;sebuah refleksi jurnalistik seorang pengarang
PRELUDE
Tulisan
ini bermula sekitar tahun 1962. Seorang Doktor di Universitas Yale menemukan
karangan naratif karya Gay Talase, yang mengisahkan Joe Luis sebagai seorang
petinju lapuk. Sejak saat itu, Thomas Kennery Wolfie---seorang Doktor yang
tadi---merasa terkesan dengan tulisan semacam itu. Ia mulai mengembangkan penulisan jurnalistik
yang tak semata-mata hanya menghadirkan eksposisi berupa kalimat-kalimat
tunggal, atau sebagai kemasan fakta dan data belaka. Ia berkeyakinan, bahwa
penulisan reportase (atau jurnalistik) akan lebih cair dan emosional tatkala
ditulis dengan gaya naratif deskriptif. Laiknya sebuah novel (bahkan sebuah
karya sastra), dengan tidak mengesampingkan fakta dan data yang sesungguhnya.
Maka dengan gaya naratif deskriptif, sebuah reportase tak lagi kaku seperti
karangan eksposisi sebelumnya.
Pengalaman sentimentil, kerap
menjadi tema menarik dalam serangkaian cerita yang utuh. Dengan corak sebuah
berita yang kronologis, bahasa yang lebih naratif dan akrab. Kepemilikan
ingatan---yang disebut oleh Wolfie---dalam pengembangannya dalam feature, yakni
sebagai human interest atau penyimpan dari pengalaman-pengalaman
sentimentil tadi. Maka, orang-orang menjadi sumber berita atas pengangkatan
sebuah tema. Dan berbagai macam contoh dari bentuk sastra jurnalisme, berikut
nama-nama pengarang Indonesia yang sebagian karyanya dapat dijadikan referensi
bacaan, di antaranya; (1) Seno Gumira Ajidarma; (2) Okky
Madasari; (3) dan Leila Salikha Chudori.
Dalam sebuah esai
yang berjudul Literature
and Society, Ian Watt
membicarakan hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat
(Damono, 1979:3--6; Faruk, 1994:4--5). Secara keseluruhan, hubungan
timbal-balik tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama,
konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan
dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk
juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi isi karya sastranya. Yang
terutama harus ditelisik adalah; (a) bagaimana si pengarang mendapatkan
mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan
dari pengayom (patron),
atau dari masyarakat
secara langsung, atau
dari kerja rangkap; (b)
profesionalisme dalam kepengarangan, sejauh mana pengarang itu menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi; (c) masyarakat apa yang dituju oleh
pengarang; hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat
penting sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan
bentuk dan isi karya sastra.
Kedua, sastra sebagai
cermin masyarakat. Di sini dipertanyakan
sampai sejauh mana sastra
dapat dianggap sebagai
cerminan keadaan masyarakat.
Pengertian “cermin” di
sini sangat kabur, dan oleh karenanya, banyak disalahtafsirkan dan
disalahgunakan. Yang terutama mendapat
perhatian adalah; (a) sastra
mungkin tidak dapat
dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis sebab banyak ciri-ciri
masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi
pada waktu ia ditulis; (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang
sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya;
(c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu,
dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat; (d) sastra yang berusaha
untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa
dipercaya sebagai cermin masyarakat, demikian juga sebaliknya, karya yang sama
sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti
barangkali masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat.
Pandangan sosial pengarang
harus diperhitungkan apabila
seseorang menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat (Damono,
1979:3--6; Faruk, 1994:4--5).
Menurut
Eagleton (2002:61--62), karya
sastra bisa dikatakan
tidak berdiri dengan objeknya dalam bentuk reflektif,
simetris, dan hubungan satu-satu. Objek sastra ditampilkan dalam karya sastra
dalam bentuk: deformed (perubahan bentuk), refracted (perubahan arah atau pembiasan),
dan dissolved (dibubarkan)—sehingga setidaknya
menghasilkan kembali sebuah
cermin yang kemudian memproduksi objeknya. Cerminan terhadap objeknya itu
berupa cara tampilan dramatik yang memproduksi ulang teks dramatik atau
mempertaruhkan contoh yang lebih
menantang. Efek sastra pada hakikatnya
lebih untuk merusak bentuk (deform) daripada meniru.
Jika imaji keseluruhan
dapat disamakan dengan
realitas (seperti dalam sebuah cermin), imaji menjadi identik
dengan realitas dan berhenti menjadi citra. Karakteristik gaya sastra yang
menganggap semakin seseorang menjauhkan dirinya dari objek, semakin dia benar-benar
menirunya. Hal tersebut menurut Macherey (Eagleton, 2002:61--62), merupakan
suatu model dari semua aktivitas artistik, sastra hakikatnya adalah parodik.
Kaitan
antara karya sastra
dengan realitas atau
masyarakat, menurut teori Strukturalisme Genetik sebagaimana
dikemukakan Goldmann (1981:111), dimediasi oleh pandangan dunia (world view).
Karya sastra merupakan ekspresi dan produk strukturasi pandangan dunia
(Faruk, 1988:78). Pandangan
dunialah yang memicu
subjek untuk mengarang.
