Serupa
spora pada tanaman paku, dogma tahayul
teramat cepat menyebar. Atas nama keimanan suatu keyakinan/agama
tertentu, hal ihwal ajaran serta keyakinan agama atau kepercayaan itu tidak
boleh dipersoalkan (dan harus diterima sebagai kebenaran). Sementara, jika obat
dari kebodohan adalah ilmu dan bukan iman. Maka beriman tanpa pengetahuan
tetaplah bodoh. Hal ini yang merupakan musuh terbesar bagi umat manusia, kalau
saja agama terus menyebarkan bibit-bibit kebencian kepada anak-cucu, yakni
bibit-bibit mitos kesalehan sebagai kenyataan yang absolut. Maka kemajuan ilmu
pengetahuan akan terhenti, dan manusia akan musnah karena jihad bodoh di
masa-masa yang akan datang. Dan sebuah jurang yang begitu dalam, seakan
terbentuk di antara ilmu pengetahuan dan agama.
Seperti
pembunuhan Copernicus dengan konsep heliosentrisnya, agama tak jarang membunuh
para ilmuwan yang berani bicara. Penganiayaan terhadap ilmu pengetahuan, terus
berlanjut hingga tahun 1500-an. Sebuah kelompok di Roma, mulai melawan hegemoni
gereja. Seperti para ahli fisika, matematika, dan astronomi, diam-diam
mengadakan jumpa atas keprihatinan terhadap dominasi pengajaran gereja yang
tidak benar.
Galileo
Galilei, bahkan orang awam pun mengenali siapa dia. Seorang ahli astronomi yang
bernasib malang. Yang atas pemikirannya, mengatakan bahwa matahari dan bukan
bumi, adalah pusat dari tata surya. Galileo adalah seorang katolik yang taat,
ia memperlunak tirani gereja, bahwa ilmu pengetahuan tidaklah mengecilkan
keberadaan Tuhan, tapi justru memperkuat keberadaan-Nya. Ia meyakinkan, bahwa
ilmu pengetahuan dan agama bukanlah musuh, tetapi rekanan---dua bahasa berbeda
yang menceritakan sebuah kisah yang sama. Tetapi gereja tentu saja menolak,
penggabungan hanya akan menghancurkan apa yang sudah dikatakan gereja sebagai
satu-satunya kendara untuk mengerti
Tuhan (Dialogo-Discorsi-Diagramma).
Kini
gereja memang tidak membakar pendosa di atas salib seperti dahulu; mencap
punggung dengan bara besi berbentuk salib; bahkan dengan hak hidup yang dibakar
hingga arang terakhir. Atau menebas lehernya dahulu, baru memberi kesempatan
pendosa untuk bertanya. Memastikan setiap tema legitimasi agama seperti hak
cipta. Golok yang tertawa merupakan bagian dari dakwah. Mewujud dalam napas
kultural, semenjak surga dan parameter pahala diukur oleh seberapa banyak
kepala yang dipisahkan dengan nyawa.
Laksana
target segudang fasis FBR di Karbala, adalah bagaimana manusia agar menyebut
nama Tuhannya. Dan semenjak masa Galileo, gereja telah mencoba untuk
memperlambat kemajuan ilmu pengetahuan yang melesat pesat (yang kadang pula tak
jarang melakukan dengan cara-cara yang salah). Namun, ilmu pengetahuan dan
agama bukanlah musuh. Maka dalam melawan tiap hal ihwal yang belum bisa
dimengerti oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang terbilang masih muda, gereja
memohon untuk berhenti; slow down; think
and wait. Dan tentang bagaimana orang-orang yang tak mengerti apa itu
Petir? Atau tentang bagaimana orang-orang yang tak mampu menghargai kekuatan
Petir? Sungguh, pertempuran antara ilmu pengetahuan dan agama masih tetap
berlangsung, ajangnya kini berpindah dari medan perang ke ruang sidang.
Pembenaran
teatrikal masih coba membanyol tentang kekonyolan iman, maka semenjak hitam dan
putih hanya berlaku di hadapan mata sinar Xerox, penasbihan menemukan betapa
agungnya kilauan refleksi Plato tanpa terlebih dulu berdialektika. Pengingkaran
telah menepis pembebasan argumentasi, paranoia statistika agama menipiskan
khotbah dengan gundukan sampah. Tak ada dunia yang begitu mudah untuk
dihitam-putihkan, menjamin tiap pembenaran dalam momen heroik yang banal dan
zumud berkanal. Pembenaran semantik-semantik kekuasaan, mengawetkan hegemoni
alasan atas penjaminan hidup dan pluralitas yang terpisahkan dari nyawa. Sebab
iman tanpa ilmu menurut Buya Hamka bagaikan lentera di tangan bayi, dan ilmu
tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri. Maka pada mata yang tersekat
jarak, kegelapan memenuhi ruang iman, dan pijar lentera yang kerap setia
memberi penyelamatan. Demikian sebaliknya.
Mu’adz
bin Jabal berkata, bahwa wajib atas kalian menuntut ilmu, sesungguhnya
mempelajari ilmu (dengan ikhlas) karena Allah merupakan kassyah, mengajinya
merupakan ibadah, mengingatnya merupakan tasbih, dan membahasnya merupakan
jihad. [Ibnul Qayim-Miftah Daaris Sa’adah 1/131-132; Maktabah Al Misykah]. “Ilmu
adalah revolusi eksternal, dan iman adalah revolusi internal. Tanpa ilmu
dan iman, manusia akan binasa dan celaka.” Kata Quraisy Shihab di salah
satu akun resminya. Sementara, dalam pidatonya, Paus Fransiskus tidak melihat
ilmu pengetahuan dan iman sebagai dua
hal yang bermusuhan. Dan sang Paus mengatakan, bahwa teori-teori ilmiah seperti
Dentuman Besar dan evolusi sama sekali tidak bertentangan dengan iman. Tak
seperti Koalisi Kristen di Amerika Serikat, yang menjadi kekuatan lobi paling
berpengaruh di dunia. Tentang kenapa separuh sekolah-sekolah tak membiarkan
siapapun mengajarkan evolusi.
Buddha dan sebuah catatan kosong,
konseptualisasi adalah awal dari kegiatan berpikir, yang kelak melahirkan
aku/diri. Dan, kebenaran sejati hanya akan hadir ketika pikiran dan aku/diri
ini lenyap. Maka, serupa kanon-kanon surya menjejal jelaga, kapilaritas tinta
menggoda kertas berseloka. Sederet idealisme dalam kalam yang merangkum
sengkarut fatwa, hegemonik konvensi merumus lurus para pendakwa. Seriosa bahasa
tak ubahnya fatamorgana, membias semu pada kelambu rima yang berenda.
No comments:
Post a Comment