November 1, 2015

Makan Uduk, Teror, dan Masyarakat Indonesia

Pagi tadi, saya makan uduk bareng Chomsky dan Martin Griffith. Ke warung Mpok Mileh yang persis di belakang Mal Alam Sutera. Siapa tahu, seger-segernya AC Mal sampe ke situ. Sial, ternyata banyak AC yang rusak gegara kejadian kemarin. "...iye tuh, ade-ade aje tuh bocah. Udeh tue masih aje maenan petasan dalem mol," gerutu Mpok Mileh sambil pegang termos.

Di tengah goyangan pinggul Mpok Mileh yang lagi ngaduk teh manis, tiba-tiba si Aam---panggilan akrab Chomsky yang hobinya suka nyeletuk, "terorisme dapat dipahami sebagai ancaman atau penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik, agama, atau lainnya dengan cara-cara intimidasi, menimbulkan ketakutan, dan sebagainya yang diarahkan terhadap penduduk atau warga negara tertentu." Mpok Mileh still konsen tak goyah, bodo amat Aam, tetep ngaduk teh sambil goyang.

Tidak lama si Aam kelar, samber si Atin---panggilan akrab Griffith, tak mau kalah cerocosnya menambahkan, "terorisme bisa dilakukan siapa saja, dalam bentuk beragam, dan demi motif yang berbeda-beda..."

Dan sambil mata tetep fokus ke pinggul Mpok Mileh, si Atin ngelanjutin, "...rinciannya; (1) transnational organised crime atau kriminalitas yang beroperasi melintasi batas negara seperti perdagangan narkotika; (2) state sponsored terrorism atau negara yang memberi dukungan terhadap tindakan teror; (3) nationalistic terrorism atau gerakan di dalam negara yang mengacaukan ketertiban masyarakat seperti gerakan separatis; dan (4) ideological terrorism atau teroris yang mendasarkan aksinya pada prinsip-prinsip ideologi."

"Untung saja," kataku dalam hati, "si Atin buru-buru ngelarin ocehannya. Bisa-bisa disiram tiga gelas teh manis tuh sama Mpok Mileh pas balik badan. Heu heu!"






_______________________
Daftar Pustaka

Chomsky, Noam. 2003. Power and Terror: Post-9/11 Talks and Interviews. New York: Seven Stories Press.

Griffiths, Martin dan Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key
concept. London: Routledge.

July 25, 2015

Mencari Dikau dalam Nyanyi Sunyi


;sebuah kajian prematur puisi Amir Hamzah

INTRO

Bahasa merupakan sebuah sistem lambang atau tanda yang bersifat arbitrer, dan konvensional. Tanda-tanda tersebut memiliki makna tersendiri, dilihat dari interpretasi setiap orang. Seperti yang diungkapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo, bahwa bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem yang mempunyai arti.
Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna cat pada lukisan sebelum digunakan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa, sedangkan kata-kata, sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat.
Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti konvensional. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan konvensi masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut semiotik. Begitu juga ilmu yang mempelajari sistem tanda-tanda itu disebut semiotika.
Dalam memahami sebuah tanda, khususnya dalam sebuah karya sastra berupa puisi, setiap individu pasti memiliki interpretasi yang berbeda. Hal itu merupakan sebuah bentuk kewajaran yang pasti akan terjadi. Begitu juga dalam menginterpretasikan sebuah puisi, yang di dalamnya terdapat tanda-tanda (bahasa) yang memiliki makna tersendiri di balik tanda-tanda tersebut.
Dalam salah satu puisi karya Amir Hamzah yang berjudul Memuji Dikau terdapat juga tanda-tanda yang memiliki makna tersendiri. Amir coba menyampaikan sesuatu melalui tanda dalam sebuah karya sastra yang ia karang. Tanda itu dapat ditemukan setelah kita coba untuk mengkajinya dengan berbagai cara. Salah satunya menggunakan konsep semiotika Michael Riffaterre.
Kajian ini, menjadi alternatif untuk mengkaji sastra dari aspek semiotika. Selanjutnya, dimaksudkan untuk mengungkapkan bagaimana makna simbol-simbol dalam puisi Memuji Dikau karya Amir Hamzah.