Identifikasi pandangan dunia juga dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan
suatu karya. Mengetahui pandangan dunia
suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecenderungan suatu
masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari.
Rekonstruksi pandangan dunia dalam pandangan Goldmann merupakan suatu hal yang
khas sebagai representasi kolektivitas kecenderungan kelompok tertentu, pada
saat sejarah tertentu yang terdapat pada karya-karya tertentu yang bersifat
kanon.
Ketiga, fungsi sosial
sastra. Di sini, kritikus terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai
seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?” dan “Sampai seberapa
jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”. Dalam hubungan ini, ada tiga hal
yang harus diperhatikan; (a) sudut pandang ekstrem kaum romantik,
misalnya, yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan
karya pendeta atau
nabi dan dalam anggapan
ini tercakup juga pendirian bahwa sastra harus berfungsi
sebagai pembaharu atau perombak; (b) dari sudut lain dikatakan bahwa
sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini, gagasan “seni untuk
seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best
seller; (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan
klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur (Damono, 1979:6;
Faruk, 1994:5).
Karya sastra sebagai simbol verbal,
menurut Kuntowijoyo (1987:127), mempunyai tiga peranan; (1) sebagai cara
pemahaman (mode of comprehension); (2) cara perhubungan (mode of
communication); (3) cara
penciptaan (mode of creation).
Dalam kaitannya dengan peristiwa sejarah, Kuntowijoyo lebih
lanjut mendeskripsikan bahwa pada dasarnya, objek karya sastra adalah
realitas—apa pun yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Bila realitas
tersebut berupa peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat dikategorikan
sebagai; (1) usaha menerjemahkan
peristiwa itu dalam
bahasa imajiner dengan
maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar
kemampuan pengarang; (2) karya sastra dapat menjadi sarana bagi
pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai
suatu peristiwa sejarah; (3)
karya sastra dapat berupa
penciptaan kembali sebuah
peristiwa sejarah (seperti halnya
karya sejarah) sesuai
dengan pengetahuan dan
daya imajinasi pengarang.
Dalam karya sastra yang menjadikan
peristiwa sebagai bahan, ketiga hal di atas dapat menjadi satu.
Perbedaan masing-masing hanya
dalam kadar campur tangan
dan motivasi pengarangnya.
Sebagai cara pemahaman, misalnya, kadar peristiwa sejarah sebagai aktualitas
(kadar faktisitasnya) akan lebih tinggi daripada kadar imajinasi pengarang.
Sebagai cara perhubungan, kedua unsur tersebut, baik faktisitasnya maupun imajinasinya memiliki kadar yang sama. Sebagai cara penciptaan,
kadar aktualitas atau faktisitasnya lebih rendah daripada imajinasi pengarang.
Perbedaan tersebut dalam karya sastra memang sebatas asumsi teoretis yang dalam
pelaksanaannya sukar untuk dibedakan (Kuntowijoyo, 1987:127).
Perbedaan antara sejarah dan sastra
tampak dalam skala yang dibuat Koestler dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk
penemuan manusia, dari
bentuk-bentuk yang objective-verifiable ke
yang subjective-emotional tercatat
berturut-turut: kimia, biokimia,
biologi, kedokteran,
psikologi, antropologi, sejarah,
biografi, novel, epik, dan
lirik. Di sini, tampak bahwa sejarah dan novel (karya sastra)
mempunyai jarak yang tidak terlalu jauh untuk mengadakan hubungan.
White (1987:51) dalam
artikelnya yang berjudul
“Interpretation in
History” menyatakan bahwa
pada umumnya, para
ahli sejarah menyetujui
akan peran interpretasi dalam
penyusunan kisah sejarah. Sebuah narasi sejarah memerlukan penyeleksian dan
interpretasi atas tumpukan fakta yang diperolehnya menjadi sebuah rekonstruksi
terhadap sebuah peristiwa yang terjadi.
Dengan demikian, pada hakikatnya peristiwa
sejarah sejajar dengan karya
sastra dalam merekonstruksi sebuah peristiwa masa lalu.
Dalam hubungan ini perlu dibedakan
antara pendekatan sejarah dengan sejarah sastra, sastra sejarah, dan novel
sejarah. Pendekatan historis mempertibangkan historitas karya yang diteliti,
yang dibedakan dari sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal
hingga sekarang. Sastra sejarah merupakan karya sastra yang mengandung
unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah adalah novel yang kaya akan unsur-unsur
sejarah (Ratna, 2004: 65).
Novel sejarah
ataupun khususnya
novel sosial,
menurut Kuntowijoyo (1987:134), memiliki hubungan timbal balik dengan peristiwa sejarah; (1)
karya sastra menjadi saksi dan diilhami
oleh zamannya; (2) sebaliknya,
karya sastra
dapat
mempengaruhi peristiwa- peristiwa sejarah zamannya
dengan membentuk sebuah public opinion. Pandangan ini mirip dengan konsep hegemoni Gramci dalam memandang karya sastra, yang
bersifat reflektif sekaligus formatif terhadap masyarakatnya (Faruk, 1994:11; Ratna, 2003:22; Nurhadi, 2004:14--30).
