
Istilah tabu berarti bentuk tingkah laku yang
dilarang. Kata ini berasal dari kata Polynesia tapu. Istilah ini sekarang
digunakan dengan lebih umum, terutama merujuk pada beberapa pokok-permasalahnan
(misalnya kematian, politik), atau bahasa (misalnya menyumpah, kecabulan) yang
dihindari orang-orang (Crystal, 2000: 842). Dan dalam tataran bahasa, kata-kata
yang dianggap tabu adalah kata-kata yang dianggap berbahaya, suci, berdaya
magis, atau mengejutkan dan biasanya diucapkan hanya dalam situasi tertentu
atau oleh orang-orang tertentu (Swan, 1996: 573).
Dalam melakukan pembagian kategorisasi kata-kata
tabu, bahasa Indonesia cenderung memiliki kesamaan dengan kategorisasi dalam
bahasa Inggris yang sebagaimana diungkapkan oleh Michael Swan memiliki tiga
kategori (Swan, 1996: 573).Pembagian tersebut adalah:
1) Kategori kata yang berkaitan dengan
simbol keagamaan.
- Kata ‘Tuhan’ dalam sajak Mazmur Mawar Willy yang dimuatdalam antologiSajak-sajakSepatu Tua, imaji yang bertentangan dengan arti leksikal: Dan sekarang saya lihat Tuhan sebagai orang tuarenta.
- Kata ‘Malaikat’ dalam sajak Pemandangan Senjakala yang dimuat dalam antologi Blues Untuk Bonnie, penggambaran sifat manusia yang memiliki syahwat atau berahi atas malaikat merupakan sesuatu yang terkesan tidak pada tempatnya: Dan menggairahkan syahwat para malaikat dan kelelawar.
2) Kategori kata yang berkaitan dengan aktifitas
seksual dan anggota tubuh tertentu.
- Kata ‘Tetek’ pada sajaknya---sebelum kepergiannya ke Amerika, Willy biasa menggunakan kata payudara dan susu---dapat ditemukan dalam Sajak Gadis dan Majikan yang dimuat dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi: ketikatuan sikut tetekku.
- Kata ‘Mengobel’ dan ‘Klentit’ dalam sajak SLA yang dimuat dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi, merupakan leksikon dari bahasa Jawa yang berarti menempelkan jemari seseorang pada anus atau vagina seseorang (Stevens, 2009: 509) dan klentit (atau kata bakunya dalam bahasa Indonesia adalah kelentit) bermakna daging atau gumpal jaringan kecil yang terdapat pada ujung atas lubang vulva (lubang pukas) (Sugono, 2008: 716) dan kata ‘Klangkang’ dalam sajak Nyanyian Angsa dalam antologi Blues Untuk Bonnie, merupakan bagian tubuh di antara kedua pangkal paha (Sugono, 2008: 713). Dan berkonotasi seksual, yang dalam bahasa Jawa Kangkang (Stevens, 2009: 445) mengesankan pada imaji persetubuhan;Murid-murid mengobel klentit ibugurunya; penuh borok di klangkang
- Kata ‘Lonte’ dalam satu baris sajak Kesaksian yang dimuat dalam antologiBlues Untuk Bonnie, merupakan leksikon dari bahasa Jawa (Stevens, 2009: 593). Kata ini memiliki tingkat kekasaran yang sama dengan sundal dan cabo. Kata yang agak sopan untuk merujuk makna yang sama adalah pelacur (darikata lacur) dan PSK (Pekerja Seks Komersial), sementara kata yang dianggap paling sopan adalah WTS (Wanita Tuna Susila): Sebagai lonte yang merdeka (Rendra, 1993:17)
- Kata ‘Beha’ dalam Sajak Gadis dan Majikannya yang dimuat dalam antologiPotret Pembangunan dalam Puisi dan kata ‘Kutang’ dapat dalam sajak Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta yang dimuat dalam antologiBlues Untuk Bonnie, merupakan serapan dari bahasa Portugis(Stevens, 2009: 541) dan merujuk pada baju dalam wanita yang digunakan untuk menutupi payudara (Sugono, 2008: 848), dengan kata lain istilah ini adalah istilah yang jarang digunakan sebab menyangkut bagian dalam tubuh perempuan yang pembicaraan tentangnya bisa dianggap tidak sopan. Kata ini memiliki sinonim beha (berasal dari bahasa Belanda, bustebouder) (Stevens, 2009: 107) dan coli (berasal dari bahasa Hindi kuno). Kata beha dianggap sebagai kata yang dipergunakan dalam percakapan (Sugono, 2008b: 270) meski demikian, penggunaan kata ini sendiri bersama seluruh sinonimnya tetap mengesankan tidak sopan sebab alasan yang sudah dijelaskan di awal dan orang cenderung menggunakan istilah baju dalam dalam kondisi harus merujuk pada benda tersebut;Uang yang tuan selipkan ke behaku;Sambil ia buka kutangmu (Rendra, 1993: 19).