REFFRAIN

Semiotik adalah ilmu yang pempelajari tentang tanda yang mempunyai makna. Tokoh dalam semiotik terdiri atas Ferdinand de Saussure, dan Charles Sander Pierce. Menurut Sariban, (2009:44-45) konsep Semiotik menurut Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa tanda mempunyai dua aspek, yakni penanda (signifier), dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formal yang menandai suatu petanda. Penanda adalah bentuk formal bahasa, sedangkan petanda adalah arti yang ditimbulkan oleh bentuk formal.
Semiotika, biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda, pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes, 1982: ix). Menurut Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Empat hal tersebut adalah: (1) puisi adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif), (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (Riffatere dalam Salam, 2009:3).
Untuk mengungkapkan makna secara semiotik, dapat dilakukan dengan kajian heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5-6). Heuristik merupakan langkah untuk menemukan makna melalui penkajian struktur bahasa dengan mengintrepetasikan teks sastra secara referensial lewat tanda-tanda linguistik. Langkah ini berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial, artinya bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal nyata. Pembacaan hermeneutik atau retroaktif merupakan kelanjutan dari pembacaan heuristik untuk mencari makna. Metode ini merupakan cara kerja yang dilakukan pembaca dengan bekerja secara terus menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak-balik dari awal sampai akhir (Riffattere dalam Sangidu, 2004: 19).
Pada puisi Memuji Dikau karya Amir Hamzah ini akan dikaji melalui analisis semiotik dengan beberapa aspek berikut, yaitu:

Analisis Heuristik

Langkah-langkah penerapan Heuristik adalah dengan mengkaji makna melalui teks atau bahasa secara harfiah dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata.
Dalam menerapkan Heuristik tidak menghiraukan kelengkapan atau kesempurnaan teks atau kondisi gramatikal. Sehingga apresiator dapat menambah ataupun mengurangi bentuk gramatikal yang ada guna menemukan makna yang terkandung dalam teks karya sastra itu sendiri.
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti bilamana perlu disimpan kata atau sinonim kata-katanya ditaruh dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif); bilamana perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti. Pembacaan heuristik puisi Memuji Dikau itu sebagai berikut.

Memuji Dikau

Kalau aku memuji dikau (tuhanku), (maka) dengan mulut (yang) tertutup (khidmat), (serta) mata (yang) terkatup (khusyuk),
(bersujudlah) Sujudlah segalaku (aku dengan segenap kesungguhan), diam terbelam (menjadi kabur dan suram), di dalam (pancaran cahaya) kalam asmara raya.
Turun kekasihmu (semata cahaya), mendapatkan daku (sedang) duduk bersepi, (dan ber-) sunyi sendiri.
Dikucupnya (dikecupnya) bibirku, dipautnya (dilekat-dekapnya) bahuku, digantunginya (dilingkarinya) leherku (berkalung di leher aku),
(dalam peluk yang) hasratkan suara sayang semata (belaka; semaunya tiada kecualinya).
Selagi hati (ku tengah) bernyanyi, (di) sepanjang sujud (ku yang) semua segala (segalaku; dengan segenap kesungguhan),
(lantas) bertindih ia pada pahaku, meminum (mereguk; merasai nikmat) ia akan suaraku….
Dan,
Ia pun (kembali) melayang (dan) pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.

Tentu saja pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak yang sebenarnya. Pembacaan ini terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama, yaitu konvensi bahasanya.

Analisis Hermeneutik

Langkah-langkah penerapan Hermeneutik adalah dengan mengkaji makna melalui pembacaan yang berulang-ulang dengan meramalkan makna yang terkandung secara tersirat pada karya sastra itu sendiri dengan menggunakan segenap pengetahuan yang dimiliki
Dalam menerapkan Hermeneutik memperhatikan segala bentuk kode yang ada diluar kode bahasa guna menemukan makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Pembacaan hermeneutik itu sebagai berikut. Memuji Dikau mengiaskan bahwa

CODA

Karya sastra merupakan suatu hasil cipta seseorang. Seorang pencipta karya, biasanya membuat suatu karya, dengan maksud dan tujuan tertentu. Karya sastra dari Aslan Abidin, misalnya, dalam puisinya yang berjudul Lirisme Buah Apel yang Jatuh ke Bumi, penyair mencoba menyampaikan suatu pengalaman hidup yang pernah ia alami. Dengan menggunakan banyak perlambangan.
Dalam karya tersebut, Aslan Abidin memberikan tanda-tanda yang setiap tanda itu memiliki makna tersendiri. Kata itu dapat kita interpretasikan dengan akal pikiran kita. Meskipun pada kenyataanya belum tentu apa yang kita interpertasikan sepaham dengan pemikiran atau maksud yang ingin disampaikan oleh penyair tersebut.