Dan antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat. Fenomena tersebut menjadi bagian yang menarik dalam perkembangan
kesusasteraan Indonesia mutakhir. Sejumlah karya-karya fiksi di Indonesia,
dengan penulisan reportase ala naratif deskriptif, terbit dalam wujud cerita
yang mengemas peristiwa faktual ke dalamnya. Sehingga, pengalaman-pengalaman
sentimentil kerap menjadi tema dalam serangkaian cerita yang utuh. Berikut
nama-nama pengarang Indonesia, seperti Seno Gumira Ajidarma, Okky Puspa Madassari,
dan Leila Salikha Chudori yang terangkum parsial menjadi tiga Interlude.
INTERLUDE
I: Seno Gumira Ajidarma
Penulis yang meraih Khatulistiwa
Literary Award 2005 ini mempunyai kekhasan karya yang tidak hanya terletak
pada nuansa investigasi dan intelejennya saja, tetapi juga lebih pada
pengungkapannya yang padat dan tangguh. Seno Gumira Ajidarma, dalam buku Ketika
Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (Ajidarma, 1997: 93), hendak
menyampaikan kebenaran suatu peristiwa melalui karya sastra ketika media
jurnalistik mengalami kegagalan karena
terbentur oleh penyensoran. Secara konsisten, Seno Gumira Ajidarma---seorang sastrawan
(cerpenis dan novelis), dosen, fotografer--- yang juga seorang wartawan ini
mengungkapkan peristiwa-peristiwa sosial politik ke dalam karya-karyanya.
Sehingga dapat kita lakukan penelusuran dengan mengaitkan sejumlah
peristiwa-peristiwa faktual yang pernah terjadi sebagai objek acuannya.
Dalam situasi pemerintahan serba sensor,
peristiwa-peristiwa faktual tidak dapat ditampilkan secara langsung (atau dengan
nama lain sebagai karya jurnalistik). Rangkaian peristiwa disampaikan dengan
cara dikodekan, disamarkan, disisipkan, disurealistikkan, dimetaforakan, dan
disimbolkan. Sehingga melalui wahana sastra, pengungkapan peristiwa-peristiwa
faktual tetap dapat dikabarkan. Seperti penggambaran sosok Soeharto
menjadi Paman Gober, seperti yang digambarkan dalam cerpen Kematian Paman Gober dalam antologi Iblis Tidak
Pernah Mati merupakan teknik
penceritaan secara metaforik. Soeharto dalam cerpen ini dimetaforkan
menjadi Paman Gober, tokoh cerita Donald Duck, yang sangat
berkuasa dan kaya, sehingga tidak ada yang berani menentangnya. Satu-satunya
bentuk perlawanan
terhadapnya hanyalah dengan menantikan kematiannya yang bakal
dimuat setiap koran pada halaman pertama.
Sejumlah cerpen dalam antologi Saksi Mata dan dalam roman Jazz, Parfum & Insiden
yang mengisahkan sejumlah peristiwa faktual
terkait dengan pembantaian terhadap sejumlah
demonstran
yang dikenal dengan Insiden
Dili 1991 (dan peristiwa di Timor Timur lainnya) diceritakan dengan teknik pengkodean bahasa walikan versi abjad Jawa. Dalam kedua karya fiksi tersebut, kata Dili dituliskan menjadi Ningi, Timtim menjadi Gidgid, dan lainnya.
Selain
itu, sejumlah peristiwa
faktual disamarkan
penceritaannya,
baik yang
terkait dengan nama, lokasi, maupun tanggal peristiwanya. Akan tetapi, dengan pembacaan yang jeli, hal-hal yang disamarkan tersebut dapat ditelusuri peristiwa acuannya. Meskipun tidak menyantumkan
secara
langsung peristiwa
acuannya,
cerpen Clara
yang
terdapat dalam antologi Iblis Tidak Pernah Mati, dapat dikenali sebagai peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta itu dengan mengenali korban perkosaan massal di
tengah kerusuhan itu yang beretniskan Cina. Teknik penyamaran
peristiwa seperti ini hampir ditemukan pada cerpen-cerpen lainnya. Selain mengenali peristiwanya yang sejajar dengan
peristiwa faktualnya, Seno selalu
menuliskan tempat dan tanggal penulisan karya-karya pada bagian akhir (kolofon) yang dapat dijadikan
referensi terhadap
kronologi peristiwa faktualnya.
Peristiwa-peristiwa dalam cerpen
memiliki kaitan dengan kehidupan nyata. Meski dalam teori hermeneutik
ditekankan, adanya otonomi teks dan keinginan untuk melepaskan diri dari konteks
sosial tertentu. Model seperti ini hampir tidak mungkin diterapkan sepenuhnya,
karena baik teks maupun interpretator merupakan produk sosial. Simbol-simbol
yang terdapat dalam cerpen akan dicari referensinya dalam peristiwa,
pengalaman, dan kehidupan nyata. Cerpen yang mengambil sumber inspirasi dari
keberadaan Soeharto, seperti teori Umar Junus, dapat bersifat melaporkan
peristiwa, menghubungkan peristiwa, memfiktifkan peristiwa, mereaksi peristiwa,
serta menyublimasi peristiwa. Sebuah cerita pendek ada kemungkinan
bagian-bagiannya dapat mewakili hal-hal tersebut.
