February 1, 2015

Paman Maryam Pulang


;sebuah refleksi jurnalistik seorang pengarang


PRELUDE
Tulisan ini bermula sekitar tahun 1962. Seorang Doktor di Universitas Yale menemukan karangan naratif karya Gay Talase, yang mengisahkan Joe Luis sebagai seorang petinju lapuk. Sejak saat itu, Thomas Kennery Wolfie---seorang Doktor yang tadi---merasa terkesan dengan tulisan semacam itu.  Ia mulai mengembangkan penulisan jurnalistik yang tak semata-mata hanya menghadirkan eksposisi berupa kalimat-kalimat tunggal, atau sebagai kemasan fakta dan data belaka. Ia berkeyakinan, bahwa penulisan reportase (atau jurnalistik) akan lebih cair dan emosional tatkala ditulis dengan gaya naratif deskriptif. Laiknya sebuah novel (bahkan sebuah karya sastra), dengan tidak mengesampingkan fakta dan data yang sesungguhnya. Maka dengan gaya naratif deskriptif, sebuah reportase tak lagi kaku seperti karangan eksposisi sebelumnya.
Pengalaman sentimentil, kerap menjadi tema menarik dalam serangkaian cerita yang utuh. Dengan corak sebuah berita yang kronologis, bahasa yang lebih naratif dan akrab. Kepemilikan ingatan---yang disebut oleh Wolfie---dalam pengembangannya dalam feature, yakni sebagai human interest atau penyimpan dari pengalaman-pengalaman sentimentil tadi. Maka, orang-orang menjadi sumber berita atas pengangkatan sebuah tema. Dan berbagai macam contoh dari bentuk sastra jurnalisme, berikut nama-nama pengarang Indonesia yang sebagian karyanya dapat dijadikan referensi bacaan, di antaranya; (1) Seno Gumira Ajidarma; (2) Okky Madasari; (3) dan Leila Salikha Chudori.
Dalam  sebuah esai  yang  berjudul  Literature  and  Society, Ian Watt membicarakan hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Damono, 1979:3--6; Faruk, 1994:4--5). Secara keseluruhan, hubungan timbal-balik tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi isi karya sastranya. Yang terutama harus ditelisik adalah; (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan  dari  pengayom  (patron),  atau  dari  masyarakat  secara  langsung,  atau  dari  kerja rangkap; (b) profesionalisme dalam kepengarangan, sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi; (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang; hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Di sini dipertanyakan  sampai sejauh mana sastra  dapat  dianggap  sebagai  cerminan  keadaan  masyarakat.  Pengertian  “cermin”  di  sini sangat kabur, dan oleh karenanya, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang terutama mendapat  perhatian  adalah; (a)  sastra   mungkin   tidak  dapat  dikatakan   mencerminkan masyarakat  pada waktu ia ditulis sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis; (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya; (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat; (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat, demikian juga sebaliknya, karya yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan  masyarakat.  Pandangan  sosial  pengarang  harus  diperhitungkan  apabila  seseorang menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979:3--6; Faruk, 1994:4--5).
Menurut  Eagleton  (2002:61--62),  karya  sastra  bisa  dikatakan  tidak  berdiri  dengan objeknya dalam bentuk reflektif, simetris, dan hubungan satu-satu. Objek sastra ditampilkan dalam karya sastra dalam bentuk: deformed (perubahan bentuk), refracted (perubahan arah atau  pembiasan),  dan  dissolved  (dibubarkan)—sehingga  setidaknya  menghasilkan  kembali sebuah cermin yang kemudian memproduksi objeknya. Cerminan terhadap objeknya itu berupa cara tampilan dramatik yang memproduksi ulang teks dramatik atau mempertaruhkan contoh yang  lebih menantang.  Efek sastra pada  hakikatnya  lebih untuk merusak  bentuk  (deform) daripada  meniru.  Jika  imaji  keseluruhan  dapat  disamakan  dengan  realitas  (seperti  dalam sebuah cermin), imaji menjadi identik dengan realitas dan berhenti menjadi citra. Karakteristik gaya sastra yang menganggap semakin seseorang menjauhkan dirinya dari objek, semakin dia benar-benar menirunya. Hal tersebut menurut Macherey (Eagleton, 2002:61--62), merupakan suatu model dari semua aktivitas artistik, sastra hakikatnya adalah parodik.
Kaitan   antara   karya   sastra   dengan   realitas   atau   masyarakat,   menurut   teori Strukturalisme Genetik sebagaimana dikemukakan Goldmann (1981:111), dimediasi oleh pandangan dunia (world view). Karya sastra merupakan ekspresi dan produk strukturasi pandangan   dunia   (Faruk,   1988:78).   Pandangan   dunialah   yang   memicu   subjek   untuk mengarang. Identifikasi pandangan dunia juga dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. Mengetahui pandangan dunia   suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari. Rekonstruksi pandangan dunia dalam pandangan Goldmann merupakan suatu hal yang khas sebagai representasi kolektivitas kecenderungan kelompok tertentu, pada saat sejarah tertentu yang terdapat pada karya-karya tertentu yang bersifat kanon.