———————————————

Daftar Pustaka

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Blamington & London: Indiana University Press.
Fauzi, Ahmad. 2013. Kajian Semiotika. Jogjakarta: Pustaka Ilmu.
Abidin, Aslan. 2008. Bahaya Laten Malam Pengantin. Makassar: Ininnawa.
KBBI

July 19, 2015

Sebuah Romantika Klise

Pada dongeng maupun fabel, seusai pembaca menyelesaikan bacaannya acapkali hanya memiliki satu simpulan utuh. Semisal dalam pelbagai serial dongeng anak, fabel Si Kancil dan Buaya. Yang dengan kecerdikan kancil, posisikan Buaya selalu kalah dan tertipu. Demikianlah yang selalu diajarkan guru pada muridnya, pembaca pada pendengarnya−meski dalam realitasnya, Buaya tetap menjadi sosok yang menakutkan. Nilai-nilai “yang-sudah-mapan” tersebut, menjadi  formula dalam dongeng maupun fabel lainnya, seperti dalam Buaya Putih dan Buaya Hitam. Barangkali untuk fabel yang satu ini, tak banyak pembaca mengetahui tentang bagaimana ceritanya.
Tersebut suatu Istana Buaya, pada suatu masa hiduplah seekor Raja yang tinggal menjelang ajalnnya. Sementara banyak Rakyatnya yang masih bertarung dengan kelaparan, maka atas titah Sang Raja bergeraklah dua ekor Buaya sebagai diplomat kerajaan. Buaya Putih dan Hitam memiliki misi yang sama, yakni membagikan daging rusa kepada rakyatnya, dan memastikan semua terbagi dengan adil. Namun nampaknya Buaya Hitam tak menaati titah Sang Raja, ia malah melahap sendiri daging-daging rusa dan membiarkan rakyat terus kelaparan hingga menjelang kematian. Hal ini kemudian diketahui oleh Buaya Putih, mengakibatkan pertarungan hebat di antara keduanya. Hingga menghadaplah Buaya Putih kepada Sang Raja, laporkan semua ketamakan Buaya Hitam. Sampai kepada tiba ajal Sang Raja, amanatkan Buaya Putih sebagai penerus mahkota. Sementara Buaya Hitam, terjerat hukum dan harus bertafakur dalam jeruji besi hingga menjemput ajalnya.
Tanpa maksud memberi tanggapan atas fabel di atas, kembali nilai-nilai menjadi sebuah representasi moral sinar xerox. Hitam-putih penghakiman, menjadi begitu mudah ditasbihkan. Mungkin dengan sebab landasan didaktis-lah, dongeng maupun fabel anak mengalami keseragaman gaya penceritaan. Mendatangkan suatu masalah, dengan diikuti hadirnya sosok pahlawan nan agung.
Sebagian memilih pasrah, dan mengalami saja suatu stagnansi yang ada. Perasaan serupa, akhirnya hanya menguapkan sebuah kebosanan atau kejenuhan atas plot, alur, serta tokoh yang digunakan. Namun perlu pula disyukuri, adanya kesetiaan beberapa orang yang masih bertahan, dan memilih untuk tetap tinggal dalam varian-varian pada jenis prosa yang satu ini. Sebab sejatinya, apresiasi mesti tetap dijalankan. Menjadi sebuah sentilan sekaligus tegangan untuk para penulis dalam kreasikan penciptaan, serta membebaskan diri dari kungkungan penulis lama.
***
Kejenuhan serupa juga terjadi dalam kancah perpolitikan negeri. Bukan tentang Romantika Cicak dan Buaya, atau Kenakalan Komo yang bikin macet mobil nasional dan esemka, atau kisah persahabatan antar Pimpinan Garuda dan Banteng. Melainkan tentang suguhan dongeng tersebut, yang menawarkan kisah cinta dengan level manusia setengah dewa. Tak menentang tak pula mengamini ucapan Barthes sepenuhnya, bahwa “yang-sudah-sangat-jelas-sehingga-tidak-perlu-dikatakan-lagi”, suatu era “serba-tidak-jelas” inilah yang justru menyebabkan sebuah dongeng menjadi  kisah cinta yang rumit dan membosankan. Kita diposisikan seperti sedang mengoperasikan pesawat tempur dengan segala pirantinya, membaca kisah cinta penuh dengan manuver-manuver canggih atas plot, alur, serta tokoh.
Meski terkadang menelikung rasa dan logika, pembacaan kisah cinta tetap harus berlanjut dan diteruskan. Meski kejadian-kejadian buruk jadi semacam penguraian retorik yang membingungkan,  pengabaian terhadap uraian kisah cinta tak boleh terjadi, dan perlu dihindari sekalipun hanya dalam pikiran saja.
Terhadap tawaran dongeng, yang memuat kisah cinta dengan aksi tipu-tipu, lobbying, dan upeti. Cukuplah kiranya, dengan kita mengatakan bahwa kejahatan berkeliaran lebih nyata dari Tuhan. Sebab tak ada pentingnya menghakimi masa lalu dan apa yang tengah terjadi, serta tingkah lakon dan kejadian-kejadian buruk dalam diri seseorang. Penghakiman tetaplah merupakan bentuk kejahatan juga. Penghakiman boleh jadi hanya sebuah tindak kecerobohan.  Mengingat puncak kebaikan tertinggi tak terletak pada tingkah laku seseorang, melainkan bertunas dalam pikiran.
Dengan sedikit naif, saya tak bisa menafikan penghakiman akan tetap ada. Pembenaran-pembenaran teatrikal hadir bersama para pembaca dan analisator, yang terus berkicau dan membanyol tentang kekonyolan plot, alur, serta lakon tokoh yang tertawar di tiap kilasan dongeng maupun fabel.
Tanpa lebih dulu berdialektika, simpulan kisah cinta menjadi paranoia tersendiri. Seperti di banyak jejaring media sosial, penghakiman ditasbihkan dari atas ranjang; di stasiun-stasiun media massa, penghakiman ditasbihkan dari meja beranda. Menjadi suatu perpanjangan lengan atas ritualisasi pengagungan sinar-sinar xerox.