Aspek-aspek sosiologis yang menunjukkan
adanya hubungan antara isi cerita pendek dengan keadaan nyata di Indonesia,
umumnya berkaitan dengan masalah sosial politik yang bermuara ke sepak terjang
Soeharto. Aspek-aspek sosiologis yang menonjol berkaitan dengan strategi
Soeharto dalam mengendalikan kekuasaan, keterlibatan Soeharto dalam masalah
korupsi, kolusi, dan nepotisme, tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatan
serta pengunduran diri Soeharto sangat mudah kita temui di sekitar masa
reformasi. Gejolak emosi pengarang saat itu memang memuncak sehingga terjadi
ledakan ekspresi. Karya-karya dengan tema protes sosial politik jadi membanjir.
Apa pun yang terjadi, sastra adalah saksi zaman. Soeharto adalah bagian dari
perjalanan zaman. Rekaman peristiwa dalam sastra, seperti halnya sejarah, agar
kita sebagai pembaca dapat berbuat lebih arif. Sastra memang bukan sekadar
refleksi, tapi lebih dari itu sastra diharapkan dapat memberikan katarsis atau
pencucian bagi jiwa. Soeharto adalah model simbolik, pembaca yang lain mungkin
punya penafsiran berbeda. Tetapi, sebagai rekaman jejak manusia, sastra akan
tetap relevan dengan kehidupan. Soeharto telah menjadi sumber inspirasi yang
subur bagi perjalanan sastra Indonesia.
Profesi sebagai
jurnalis menghadapkan Seno pada investigasi lapangan untuk menyajikan
fakta atas kondisi sosial yang timpang terutama pada masa
kepemimpinan orde baru yang refresif. Ketika jurnalisme yang bersumber
dari fakta mengalami kendala, sastra menjadi pilihan untuk berbicara tentang
kebenaran. “Bagi saya, dalam bentuk fakta maupun fiksi, kebenaran
adalah kebenaran – yang getarannya bisa dirasakan setiap orang,” tulisnya (dalam
buku Ketika Jurn\alisme Dibungkam Sastra Harus Bicara 1997:
111).
Dalam esai Dari
Pengarang Ternama Hingga Pendekar Tak Bernama, Damhuri Mohammad
menulis, barangkali yang dimaksud “kepentingan” oleh Seno
adalah sebentuk kepekaan subyektif pengarang terhadap berbagai persoalan
sosial, yang kemudian mendorongnya untuk menulis sebuah cerita, namun karena
yang dilahirkan adalah teks sastra, pastilah ada “kepentingan estetis” di
dalamnya. Akan tetapi, menurut Damhuri, karena yang tersuguh ke hadapan pembaca
adalah sederetan prosa, baik cerpen maupun novel, maka fakta-fakta keras
seperti pembunuhan biadab, kekerasan atas nama keamanan, digiling-digilas
sedemikian rupa hingga berubah menjadi tepung imajinasi yang tak dapat dipilah
lagi mana fakta, mana fiksi. Keduanya menyatu, berkelit-kelindan, bersenyawa
dalam sebuah adonan bernama cerita.
INTERLUDE
II: Okky Puspa Madasari
Namanya melesat, setelah novelnya yang
berjudul Maryam meraih Anugerah Sastra Khatulistiwa 2012. Okky
Madasari, sekitar empat tahun lalu ia memutuskan untuk menjadi penulis, setelah
hampir empat tahun pula menjalani keseharian sebagai wartawan. Novel pertamanya,
berjudul Entrok. Terbit pada tahun 2010, dan pada tahun
2013 diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris. Ia mengawali kiprah, dengan menyampaikan permasalahan yang ada di
sekitarnya lewat fiksi. Dengan latar belakang cerita masa Orde Baru
dan bagaimana catatan sejarah saat menjadi warga negara ketika itu. Okky---penyuka
karya-karya Pramoedya Ananta Toer---ini mengaku, merasa beruntung lebih dulu
mengenal dunia jurnalistik sebelum memutuskan menjadi penulis. Karena proses
belajar menulisnya menjadi terasah, ketika sebagai wartawan ia harus menulis
efektif dan enak dibaca. Membuat sesuatu yang rumit menjadi mudah dimengerti
buat orang lain.
Setahun kemudian, lahir novel 86 yang
bercerita tentang korupsi. Bisa jadi orang-orang sudah akrab dengan masalah
satu ini, karena hampir setiap hari diberitakan di televisi. Meskipun
begitu, isi ceritanya tetap relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia saat
ini, di mana masih marak akan praktik
korupsi. Menurut penjelasannya, novel 86 sempat masuk nominasi. “Tadinya
masuk ke penulis muda berbakat. Tapi, karena kategori itu dihapus, akhirnya
masuk nominasi karya,” jelas perempuan berjilbab tersebut. Okky Madasari pernah berprofesi
sebagai wartawan bidang hukum dan korupsi, yang dapat mengindikasikan
novel ini menjadi sangat kental dengan reportase yang sarat akan aspek-aspek
sosial-politik. Ditambah lagi novel 86 menggunakan nama-nama tempat yang
benar-benar ada, menjadikannya semakin tampak nyata. Hal ini seolah menjadi
jawaban bagi pemerintahan Indonesia yang hingga saat ini belum dapat
memberantas korupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW)
Febridiansyah melalui Media Indonesia menyatakan bahwa novel 86
secara tersirat membuka
praktik-praktik korupsi yang
dilakukan di lembaga pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Okky, oleh Is Mujiarso dalam pemberitaan detikhot
dikatakan bahwa ia kembali menyuarakan kegelisahan terhadap masalah korupsi.
