February 1, 2015

Galilei; Gereja-Agama-dan Dogma



Serupa spora pada tanaman paku, dogma tahayul  teramat cepat menyebar. Atas nama keimanan suatu keyakinan/agama tertentu, hal ihwal ajaran serta keyakinan agama atau kepercayaan itu tidak boleh dipersoalkan (dan harus diterima sebagai kebenaran). Sementara, jika obat dari kebodohan adalah ilmu dan bukan iman. Maka beriman tanpa pengetahuan tetaplah bodoh. Hal ini yang merupakan musuh terbesar bagi umat manusia, kalau saja agama terus menyebarkan bibit-bibit kebencian kepada anak-cucu, yakni bibit-bibit mitos kesalehan sebagai kenyataan yang absolut. Maka kemajuan ilmu pengetahuan akan terhenti, dan manusia akan musnah karena jihad bodoh di masa-masa yang akan datang. Dan sebuah jurang yang begitu dalam, seakan terbentuk di antara ilmu pengetahuan dan agama.
Seperti pembunuhan Copernicus dengan konsep heliosentrisnya, agama tak jarang membunuh para ilmuwan yang berani bicara. Penganiayaan terhadap ilmu pengetahuan, terus berlanjut hingga tahun 1500-an. Sebuah kelompok di Roma, mulai melawan hegemoni gereja. Seperti para ahli fisika, matematika, dan astronomi, diam-diam mengadakan jumpa atas keprihatinan terhadap dominasi pengajaran gereja yang tidak benar.
Galileo Galilei, bahkan orang awam pun mengenali siapa dia. Seorang ahli astronomi yang bernasib malang. Yang atas pemikirannya, mengatakan bahwa matahari dan bukan bumi, adalah pusat dari tata surya. Galileo adalah seorang katolik yang taat, ia memperlunak tirani gereja, bahwa ilmu pengetahuan tidaklah mengecilkan keberadaan Tuhan, tapi justru memperkuat keberadaan-Nya. Ia meyakinkan, bahwa ilmu pengetahuan dan agama bukanlah musuh, tetapi rekanan---dua bahasa berbeda yang menceritakan sebuah kisah yang sama. Tetapi gereja tentu saja menolak, penggabungan hanya akan menghancurkan apa yang sudah dikatakan gereja sebagai satu-satunya kendara untuk  mengerti Tuhan (Dialogo-Discorsi-Diagramma).
Kini gereja memang tidak membakar pendosa di atas salib seperti dahulu; mencap punggung dengan bara besi berbentuk salib; bahkan dengan hak hidup yang dibakar hingga arang terakhir. Atau menebas lehernya dahulu, baru memberi kesempatan pendosa untuk bertanya. Memastikan setiap tema legitimasi agama seperti hak cipta. Golok yang tertawa merupakan bagian dari dakwah. Mewujud dalam napas kultural, semenjak surga dan parameter pahala diukur oleh seberapa banyak kepala yang dipisahkan dengan nyawa.
Laksana target segudang fasis FBR di Karbala, adalah bagaimana manusia agar menyebut nama Tuhannya. Dan semenjak masa Galileo, gereja telah mencoba untuk memperlambat kemajuan ilmu pengetahuan yang melesat pesat (yang kadang pula tak jarang melakukan dengan cara-cara yang salah). Namun, ilmu pengetahuan dan agama bukanlah musuh. Maka dalam melawan tiap hal ihwal yang belum bisa dimengerti oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang terbilang masih muda, gereja memohon untuk berhenti; slow down; think and wait. Dan tentang bagaimana orang-orang yang tak mengerti apa itu Petir? Atau tentang bagaimana orang-orang yang tak mampu menghargai kekuatan Petir? Sungguh, pertempuran antara ilmu pengetahuan dan agama masih tetap berlangsung, ajangnya kini berpindah dari medan perang ke ruang sidang.
Pembenaran teatrikal masih coba membanyol tentang kekonyolan iman, maka semenjak hitam dan putih hanya berlaku di hadapan mata sinar Xerox, penasbihan menemukan betapa agungnya kilauan refleksi Plato tanpa terlebih dulu berdialektika. Pengingkaran telah menepis pembebasan argumentasi, paranoia statistika agama menipiskan khotbah dengan gundukan sampah. Tak ada dunia yang begitu mudah untuk dihitam-putihkan, menjamin tiap pembenaran dalam momen heroik yang banal dan zumud berkanal. Pembenaran semantik-semantik kekuasaan, mengawetkan hegemoni alasan atas penjaminan hidup dan pluralitas yang terpisahkan dari nyawa. Sebab iman tanpa ilmu menurut Buya Hamka bagaikan lentera di tangan bayi, dan ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri. Maka pada mata yang tersekat jarak, kegelapan memenuhi ruang iman, dan pijar lentera yang kerap setia memberi penyelamatan. Demikian sebaliknya.
Mu’adz bin Jabal berkata, bahwa wajib atas kalian menuntut ilmu, sesungguhnya mempelajari ilmu (dengan ikhlas) karena Allah merupakan kassyah, mengajinya merupakan ibadah, mengingatnya merupakan tasbih, dan membahasnya merupakan jihad. [Ibnul Qayim-Miftah Daaris Sa’adah 1/131-132; Maktabah Al Misykah]. “Ilmu  adalah revolusi eksternal, dan iman adalah revolusi internal. Tanpa ilmu dan iman, manusia akan binasa dan celaka.” Kata Quraisy Shihab di salah satu akun resminya. Sementara, dalam pidatonya, Paus Fransiskus tidak melihat ilmu pengetahuan dan iman sebagai  dua hal yang bermusuhan. Dan sang Paus mengatakan, bahwa teori-teori ilmiah seperti Dentuman Besar dan evolusi sama sekali tidak bertentangan dengan iman. Tak seperti Koalisi Kristen di Amerika Serikat, yang menjadi kekuatan lobi paling berpengaruh di dunia. Tentang kenapa separuh sekolah-sekolah tak membiarkan siapapun mengajarkan evolusi.
 Buddha dan sebuah catatan kosong, konseptualisasi adalah awal dari kegiatan berpikir, yang kelak melahirkan aku/diri. Dan, kebenaran sejati hanya akan hadir ketika pikiran dan aku/diri ini lenyap. Maka, serupa kanon-kanon surya menjejal jelaga, kapilaritas tinta menggoda kertas berseloka. Sederet idealisme dalam kalam yang merangkum sengkarut fatwa, hegemonik konvensi merumus lurus para pendakwa. Seriosa bahasa tak ubahnya fatamorgana, membias semu pada kelambu rima yang berenda.


No comments:

Post a Comment