Ketiga, fungsi sosial sastra. Di sini, kritikus terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?” dan “Sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan; (a) sudut pandang ekstrem kaum romantik, misalnya, yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya  dengan  karya  pendeta  atau  nabi dan  dalam  anggapan  ini tercakup  juga  pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b) dari sudut lain dikatakan bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini, gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best seller; (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur (Damono, 1979:6; Faruk, 1994:5).
Karya sastra sebagai simbol verbal, menurut Kuntowijoyo (1987:127), mempunyai tiga peranan; (1) sebagai cara pemahaman (mode of comprehension); (2) cara perhubungan (mode of communication); (3) cara  penciptaan  (mode  of creation).  Dalam  kaitannya  dengan peristiwa sejarah, Kuntowijoyo lebih lanjut mendeskripsikan bahwa pada dasarnya, objek karya sastra adalah realitas—apa pun yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Bila realitas tersebut berupa peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat dikategorikan sebagai; (1) usaha menerjemahkan  peristiwa  itu  dalam  bahasa  imajiner  dengan  maksud  untuk  memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; (2) karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya  untuk menyampaikan  pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa  sejarah; (3) karya  sastra  dapat berupa  penciptaan  kembali  sebuah  peristiwa sejarah  (seperti  halnya  karya  sejarah)  sesuai  dengan  pengetahuan  dan  daya  imajinasi pengarang.
Dalam karya sastra yang menjadikan peristiwa sebagai bahan, ketiga hal di atas dapat menjadi  satu.  Perbedaan  masing-masing  hanya  dalam  kadar campur  tangan  dan  motivasi pengarangnya. Sebagai cara pemahaman, misalnya, kadar peristiwa sejarah sebagai aktualitas (kadar faktisitasnya) akan lebih tinggi daripada kadar imajinasi pengarang. Sebagai cara perhubungan,  kedua  unsur tersebut,  baik faktisitasnya  maupun imajinasinya  memiliki kadar yang sama. Sebagai cara penciptaan, kadar aktualitas atau faktisitasnya lebih rendah daripada imajinasi pengarang. Perbedaan tersebut dalam karya sastra memang sebatas asumsi teoretis yang dalam pelaksanaannya sukar untuk dibedakan (Kuntowijoyo, 1987:127).
Perbedaan antara sejarah dan sastra tampak dalam skala yang dibuat Koestler dalam mengklasifikasikan  bentuk-bentuk  penemuan  manusia,  dari  bentuk-bentuk  yang  objective-verifiable  ke  yang  subjective-emotional   tercatat  berturut-turut:   kimia,  biokimia,  biologi, kedokteran,  psikologi,  antropologi,  sejarah,  biografi,  novel,  epik, dan  lirik.  Di sini,  tampak bahwa sejarah dan novel (karya sastra) mempunyai jarak yang tidak terlalu jauh untuk mengadakan  hubungan.  White  (1987:51)  dalam  artikelnya  yang  berjudul  “Interpretation  in History”  menyatakan  bahwa  pada  umumnya,  para  ahli  sejarah  menyetujui  akan  peran interpretasi dalam penyusunan kisah sejarah. Sebuah narasi sejarah memerlukan penyeleksian dan interpretasi atas tumpukan fakta yang diperolehnya menjadi sebuah rekonstruksi terhadap sebuah peristiwa  yang terjadi. Dengan demikian,  pada hakikatnya  peristiwa  sejarah  sejajar dengan karya sastra dalam merekonstruksi sebuah peristiwa masa lalu.
Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara pendekatan sejarah dengan sejarah sastra, sastra sejarah, dan novel sejarah. Pendekatan historis mempertibangkan historitas karya yang diteliti, yang dibedakan dari sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga sekarang. Sastra sejarah merupakan karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah adalah novel yang kaya akan unsur-unsur sejarah (Ratna, 2004: 65).
Novel  sejarah  ataupun  khususnya  novel  sosial,  menurut  Kuntowijoyo  (1987:134), memiliki hubungan timbal balik dengan peristiwa sejarah; (1) karya sastra menjadi saksi dan diilhami  oleh  zamannya; (2) sebaliknya,  karya  sastra  dapat  mempengaruhi  peristiwa- peristiwa sejarah zamannya  dengan membentuk sebuah public opinion. Pandangan ini mirip dengan konsep hegemoni Gramci dalam memandang karya sastra, yang bersifat reflektif sekaligus formatif terhadap masyarakatnya (Faruk, 1994:11; Ratna, 2003:22; Nurhadi, 2004:14--30).