Meneruskan apa yang sebelumnya telah diperjuangkan sastrawan terkenal seperti
Mochtar Lubis, Ramadhan KH, Ajib Rosyidi, dan Satyagraha Hoerip.
Novel
ketiganya Maryam. Okky menyuarakan kondisi sekelompok masyarakat di
Lombok, yang dianggap menyimpang karena perbedaan keyakinan. Mereka diusir,
tidak boleh tinggal di tanah kelahiran sendiri. Bahkan sampai saat ini,
orang-orang yang terasingkan sebab iman masih dirundung masalah. Sosok Maryam,
seorang perempuan penganut Ahmadiyah asal Lombok mengalami diskriminasi dan
penderitaan karena keluarganya terusir dari kampung halamannya. ”Novel
ini tidak pada posisi membela atau membenarkan keyakinan apapun. Novel Maryam hanya
ingin memperjuangan hak-hak warga negara yang terampas,” kata Okky (dalam
wawancara Republika, Jumat 9 Maret 2014). Ia berharap kisah yang diangkat dari
realita ini seharusnya menjadi peringatan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan presiden berikutnya bahwa tidak ada demokrasi dan penghormatan
terhadap hak azasi manusia tanpa penegakan hukum yang tegas. Selanjutnya Okky
melanjutkan, bahwa novel Maryam tidak pada posisi membela atau
membenarkan ideologi atau keyakinan apapun, novel Maryam hanya ingin
memperjuangkan hak-hak warga negara yang terampas hanya karena perbedaan iman.
Selanjutnya, Okky kembali mencuatkan
isu-isu sosial dalam novel keempatnya. Pasung Jiwa, serasa ada suatu hal
yang berbeda dari buku-buku Okky sebelumnya. Tidak seperti Entrok dan 86,
masing-masing memiliki
fokus isu yang individual, tidak bertumpang tindih anatara isu yang satu isu-isu
yang lainnya. Entrok di era orde baru, dengan segala isu
perpolitikannya. Sedangkan 86, berfokus pada suap-menyuap di peradilan. Dan
pada Pasung Jiwa, terdapat isu yang terkesan memaksakan dan topik yang
diangkat pun menjadi agak melebar. Ada isu transgender, kasus Marsinah,
reformasi ’98, serta laskar berjubah putih. Meski tokoh utama dalam cerita ini tetap
terlibat dalam isu-isu tersebut, tapi kompleksnya malah menjadikan isu tersebut
kurang tertempel kuat seperti dalam buku-buku sebelumnya.
Pengarang memiliki posisi yang sangat
menentukan. Pada umumnya unsur- unsur kepengarangan dikaitkan dengan asumsi
struktur rohaniah, seperti: kapasitas intelektual dan logika, kualitas moral
dan spiritual, fungsi-fungsi didaktis dan teori ideologis. Pengarang dipandang sebagai
subjek yang memiliki
kompetensi yang paling memadai
dalam menghasilkan sebuah karya sastra (Kutha Ratna, 2004:194). Sebagai seorang
Muslimah, Okky mengakui, selalu ada nilai-nilai keislaman dalam setiap
karyanya. “Mungkin inilah saatnya kita harus menyadarkan masyarakat bahwa
religius tidak berarti hanya melaksanakan lima rukun Islam tapi tetap
berperilaku tercela, misal naik haji tapi tetap korupsi,” katanya. Religius
menurutnya, adalah bagaimana tujuan tertinggi agama, yakni kebaikan, terwujud
dalam perilaku kita terhadap sesama manusia, dalam bingkai kemanusiaan.
Okky pun menjadikan agama sebagai
petunjuk untuk memperlakukan manusia dan makhluk hidup lainnya, “Agama buat
saya bukan sekadar tentang surga dan neraka. Agama bagi saya adalah tuntunan
atas perilaku saya hidup di dunia. Yang penting adalah bagaimana kita bisa
menjadi manusia yang jauh lebih baik dengan berdasarkan tuntunan agama.”
Agama jadi penuntun berperilaku sehari-hari. Agama juga jadi hukum tertinggi
dalam dirinya sebelum dia bersentuhan dengan hukum-hukum ciptaan manusia. “Dengan
demikian, saya tak akan pernah korupsi karena agama saya jelas melarang kita
mengambil yang bukan hak.”
Sastra tidak terlepas dari manusia,
keduanya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan, manusia merupakan objek
penceritaan terbesar dalam sebuah karya sastra, terutama novel. Menurut Antilan Purba (2009:2) manusia serta
kehidupannya merupakan
persoalan yang selalu
menarik untuk dibahas. Sastra
berisi manusia dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya terkait rapat dengan
kehidupan sastra. manusia
menghidupi sastra. kehidupan manusia adalah kehidupan sastra. Manusia beragama
menghidupi sastra dan agama, begitu juga manusia berpolitik menghidupi sastra
dan politik.