Mengingat tiadanya dunia yang begitu mudah untuk dihitam-putihkan, saya memilih untuk tetap tinggal menjadi seorang anak yang membaca dongeng. Meski acapkali patah hati, sebab tak bisa tidur nyenyak selagi menikmati kisah cinta. []

July 15, 2015

Reuni Doa


sejuta lalat hijau
bersemayam di atas kepala
sejuta kupu dan kunang
tak kalah kepalang bersemayam
berseru pula

dan di penjamuan tubuh runtuh
kuasa raja rayap duduk bersila

February 1, 2015

Birokrasi Secawan Kopi


            Demi mendapati secawan kopi di sepeninggal pagi tanpa meninggalkan kursi, sekiranya hati mesti rela bersabar mengemil satu sistem birokrasi terlebih dulu.Atas kesadaran antropologi budayayang kau punya, pemesanan cawan bisa saja dilakukan dengan panggilan dari telepon genggam (itu kalau kau seorang Pesohor).Tapi jikalau kau seorang adiluhung atau bahkan hanya seorang pesuruh yang mudah saja terpengaruh, bikin sajalah sendiri.Sila bereksplorasi sesuai selera hati, tanpa khawatir diracuni.
            Yang paling pertama dan utama dalam membikin secawan kopi, pastikan bubuk kopi dan air panas telah siap tergenapi.Jika tidak,ngopisajasecara fiksi. Mari.Dan tentang korelasi cawan atau cangkir sebagai wadah yang classy, usah resah terlampau dipikirkan. Cukup kemasan bekas air mineral atau serupa penutup termos yang digunakan, maka jadilah kitangopi sambil berfantasiuncang-uncang kaki.

Fotogenik Lakonik
Selayang pandang teori tentang ngopi,pria kelahiran Solo (Jawa Tengah) pada 07 Nopember 1935 ini lebih suka membikin kopinya sendiri.Terbukti,ketika seorang Willibrordus Surendra Broto Rendra atau Wahyu Sulaiman Rendra (Kompas, 08 Agustus 2009) menjawabpermintaan wartawan Gamma (21 Nopember 1999:79) untuk mendeskripsikan dirinya (yang sekaligus seorang dramawan dan teaterawan itu) dengan sepatah kata.Dan Rendramenjawab dirinya sebagai seorang“penyair!”. Pengakuan ini tentu senada dengan mutu yang dimiliki seorang Rendra, terhitung hingga millennium ketiga---ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ke-64---wartawan majalah berita itu menyebut bahwa ia telah berkarya selama empat puluh empat tahun (Gamma No 39, hlm 78). Yang sejatinya, ia sudah berkarya 3 tahun lebih lama dari perhitungan majalah tersebut. Tercatat sejak usia sembilan belas tahun, sebuah karya lakonnya Orang-orang di Tikungan Jalan memenangkan hadiah pertama dari bagian Kesenian Departemen P dan K, Yogyakarta, di tahun 1954. Meskipun begitu, sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan Balada Orang-orang Tercinta ditulisnya ketika ia masih berusia tujuh belas tahun---yang kemudian pada tahun 1957 kumpulan puisi masa SMA-nya tersebut menangkan anugerah hadiah dari Dewan Kesenian Nasional. Bahkan kian jauh dari perhitungan majalah tadi (Si Burung Merak oleh Bakdi Soemanto: Kompas, 01 Januari 2000).