Dan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Fenomena tersebut menjadi bagian yang menarik dalam perkembangan kesusasteraan Indonesia mutakhir. Sejumlah karya-karya fiksi di Indonesia, dengan penulisan reportase ala naratif deskriptif, terbit dalam wujud cerita yang mengemas peristiwa faktual ke dalamnya. Sehingga, pengalaman-pengalaman sentimentil kerap menjadi tema dalam serangkaian cerita yang utuh. Berikut nama-nama pengarang Indonesia, seperti Seno Gumira Ajidarma, Okky Puspa Madassari, dan Leila Salikha Chudori yang terangkum parsial menjadi tiga Interlude.

INTERLUDE I: Seno Gumira Ajidarma
Penulis yang meraih Khatulistiwa Literary Award 2005 ini mempunyai kekhasan karya yang tidak hanya terletak pada nuansa investigasi dan intelejennya saja, tetapi juga lebih pada pengungkapannya yang padat dan tangguh. Seno Gumira Ajidarma, dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (Ajidarma, 1997: 93), hendak menyampaikan kebenaran suatu peristiwa melalui karya sastra ketika media jurnalistik mengalami  kegagalan karena terbentur oleh penyensoran. Secara konsisten, Seno Gumira Ajidarma---seorang sastrawan (cerpenis dan novelis), dosen, fotografer--- yang juga seorang wartawan ini mengungkapkan peristiwa-peristiwa sosial politik ke dalam karya-karyanya. Sehingga dapat kita lakukan penelusuran dengan mengaitkan sejumlah peristiwa-peristiwa faktual yang pernah terjadi sebagai objek acuannya.
Dalam situasi pemerintahan serba sensor, peristiwa-peristiwa faktual tidak dapat ditampilkan secara langsung (atau dengan nama lain sebagai karya jurnalistik). Rangkaian peristiwa disampaikan dengan cara dikodekan, disamarkan, disisipkan, disurealistikkan, dimetaforakan, dan disimbolkan. Sehingga melalui wahana sastra, pengungkapan peristiwa-peristiwa faktual tetap dapat dikabarkan. Seperti penggambaran sosok Soeharto menjadi Paman Gober, seperti yang digambarkan dalam cerpen Kematian  Paman Gober dalam antologi Iblis Tidak Pernah Mati merupakan  teknik penceritaan secara metaforik. Soeharto dalam cerpen ini dimetaforkan menjadi Paman Gober, tokoh cerita Donald Duck, yang sangat berkuasa dan kaya, sehingga tidak ada yang berani menentangnya.  Satu-satunya  bentuk perlawanan  terhadapnya  hanyalah  dengan menantikan kematiannya yang bakal dimuat setiap koran pada halaman pertama.
Sejumlah cerpen dalam antologi Saksi Mata dan dalam roman Jazz, Parfum & Insiden yang mengisahkan sejumlah peristiwa faktual terkait dengan pembantaian terhadap sejumlah demonstran  yang dikenal dengan InsideDili 1991 (dan peristiwdi Timor Timur lainnya) diceritakan dengan teknik pengkodean bahasa walikan versi abjad Jawa. Dalam kedua karya fiksi tersebut, kata Dili dituliskan menjadi Ningi, Timtim menjadi Gidgid, dan lainnya. Selain  itu,  sejumlah  peristiwa  faktual  disamarkan  penceritaannya, baik  yang  terkait dengan nama, lokasi, maupun tanggal peristiwanya. Akan tetapi, dengan pembacaan yang jeli, hal-hal yang disamarkan tersebut dapat ditelusuri peristiwa acuannya. Meskipun tidak menyantumkan  secara  langsung  peristiwa  acuannya,  cerpen  Clara  yang terdapat  dalam antologi Iblis Tidak Pernah Mati, dapat dikenali sebagai peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta itu dengan mengenali korban perkosaan massal di tengah kerusuhan itu yang beretniskan Cina. Teknik penyamaran  peristiwa seperti ini hampir ditemukan pada cerpen-cerpen lainnya. Selain mengenali peristiwanya yang sejajar dengan peristiwa  faktualnya,  Senselalu  menuliskan  tempat  datanggal  penulisan karya-karya padbagian akhir (kolofon) yang dapat dijadikan  referensi  terhadap  kronologi peristiwa faktualnya.
Peristiwa-peristiwa dalam cerpen memiliki kaitan dengan kehidupan nyata. Meski dalam teori hermeneutik ditekankan, adanya otonomi teks dan keinginan untuk melepaskan diri dari konteks sosial tertentu. Model seperti ini hampir tidak mungkin diterapkan sepenuhnya, karena baik teks maupun interpretator merupakan produk sosial. Simbol-simbol yang terdapat dalam cerpen akan dicari referensinya dalam peristiwa, pengalaman, dan kehidupan nyata. Cerpen yang mengambil sumber inspirasi dari keberadaan Soeharto, seperti teori Umar Junus, dapat bersifat melaporkan peristiwa, menghubungkan peristiwa, memfiktifkan peristiwa, mereaksi peristiwa, serta menyublimasi peristiwa. Sebuah cerita pendek ada kemungkinan bagian-bagiannya dapat mewakili hal-hal tersebut.