INTERLUDE
III: Leila Salikha Chudori
Bertemankan Rain Chudori---sang putri
semata wayang, redaktur senior majalah Tempo ini memulai kepulangannya.
Hingar bingar dunia yang tersimpan selama menjalani hidup sebagai wartawan,
kini dijadikan kekuatan untuk dapat berkarya. Berbekal kelihaian observasi
setelah 20 tahun menjadi jurnalis, ia menulis sebuah novel yang memukau banyak
orang. Leila S. Chudori, sejumlah pihak mengakui bahwa karyanya merupakan
tulisan yang begitu nyata, sebab kaya akan fakta sejarah. Ibu satu anak ini
berhasil mempertemukan kembali kata-kata, yang kemudian saling jatuh cinta,
kawin, dan melahirkan sebuah cerita. Kemudian, membawanya kembali pada dunia
sastra; Pulang.
Awalnya, Rain mengomentari kumpulan
cerpen Malam Terakhir, buah karyanya yang diterbitkan kembali pada 2009. “You’re
a very very good writer, mom!” tegas Rain pada ibunya seperti dikisahkan Leila
kepada Didaktika. Pujian yang datang dari Rain benar menjadi cambuk yang
membangkitkan asa kesusastraan Leila, hingga akhirnya ia pun memilih
untuk Pulang. Dalam perjalanannya, ia menulis 9 dari Nadira sebelum
memulai penulisan novel Pulang. “Kalau pujian datang dari orang
lain itu biasa, tapi ini datang dari anak saya sendiri,” akunya. Leila
sangat menghargai apresiasi sang putri, pasalnya Rain merupakan pribadi yang
amat kritis.
Penulis cerpen yang sekaligus wartawan
senior ini mendapatkan penghargaan sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional. Novel karya Leila yang berjudul 9
dari Nadira menjadi pilihan utama dewan juri. Dewan juri yang menilai
merupakan ahli dibidang bahasa dan sastra, seperti, Sapardi Djoko Damono,
Melani Budianta, Abdul Hadi WM, Jacob Sumardjo, dan Abdul Rozak Zaidan. Cerpen
fiksi 9 dari Nadira ini menceritakan tentang seorang perempuan cantik
bernama Nadira Suwandi. Leila menggambarkan Nadira adalah seorang jurnalis---yang
menurut Leila, adalah refleksi dirinya yang seorang wartawan. Cerita diawali
saat Nadira---seorang introvert cerdas---menemukan sang Ibu tercinta mati bunuh
diri. Menurut Leila, kisah yang ingin digambarkannya bukan kenapa ibunya Nadira
mati bunuh diri. "Tapi bagaimana kehidupan Nadira setelah
menemukan ibunya bunuh diri. Bagaimana Nadira bisa bertahan menghadapi
hidup," kata Leila. Buku setebal 270 halaman ini menceritakan
kehidupan Nadira selanjutnya. Bagaimana Nadira menjalani hidupnya. Dengan
penggalan sembilan cerpen, lembaran hidup Nadira dan keluarganya dikisahkan
oleh Leila melalui tulisan khasnya.
Di akhir tahun 2012, dunia sastra
Indonesia menyambut kelahiran sebuah karya Leila dengan gegap gempita. Penulis
yang sudah berkarya sejak usia 11 tahun ini menerbitkan novel terbarunya
berjudul Pulang. Bagi pembaca, Pulang merupakan karya apik
yang mampu menjadi pelipur lara serta memberi refleksi sederhana yang mampu
merawat ingatan masyarakat akan sebuah peristiwa sejarah. Namun buat Leila
sendiri, Pulang adalah sebuah kata yang merepresentasi
hidupnya. Sebab sudah lebih dari 20 tahun---tepatnya sejak 1989, Leila muda
memutuskan diri untuk menjadi wartawan dan meninggalkan dunia penulisan fiksi.
Dan Pulang, yang secara eksplisit
Leila sudah menerangkan, bahwa ia begitu terinspirasi oleh para eksil yang
pernah dijumpainya, seperti Ibrahim Isa, Sobron Aidit, Umar Said dan sosok
lainnya. Selain itu, Ia dipengaruhi oleh kebijakan redaksi tempatnya bekerja---Tempo,
yang secara rutin tahunan menerbitkan edisi khusus terkait peristiwa G/30/S
sejak 2005 lalu. Juga, sebagai variasi dalam upaya pelurusan sejarah nasional. Seperti
yang telah dilakukan oleh Asvi Warman Adam maupun Bonnie Triyana, dalam melawan
dominasi penulisan sejarah distorsif yang selama ini dilakukan oleh para
sejarawan mainstream atau “peliharaan” Orba yang dipelopori oleh
sosok Prof. Nugroho Notosusanto. Dan Novel Pulang adalah pemenang
Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2013, hal ini membuktikan bahwa novel Pulang
adalah sebuah bacaan yang penting dan menarik untuk dijadikan pengganti
sumber-sumber bacaan lama yang mungkin dirasa menjenuhkan seperti terbitan
Balai Pustaka atau teenlit yang saat ini digandrungi para pelajar
sekolah maupun perguruan tinggi.