3) Kategori kata yang berkaitan dengan pembuangan
ampas dari dalam (dan anggota) tubuh.
- Kata ‘Berak’ dalam Sajak Sebatang Lisong yang dimuat dalam antologi Potret Pembangunan Dalam Puisi, merupakan leksikon yang cenderung berkonotasi negatif: Di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka.
Sejauh mana kenyataan ini
mempengaruhi pandangan Willy, dapat dilihat dari sajak Blues Untuk Bonnie dan Rick Dari
Corona, dua sajak yang dibuatnya ketika dia sedang melakukan studi di sana.
Sajak Blues Untuk Bonnie mengisahkan
mengenai para negro yang pada hari Minggu pergi ke gereja (sebagai indikator
bahwa mereka termasuk beragama) dan pada hari yang lain hanya duduk mabuk-mabukan
dan beromong kosong (Haryono, 2005: 101). Sajak kedua bercerita tentang Rick
yang suka mencatut karcis, mencandu, dan menderita sakit kelamin dan Betsy,
seorang pelacur kulit hitam.
Dari dua sajak itu, tampak bahwa Willy
tak memposisikan diri menganggap sosok-sosok tersebut (pemabuk, pelacur,
pecandu) sebagai orang jahat. Ada nada menghargai dalam sajak-sajaknya yang
sebagaimana dikatakan dalam salah satu sajak yang lain bahwa mereka semua juga
berasal dari kemah Ibrahim (Rendra, 1998: 3). Kenyataan bahwa para negro itu
dilukiskan beragama tapi juga bermabuk-mabukan mengisyaratkan pemisahan agama
dan hal-hal duniawi yang disebut sebagai sekularisme, sementara sosok kulit
hitam sendiri sebagaimana disebutkan oleh Aveling adalah simbol kebebasan pribadi
dan kebebasan seksual (Haryono, 2005: 102).
Kata-kata tabu yang digunakan Willy
dalam sajak-sajaknya seusai studinya di Amerika, kebanyakan merupakan kata-kata
tabu yang berkaitan dengan seksualitas.Dengan demikian tampak bahwa ada
hubungan antara hal tersebut dengan pandangan yang longgar terhadap seksualitas
di Amerika. Wujud pertama kebudayaan sebagaimana telah dijelaskan
Koentjaraningrat (sebelumnya di paragraph terdahulu .pen) berupa suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya telah menjadi stimulus yang kemudian
memunculkan respon dalam bentuk bahasa berupa kosa kata tabu yang dituangkan WS
Rendra dalam sajak-sajaknya pasca-studinya.
Maka. Sebelum fantasi terlalu pagi
mengkhianati. Sebelum rotasi terlalu dini mengebiri uncangan kaki. Sebelum kopi mengering jadi ampas kopi. Dan menolak
kembali terisi jadi secawan kopi.Izinkan ia untuk menuang dirinya sendiri. Berbincang
dalam ruang ketidakmungkinan. Sambil menyesap sengkarut tragedi di tiap sudut antropologi. Hingga
tiba kesadaran
adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan
perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.