Aspek-aspek sosiologis yang menunjukkan adanya hubungan antara isi cerita pendek dengan keadaan nyata di Indonesia, umumnya berkaitan dengan masalah sosial politik yang bermuara ke sepak terjang Soeharto. Aspek-aspek sosiologis yang menonjol berkaitan dengan strategi Soeharto dalam mengendalikan kekuasaan, keterlibatan Soeharto dalam masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme, tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatan serta pengunduran diri Soeharto sangat mudah kita temui di sekitar masa reformasi. Gejolak emosi pengarang saat itu memang memuncak sehingga terjadi ledakan ekspresi. Karya-karya dengan tema protes sosial politik jadi membanjir. Apa pun yang terjadi, sastra adalah saksi zaman. Soeharto adalah bagian dari perjalanan zaman. Rekaman peristiwa dalam sastra, seperti halnya sejarah, agar kita sebagai pembaca dapat berbuat lebih arif. Sastra memang bukan sekadar refleksi, tapi lebih dari itu sastra diharapkan dapat memberikan katarsis atau pencucian bagi jiwa. Soeharto adalah model simbolik, pembaca yang lain mungkin punya penafsiran berbeda. Tetapi, sebagai rekaman jejak manusia, sastra akan tetap relevan dengan kehidupan. Soeharto telah menjadi sumber inspirasi yang subur bagi perjalanan sastra Indonesia.
Profesi sebagai jurnalis menghadapkan Seno pada investigasi lapangan untuk menyajikan fakta atas kondisi sosial yang timpang terutama pada masa kepemimpinan orde baru yang refresif. Ketika jurnalisme yang bersumber dari fakta mengalami kendala, sastra menjadi pilihan untuk berbicara tentang kebenaran. “Bagi saya, dalam bentuk fakta maupun fiksi, kebenaran adalah kebenaran – yang getarannya bisa dirasakan setiap orang,” tulisnya (dalam buku Ketika Jurn\alisme Dibungkam Sastra Harus Bicara 1997: 111).
Dalam esai Dari Pengarang Ternama Hingga Pendekar Tak Bernama, Damhuri Mohammad menulis, barangkali yang dimaksud “kepentingan” oleh Seno adalah sebentuk kepekaan subyektif pengarang terhadap berbagai persoalan sosial, yang kemudian mendorongnya untuk menulis sebuah cerita, namun karena yang dilahirkan adalah teks sastra, pastilah ada “kepentingan estetis” di dalamnya. Akan tetapi, menurut Damhuri, karena yang tersuguh ke hadapan pembaca adalah sederetan prosa, baik cerpen maupun novel, maka fakta-fakta keras seperti pembunuhan biadab, kekerasan atas nama keamanan, digiling-digilas sedemikian rupa hingga berubah menjadi tepung imajinasi yang tak dapat dipilah lagi mana fakta, mana fiksi. Keduanya menyatu, berkelit-kelindan, bersenyawa dalam sebuah adonan bernama cerita.

INTERLUDE II: Okky Puspa Madasari
Namanya melesat, setelah novelnya yang berjudul Maryam meraih Anugerah Sastra Khatulistiwa 2012. Okky Madasari, sekitar empat tahun lalu ia memutuskan untuk menjadi penulis, setelah hampir empat tahun pula menjalani keseharian sebagai wartawan. Novel pertamanya, berjudul Entrok. Terbit pada tahun 2010, dan pada tahun 2013  diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ia mengawali kiprah, dengan menyampaikan permasalahan yang ada di sekitarnya lewat fiksi. Dengan latar belakang cerita masa Orde Baru dan bagaimana catatan sejarah saat menjadi warga negara ketika itu. Okky---penyuka karya-karya Pramoedya Ananta Toer---ini mengaku, merasa beruntung lebih dulu mengenal dunia jurnalistik sebelum memutuskan menjadi penulis. Karena proses belajar menulisnya menjadi terasah, ketika sebagai wartawan ia harus menulis efektif dan enak dibaca. Membuat sesuatu yang rumit menjadi mudah dimengerti buat orang lain.
Setahun kemudian, lahir novel 86 yang bercerita tentang korupsi. Bisa jadi orang-orang sudah akrab dengan masalah satu ini, karena hampir setiap hari diberitakan di televisi. Meskipun begitu, isi ceritanya tetap relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini, di mana masih marak  akan  praktik  korupsi. Menurut penjelasannya, novel 86 sempat masuk nominasi. “Tadinya masuk ke penulis muda berbakat. Tapi, karena kategori itu dihapus, akhirnya masuk nominasi karya,” jelas perempuan berjilbab tersebut. Okky  Madasari pernah  berprofesi  sebagai wartawan bidang hukum dan korupsi, yang dapat mengindikasikan novel ini menjadi sangat kental dengan reportase yang sarat akan aspek-aspek sosial-politik. Ditambah lagi novel 86 menggunakan nama-nama tempat yang benar-benar ada, menjadikannya semakin tampak nyata. Hal ini seolah menjadi jawaban bagi pemerintahan Indonesia yang hingga saat ini belum dapat memberantas korupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febridiansyah melalui Media Indonesia menyatakan bahwa novel 86 secara   tersirat   membuka   praktik-praktik   korupsi   yang   dilakukan   di   lembaga pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Okky, oleh Is Mujiarso dalam pemberitaan detikhot dikatakan bahwa ia kembali menyuarakan kegelisahan terhadap masalah korupsi. Meneruskan apa yang sebelumnya telah diperjuangkan sastrawan terkenal seperti Mochtar Lubis, Ramadhan KH, Ajib Rosyidi, dan Satyagraha Hoerip.