Sebagai sebuah
karya fiksi, namun sama sekali tidak membuat Pulang menjadi novel yang
bisa diremehkan. Mengingat proses penulisannya selama 6 tahun sejak 2006, dan
selesai tahun 2012. Kemudian pula, didorong oleh rasa keprihatinan yang dalam. Dan
melalui penelitian serius, serta penelusuran sejarah yang panjang demi
diperolehnya konteks sosio-historis dalam usaha mendekati realitas. Restoran
Indonesia, yang ia samarkan menjadi Restoran Tanah Air di
Rue de Vaugirard, Paris, Prancis. Diambil sebagai latar tempat utama novel ini.
Hal itu membuat Pulang seakan nyata, dan menggiring saya memasuki
imajinasi tentang kisah hidup beberapa orang eksil politik yang sejak sekitar
40 tahun lalu. Bagaimana memperjuangkan hidup di negeri jauh, dengan membangun
badan usaha berbentuk koperasi produksi. Sebagaimana pernah dikisahkan oleh
sastrawan Sobron Aidit pada tahun 2007, dalam buku memoar yang berjudul Melawan
dengan Restoran.
Novel Pulang
karya Leila adalah sebuah novel yang mengisahkan tentang kehidupan para eksil
di Paris, tentang hasrat yang sekaligus juga ratapan mengenai suatu tempat
dimana dia berasal. Dalam Pulang,
manusia atau individu adalah sesuatu yang tak pernah selesai karena di dalam
diri mereka selalu tersimpan harapan dan mimpi akan hidup yang lebih baik. Pulang
mencoba mendirikan status kemanusiaan di atas hakikat hidup dan harapan.
Hakikat hidup dan harapan inilah yang kemudian menjadi dasar dari novel Pulang. Manusia bahkan yang demikian
terpencil sekalipun tak pernah berhenti dipenuhi oleh harapan di dalam
hidupnya.
Pada cover belakang novel Pulang diterangkan
bahwa “Pulang adalah sebuah drama
keluarga, persahabatan, cinta dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa
bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei
1998.” Ringkasan tersebut mengindikasikan kompleksitas cerita yang tinggi.
Keluarga, cinta, dan pengkhianatan, meski dalam kenyataan memang seringkali
berkaitan atas tiga tema besar itu. Lalu tiga peristiwa yang
melatarbelakanginya pun tidak kalah kompleks. Apalagi peristiwa 30 September
1965 di Indonesia bisa dibilang kabur dalam sejarah Indonesia. Leila memilih tema dan
peristiwa yang tidak mudah untuk diceritakan secara naratif. Namun sejauh ini,
ia dapat mengatasi kompleksitas tersebut. Ia berhasil mengolah unsur-unsur
naratif dan menyajikannya secara baik dalam novelnya Pulang.
Novel Pulang mengungkapkan tentang suatu
realitas yang terjadi pada tahun 1965-1998 yang selama ini mungkin
ditutup-tutupi oleh pemerintah bahkan diputarbalikan faktanya. Seperti yang
kita ketahui bahwa hal yang tertulis pada buku-buku sejarah baik itu di sekolah
maupun perpustakaan umum bukan
tergantung pada apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu, melainkan tergantung
siapa orang yang berkuasa pada saat ini (pemerintah). Di dalam novel Pulang
terdapat kejadian-kejadian yang dianggap tidak berperikemanusiaan yang terjadi
pada tokoh-tokoh yang dianggap sebagai orang kiri dan ini semua dilakukan oleh
aparat pemerintahan pada saat itu yang seharusnya melindungi rakyatnya sendiri.
Sedangkan yang terjadi sekarang sebagaimana yang ditulis di buku-buku sejarah
adalah sebaliknya, bahwa orang-orang yang dianggap kiri tersebutlah yang
dinyatakan tidak berperikemanusiaan terhadap orang-orang sekitarnya, bahkan
kepada aparat itu sendiri seperti terbunuhnya jendral-jendral di lubang buaya. Melalui
Pulang, sudah jelas terlihat
keberanian dan ambisi Leila untuk mengaitkan sastra dengan kejadian politik. Pulang adalah novel mengenai ‘hasrat
untuk pergi ke tempat asalnya’. Dalam hasrat untuk pergi kembali ke tempat
asalnya itu, subyek resah, bertanya, dan meratap. Sebagian berhasil mendapatkan
jawaban, sebagian lagi gagal.
Narasi kehidupan (sejarah) tidak melulu harus diceritakan lewat
buku-buku cetak sejarah di sekolah-sekolah, yang kenyataannya justru makin banyak
kisah sejarah itu sendiri tidak dikupas secara lengkap, utuh dan tuntas. Juga
lewat banyak tulisan-tulisan di internet yang terkadang isinya juga semakin
mengaburkan cerita sejarahnya---tidak lengkap. Bagaimana sejarah itu sendiri menjadi
menarik untuk diketahui dan dipahami, sehingga menumbuhkan ruang-bebas bagi
banyak orang dalam menginterpretasikan dengan kehidupannya. Jembatan penghubung
antara yang lalu dan sekarang, untuk masa depan. Biarpun ungkapan past is
the past menjadi begitu populer saat ini, namun apakah salah jika yang
sekarang belajar dari yang lampau? Ataukah, yang sekarang sengaja ingin
mengubur----melupakan---dalam-dalam yang sudah lampau itu?
CODA:
Refleksi Sastra Jurnalisme
Membicarakan
jurnalisme erat kaitannya dengan proses mengumpulkan data dan fakta lalu
mengkonstruksinya menjadi sebuah cerita (berita). Dalam perkembangannya, bentuk
penulisan berita tidak sebatas straight news dengan model piramida terbaliknya.
Munculnya genre Jurnalisme Sastra (atau sastrawi) membuka ruang bagi
jurnalis untuk merekonstruksi fakta menjadi sebuah teks, yang membawa imajinasi
pembaca untuk berdialog dengan objek yang diberitakan. Dengan teknik seperti
ini, imajinasi pembaca akan menangkap sebuah gambaran peristiwa seperti membaca
cerpen atau novel.
Belum
lama ini bertambah lagi jurnalis yang melahirkan novel. Tosca Santoso, setelah
lebih dua dekade bertualang di dunia jurnalisme, menerbitkan novel berjudul
Sarongge. Novel setebal 384 halaman yang diterbitkan Dian Rakyat pada September
2012 tersebut mengangkat tema tentang lingkungan, cinta dan kemanusiaan (juga
ditulis: hutan, manusia dan cintanya). Karena gaya penulisannya sebagian serupa
karya jurnalisme maka, maka saya gunakan istilah Sastra Jurnalisme.
Gaya penulisan sastra seperti ini sering saya jumpai pada karya sastra yang
ditulis oleh sastrawan yang (pernah) berprofesi sebagai jurnalis. Barangkali
karena dalam keseharian selalu berkutat dengan reportase dan penulisan teks
jurnalisme, maka gaya tersebut kadang terbawa pada penulisan sastra.
Ciri-cirinya antara lain dapat dilihat pada gaya penulisan yang banyak didasari
fakta lapangan, data-data pendukung dan munculnya idealisasi dan idealisme
dalam konstruksi peristiwa. Tapi berbeda dengan Jurnalisme Sastra yang
mutlak bersandar pada kebenaran, Sastra Jurnalisme tidak diharamkan
memasukkan unsur, latar dan penokohan fiktif.
Maka
mengawinkan Sastra dengan Jurnalisme bukan hal terlarang, keduanya berasal dari
akar yang sama. Budaya teks/tutur, budaya yang sudah mengakar pada manusia
sejak berpuluh abad silam. Realitanya banyak juga jurnalis yang kemudian
menjadi sastrawan. Sebut saja Goenawan Mohamad, Rida K Liamsi, Seno Gumira
Ajidarma (SGA), Leila S Chudori, Akmal Nasery Basral, Hasan Aspahani, Hary B
Koriun, Okky Puspa Madasari, dan banyak nama lainnya. Bahkan seperti yang sudah
SGA tegaskan dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara,
bahwa dalam bentuk fakta (karya jurnalisme) maupun fiksi (karya sastra),
kebenaran adalah kebenaran- yang getarannya bisa dirasakan setiap orang.
Kemudian SGA pun menggugat, mengenai definisi soal kebenaran yang seringkali
terlalu ketat. Sebab dalam dunia jurnalisme, kebenaran seringkali dipersempit
hanya terletak pada fakta-fakta pemberitaan berupa teks dan foto. Sementara
bentuk pesan lainnya semacam cerpen dan puisi hanya dianggap sebagai fiksi,
bukan kebenaran. Padahal sejatinya sastra juga merupakan jalur pengungkapan
kebenaran. Sastra adalah cermin realitas. Dalam konteks ini, jurnalisme dan
sastra bisa menjadi medium untuk mengomunikasikan kebenaran.
Toh
kenyataannya, dunia jurnalisme juga tidak lepas dari konstruksi informasi
fiktif. Bahkan media sebesar New York Times dan The Washington Post juga tak
luput dari muslihat jurnalisme fiksi yang dilakukan wartawannya. Salah satu
yang menonjol adalah kasus Janet Leslie Cooke, yang menulis artikel ‘’Dunia
Jimmy’’ dan dimuat di The Washington Post pada 28 September 1980. Laporan itu
mendapat penghargaan Feature Terbaik Pulitzer 1981. Belakangan, ketahuan bahwa
artikel tentang bocah pencandu heroin di kawasan kumuh Washington DC itu bohong
dan sosok Jimmy hanyalah rekaan Cook.
Tapi
sastra dan fiksi jelas dua hal yang berbeda. Maka jurnalisme sastra dengan
jurnalisme fiksi tidak bisa disamakan. Fiksi dalam KBBI diartikan sebagai
cerita rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan dan pernyataan yang hanya
berdasarkan khayalan atau pikiran. Sedang sastra lebih kepada bahasa
(kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai. Maka ketika menyebut jurnalisme sastra,
pikiran kita harus dibebaskan dari kata: fiksi.