Novel ketiganya Maryam. Okky menyuarakan kondisi sekelompok masyarakat di Lombok, yang dianggap menyimpang karena perbedaan keyakinan. Mereka diusir, tidak boleh tinggal di tanah kelahiran sendiri. Bahkan sampai saat ini, orang-orang yang terasingkan sebab iman masih dirundung masalah. Sosok Maryam, seorang perempuan penganut Ahmadiyah asal Lombok mengalami diskriminasi dan penderitaan karena keluarganya terusir dari kampung halamannya. ”Novel ini tidak pada posisi membela atau membenarkan keyakinan apapun. Novel Maryam hanya ingin memperjuangan hak-hak warga negara yang terampas,” kata Okky (dalam wawancara Republika, Jumat 9 Maret 2014). Ia berharap kisah yang diangkat dari realita ini seharusnya menjadi peringatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden berikutnya bahwa tidak ada demokrasi dan penghormatan terhadap hak azasi manusia tanpa penegakan hukum yang tegas. Selanjutnya Okky melanjutkan, bahwa novel Maryam tidak pada posisi membela atau membenarkan ideologi atau keyakinan apapun, novel Maryam hanya ingin memperjuangkan hak-hak warga negara yang terampas hanya karena perbedaan iman.
Selanjutnya, Okky kembali mencuatkan isu-isu sosial dalam novel keempatnya. Pasung Jiwa, serasa ada suatu hal yang berbeda dari buku-buku Okky sebelumnya. Tidak seperti Entrok dan 86, masing-masing memiliki fokus isu yang individual, tidak bertumpang tindih anatara isu yang satu isu-isu yang lainnya. Entrok di era orde baru, dengan segala isu perpolitikannya. Sedangkan 86, berfokus pada suap-menyuap di peradilan. Dan pada Pasung Jiwa, terdapat isu yang terkesan memaksakan dan topik yang diangkat pun menjadi agak melebar. Ada isu transgender, kasus Marsinah, reformasi ’98, serta laskar berjubah putih. Meski tokoh utama dalam cerita ini tetap terlibat dalam isu-isu tersebut, tapi kompleksnya malah menjadikan isu tersebut kurang tertempel kuat seperti dalam buku-buku sebelumnya.
Pengarang memiliki posisi yang sangat menentukan. Pada umumnya unsur- unsur kepengarangan dikaitkan dengan asumsi struktur rohaniah, seperti: kapasitas intelektual dan logika, kualitas moral dan spiritual, fungsi-fungsi didaktis dan teori ideologis.  Pengarang dipandang  sebagai  subjek  yang  memiliki  kompetensi  yang paling memadai dalam menghasilkan sebuah karya sastra (Kutha Ratna, 2004:194). Sebagai seorang Muslimah, Okky mengakui, selalu ada nilai-nilai keislaman dalam setiap karyanya. “Mungkin inilah saatnya kita harus menyadarkan masyarakat bahwa religius tidak berarti hanya melaksanakan lima rukun Islam tapi tetap berperilaku tercela, misal naik haji tapi tetap korupsi,” katanya. Religius menurutnya, adalah bagaimana tujuan tertinggi agama, yakni kebaikan, terwujud dalam perilaku kita terhadap sesama manusia, dalam bingkai kemanusiaan.
Okky pun menjadikan agama sebagai petunjuk untuk memperlakukan manusia dan makhluk hidup lainnya, “Agama buat saya bukan sekadar tentang surga dan neraka. Agama bagi saya adalah tuntunan atas perilaku saya hidup di dunia. Yang penting adalah bagaimana kita bisa menjadi manusia yang jauh lebih baik dengan berdasarkan tuntunan agama.” Agama jadi penuntun berperilaku sehari-hari. Agama juga jadi hukum tertinggi dalam dirinya sebelum dia bersentuhan dengan hukum-hukum ciptaan manusia. “Dengan demikian, saya tak akan pernah korupsi karena agama saya jelas melarang kita mengambil yang bukan hak.”
Sastra tidak terlepas dari manusia, keduanya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan, manusia merupakan objek penceritaan terbesar dalam sebuah karya sastra, terutama novel.  Menurut Antilan Purba (2009:2) manusia  serta  kehidupannya  merupakan persoalan  yang  selalu  menarik  untuk dibahas. Sastra berisi manusia dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya terkait rapat  dengan  kehidupan  sastra.  manusia  menghidupi sastra.  kehidupan  manusia adalah kehidupan sastra. Manusia beragama menghidupi sastra dan agama, begitu juga manusia berpolitik menghidupi sastra dan politik.

INTERLUDE III: Leila Salikha Chudori
Bertemankan Rain Chudori---sang putri semata wayang, redaktur senior majalah Tempo ini memulai kepulangannya. Hingar bingar dunia yang tersimpan selama menjalani hidup sebagai wartawan, kini dijadikan kekuatan untuk dapat berkarya. Berbekal kelihaian observasi setelah 20 tahun menjadi jurnalis, ia menulis sebuah novel yang memukau banyak orang. Leila S. Chudori, sejumlah pihak mengakui bahwa karyanya merupakan tulisan yang begitu nyata, sebab kaya akan fakta sejarah. Ibu satu anak ini berhasil mempertemukan kembali kata-kata, yang kemudian saling jatuh cinta, kawin, dan melahirkan sebuah cerita. Kemudian, membawanya kembali pada dunia sastra; Pulang.
Awalnya, Rain mengomentari kumpulan cerpen Malam Terakhir, buah karyanya yang diterbitkan kembali pada 2009. “You’re a very very good writer, mom!” tegas Rain pada ibunya seperti dikisahkan Leila kepada Didaktika. Pujian yang datang dari Rain benar menjadi cambuk yang membangkitkan asa kesusastraan Leila, hingga akhirnya ia pun memilih untuk Pulang. Dalam perjalanannya, ia menulis 9 dari Nadira sebelum memulai penulisan novel Pulang. “Kalau pujian datang dari orang lain itu biasa, tapi ini datang dari anak saya sendiri,” akunya. Leila sangat menghargai apresiasi sang putri, pasalnya Rain merupakan pribadi yang amat kritis.
Penulis cerpen yang sekaligus wartawan senior ini mendapatkan penghargaan sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional. Novel karya Leila yang berjudul 9 dari Nadira menjadi pilihan utama dewan juri. Dewan juri yang menilai merupakan ahli dibidang bahasa dan sastra, seperti, Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta, Abdul Hadi WM, Jacob Sumardjo, dan Abdul Rozak Zaidan. Cerpen fiksi 9 dari Nadira ini menceritakan tentang seorang perempuan cantik bernama Nadira Suwandi. Leila menggambarkan Nadira adalah seorang jurnalis---yang menurut Leila, adalah refleksi dirinya yang seorang wartawan. Cerita diawali saat Nadira---seorang introvert cerdas---menemukan sang Ibu tercinta mati bunuh diri. Menurut Leila, kisah yang ingin digambarkannya bukan kenapa ibunya Nadira mati bunuh diri. "Tapi  bagaimana kehidupan Nadira setelah menemukan ibunya bunuh diri. Bagaimana Nadira bisa bertahan menghadapi hidup," kata Leila. Buku setebal 270 halaman ini menceritakan kehidupan Nadira selanjutnya. Bagaimana Nadira menjalani hidupnya. Dengan penggalan sembilan cerpen, lembaran hidup Nadira dan keluarganya dikisahkan oleh Leila melalui tulisan khasnya.
Di akhir tahun 2012, dunia sastra Indonesia menyambut kelahiran sebuah karya Leila dengan gegap gempita. Penulis yang sudah berkarya sejak usia 11 tahun ini menerbitkan novel terbarunya berjudul Pulang. Bagi pembaca, Pulang merupakan karya apik yang mampu menjadi pelipur lara serta memberi refleksi sederhana yang mampu merawat ingatan masyarakat akan sebuah peristiwa sejarah. Namun buat Leila sendiri, Pulang adalah sebuah kata yang merepresentasi hidupnya. Sebab sudah lebih dari 20 tahun---tepatnya sejak 1989, Leila muda memutuskan diri untuk menjadi wartawan dan meninggalkan dunia penulisan fiksi.
Dan Pulang, yang secara eksplisit Leila sudah menerangkan, bahwa ia begitu terinspirasi oleh para eksil yang pernah dijumpainya, seperti Ibrahim Isa, Sobron Aidit, Umar Said dan sosok lainnya. Selain itu, Ia dipengaruhi oleh kebijakan redaksi tempatnya bekerja---Tempo, yang secara rutin tahunan menerbitkan edisi khusus terkait peristiwa G/30/S sejak 2005 lalu. Juga, sebagai variasi dalam upaya pelurusan sejarah nasional. Seperti yang telah dilakukan oleh Asvi Warman Adam maupun Bonnie Triyana, dalam melawan dominasi penulisan sejarah distorsif yang selama ini dilakukan oleh para sejarawan mainstream atau “peliharaan” Orba yang dipelopori oleh sosok Prof. Nugroho Notosusanto. Dan Novel Pulang adalah pemenang Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2013, hal ini membuktikan bahwa novel Pulang adalah sebuah bacaan yang penting dan menarik untuk dijadikan pengganti sumber-sumber bacaan lama yang mungkin dirasa menjenuhkan seperti terbitan Balai Pustaka atau teenlit yang saat ini digandrungi para pelajar sekolah maupun perguruan tinggi.
Sebagai sebuah karya fiksi, namun sama sekali tidak membuat Pulang menjadi novel yang bisa diremehkan. Mengingat proses penulisannya selama 6 tahun sejak 2006, dan selesai tahun 2012. Kemudian pula, didorong oleh rasa keprihatinan yang dalam. Dan melalui penelitian serius, serta penelusuran sejarah yang panjang demi diperolehnya konteks sosio-historis dalam usaha mendekati realitas. Restoran Indonesia, yang ia samarkan menjadi Restoran Tanah Air di Rue de Vaugirard, Paris, Prancis. Diambil sebagai latar tempat utama novel ini. Hal itu membuat Pulang seakan nyata, dan  menggiring saya memasuki imajinasi tentang kisah hidup beberapa orang eksil politik yang sejak sekitar 40 tahun lalu. Bagaimana memperjuangkan hidup di negeri jauh, dengan membangun badan usaha berbentuk koperasi produksi. Sebagaimana pernah dikisahkan oleh sastrawan Sobron Aidit pada tahun 2007, dalam buku memoar yang berjudul Melawan dengan Restoran.
Novel Pulang karya Leila adalah sebuah novel yang mengisahkan tentang kehidupan para eksil di Paris, tentang hasrat yang sekaligus juga ratapan mengenai suatu tempat dimana dia berasal. Dalam Pulang, manusia atau individu adalah sesuatu yang tak pernah selesai karena di dalam diri mereka selalu tersimpan harapan dan mimpi akan hidup yang lebih baik. Pulang mencoba mendirikan status kemanusiaan di atas hakikat hidup dan harapan. Hakikat hidup dan harapan inilah yang kemudian menjadi dasar dari novel Pulang. Manusia bahkan yang demikian terpencil sekalipun tak pernah berhenti dipenuhi oleh harapan di dalam hidupnya.
Pada cover belakang novel Pulang diterangkan bahwa “Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.” Ringkasan tersebut mengindikasikan kompleksitas cerita yang tinggi. Keluarga, cinta, dan pengkhianatan, meski dalam kenyataan memang seringkali berkaitan atas tiga tema besar itu. Lalu tiga peristiwa yang melatarbelakanginya pun tidak kalah kompleks. Apalagi peristiwa 30 September 1965 di Indonesia bisa dibilang kabur dalam sejarah Indonesia. Leila memilih tema dan peristiwa yang tidak mudah untuk diceritakan secara naratif. Namun sejauh ini, ia dapat mengatasi kompleksitas tersebut. Ia berhasil mengolah unsur-unsur naratif dan menyajikannya secara baik dalam novelnya Pulang.
Novel Pulang mengungkapkan tentang suatu realitas yang terjadi pada tahun 1965-1998 yang selama ini mungkin ditutup-tutupi oleh pemerintah bahkan diputarbalikan faktanya. Seperti yang kita ketahui bahwa hal yang tertulis pada buku-buku sejarah baik itu di sekolah maupun  perpustakaan umum bukan tergantung pada apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu, melainkan tergantung siapa orang yang berkuasa pada saat ini (pemerintah). Di dalam novel Pulang terdapat kejadian-kejadian yang dianggap tidak berperikemanusiaan yang terjadi pada tokoh-tokoh yang dianggap sebagai orang kiri dan ini semua dilakukan oleh aparat pemerintahan pada saat itu yang seharusnya melindungi rakyatnya sendiri. Sedangkan yang terjadi sekarang sebagaimana yang ditulis di buku-buku sejarah adalah sebaliknya, bahwa orang-orang yang dianggap kiri tersebutlah yang dinyatakan tidak berperikemanusiaan terhadap orang-orang sekitarnya, bahkan kepada aparat itu sendiri seperti terbunuhnya jendral-jendral di lubang buaya. Melalui Pulang, sudah jelas terlihat keberanian dan ambisi Leila untuk mengaitkan sastra dengan kejadian politik. Pulang adalah novel mengenai ‘hasrat untuk pergi ke tempat asalnya’. Dalam hasrat untuk pergi kembali ke tempat asalnya itu, subyek resah, bertanya, dan meratap. Sebagian berhasil mendapatkan jawaban, sebagian lagi gagal.
Narasi kehidupan (sejarah) tidak melulu harus diceritakan lewat buku-buku cetak sejarah di sekolah-sekolah, yang kenyataannya justru makin banyak kisah sejarah itu sendiri tidak dikupas secara lengkap, utuh dan tuntas. Juga lewat banyak tulisan-tulisan di internet yang terkadang isinya juga semakin mengaburkan cerita sejarahnya---tidak lengkap. Bagaimana sejarah itu sendiri menjadi menarik untuk diketahui dan dipahami, sehingga menumbuhkan ruang-bebas bagi banyak orang dalam menginterpretasikan dengan kehidupannya. Jembatan penghubung antara yang lalu dan sekarang, untuk masa depan. Biarpun ungkapan past is the past menjadi begitu populer saat ini, namun apakah salah jika yang sekarang belajar dari yang lampau? Ataukah, yang sekarang sengaja ingin mengubur----melupakan---dalam-dalam yang sudah lampau itu?

CODA: Refleksi Sastra Jurnalisme
Membicarakan jurnalisme erat kaitannya dengan proses mengumpulkan data dan fakta lalu mengkonstruksinya menjadi sebuah cerita (berita). Dalam perkembangannya, bentuk penulisan berita tidak sebatas straight news dengan model piramida terbaliknya. Munculnya genre Jurnalisme Sastra (atau sastrawi) membuka ruang bagi jurnalis untuk merekonstruksi fakta menjadi sebuah teks, yang membawa imajinasi pembaca untuk berdialog dengan objek yang diberitakan. Dengan teknik seperti ini, imajinasi pembaca akan menangkap sebuah gambaran peristiwa seperti membaca cerpen atau novel.
Belum lama ini bertambah lagi jurnalis yang melahirkan novel. Tosca Santoso, setelah lebih dua dekade bertualang di dunia jurnalisme, menerbitkan novel berjudul Sarongge. Novel setebal 384 halaman yang diterbitkan Dian Rakyat pada September 2012 tersebut mengangkat tema tentang lingkungan, cinta dan kemanusiaan (juga ditulis: hutan, manusia dan cintanya). Karena gaya penulisannya sebagian serupa karya jurnalisme maka, maka saya gunakan istilah Sastra Jurnalisme.  Gaya penulisan sastra seperti ini sering saya jumpai pada karya sastra yang ditulis oleh sastrawan yang (pernah) berprofesi sebagai jurnalis. Barangkali karena dalam keseharian selalu berkutat dengan reportase dan penulisan teks jurnalisme, maka gaya tersebut kadang terbawa pada penulisan sastra. Ciri-cirinya antara lain dapat dilihat pada gaya penulisan yang banyak didasari fakta lapangan, data-data pendukung dan munculnya idealisasi dan idealisme dalam konstruksi peristiwa. Tapi berbeda dengan Jurnalisme Sastra yang mutlak bersandar pada kebenaran, Sastra Jurnalisme tidak diharamkan memasukkan unsur, latar dan penokohan fiktif.
Maka mengawinkan Sastra dengan Jurnalisme bukan hal terlarang, keduanya berasal dari akar yang sama. Budaya teks/tutur, budaya yang sudah mengakar pada manusia sejak berpuluh abad silam. Realitanya banyak juga jurnalis yang kemudian menjadi sastrawan. Sebut saja Goenawan Mohamad, Rida K Liamsi, Seno Gumira Ajidarma (SGA), Leila S Chudori, Akmal Nasery Basral, Hasan Aspahani, Hary B Koriun, Okky Puspa Madasari, dan banyak nama lainnya. Bahkan seperti yang sudah SGA tegaskan dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, bahwa dalam bentuk fakta (karya jurnalisme) maupun fiksi (karya sastra), kebenaran adalah kebenaran- yang getarannya bisa dirasakan setiap orang. Kemudian SGA pun menggugat, mengenai definisi soal kebenaran yang seringkali terlalu ketat. Sebab dalam dunia jurnalisme, kebenaran seringkali dipersempit hanya terletak pada fakta-fakta pemberitaan berupa teks dan foto. Sementara bentuk pesan lainnya semacam cerpen dan puisi hanya dianggap sebagai fiksi, bukan kebenaran. Padahal sejatinya sastra juga merupakan jalur pengungkapan kebenaran. Sastra adalah cermin realitas. Dalam konteks ini, jurnalisme dan sastra bisa menjadi medium untuk mengomunikasikan kebenaran.
Toh kenyataannya, dunia jurnalisme juga tidak lepas dari konstruksi informasi fiktif. Bahkan media sebesar New York Times dan The Washington Post juga tak luput dari muslihat jurnalisme fiksi yang dilakukan wartawannya. Salah satu yang menonjol adalah kasus Janet Leslie Cooke, yang menulis artikel ‘’Dunia Jimmy’’ dan dimuat di The Washington Post pada 28 September 1980. Laporan itu mendapat penghargaan Feature Terbaik Pulitzer 1981. Belakangan, ketahuan bahwa artikel tentang bocah pencandu heroin di kawasan kumuh Washington DC itu bohong dan sosok Jimmy hanyalah rekaan Cook.

Tapi sastra dan fiksi jelas dua hal yang berbeda. Maka jurnalisme sastra dengan jurnalisme fiksi tidak bisa disamakan. Fiksi dalam KBBI diartikan sebagai cerita rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan dan pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Sedang sastra lebih kepada bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai. Maka ketika menyebut jurnalisme sastra, pikiran kita harus dibebaskan dari kata: fiksi.

No comments:

Post a Comment