Alinea Kornea
Pengkajian antropologi sastra sangatlah mungkin dilakukan, dalam hal ini dapat dilakukan pada ketokohan atau karya-karya sastranya; prosa; puisi; dan drama.Mengingat sastra tak melulu mengandung unsur yang bersifat naratifdengan segala pirantinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat sosiologis, psikis, historis, maupun antropologis---sekalipun Willy (sapaan akrab Rendra) disebut sebagai avent-garde atas puisi-puisi naratifnya yang menggali dan berkisah di tengah dominasi liris, seperti yang pernah disebut oleh Dahono Fitrianto dalam Rendra dan Ajaran Kepeduliannya (Kompas, 16 Agustus 2006). Hipotesa ini diperkuat oleh argumentasi bahwa sastra bersifat terbuka, artinya seorang pengarang memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan segala aspek kehidupannya (kehidupan dalam kepenyairannya .pen) ataupun kehidupan masyarakat di sekitarnya---dalam kaitan ini melalui media bahasa.Oleh karena itu, sastra bisa saja dibahas melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia atau masyarakat.
Pembicaraan sastra dari sudut antropologimerupakan hal yang jarang dalam kajian sastra.Pendekatan antropologi terhadap sastra sebenarnya sudah pernah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh aktor intelektual bernama Claude Levi-Strauss (1963:206).Aktor ini pada awalnya banyak membaca buku-buku filsafat. Ia tertarik pada ilmu Antropologi setelah membaca buku Primitive Society karya Robert Lowie (Ahimsa Putra, 1977:x), ia melakukan pengkajian secara struktural terhadap mitos dengan teori oposisi binernya. Sejatinya, hal yang samapula bisa diterapkan pada sastra modern, seperti: prosa, puisi, atau drama. Seperti yangterdapat dalamdua pengkajian mendalam yang dilakukan oleh Kris Budiman berjudul Claude Levi-Strauss di Hadapan Maria Zaitun dan Liminalitas Maria Zaitun (Budiman, 1994: 14-40). Dua penelitian tersebut mengambil objek yang sama yaitu satu puisi panjang Willy yang berjudul Nyanyian Angsa dengan dua teori yang berbeda, yang pertama menggunakan Strukturalisme Strauss dan yang kedua menggunakan Liminasi-nya Turner.
Lahirnya pendekatan antropologi sastra sebagai prosesi mendapati secawan kopi tadi, didasarkan atas kenyataan bahwa: (a) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek yang penting; (b) baik sastra maupun antropologi mempermasalahkan relevansi manusia dengan budaya, dan (c) baik antropologi maupun sastra sama-sama mempermasalahkan tradisi lisan atau sastra lisan, seperti : mitos, dongeng, dan legenda menjadi objek kajiannya (Kutha Ratna, 2004:352). Kesanggupan ketiga kenyataan tadi, dapat dibaca sajak-sajak Willy yang menghadapkan kita pada citra atau pengertian yang terlukiskan dalam citra yang amat dekat dengan panca indera (lihat Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat oleh Ignas Kleden: Kompas, 12 Agustus 2009). Dalam hal seni kata dan menciptaia memang jagonya, hampir di setiap jenis sastra: semisal puisi, cerita pendek, lakon, esai, uraian bagaimana bermain drama, serta teks iklan, dan novel sebagai pengecualian.
Balada Orang-orang Tercinta adalah kumpulan puisi yang bercerita, sementara cerpen-cerpennya, sepertiIa Sudah Bertualang, Hutan Itu, Dua Jantan, dan beberapa lainnya tak hanya merupakan fiksi pendek yang bercerita, tetapi sekaligus menyentuhkan tenaga ke-puitis-annya sejak usia yang sangat muda. Karakteristikyang khas baik dari pilihan diksi maupun gaya. Hal tersebut sebagaimana diakui sendiri oleh Willy adalah pengaruh dari tembang dolanan Jawayang mempunyai kelincahan-kelincahan image yang asosiatif (Haryono, 2005: 63).Sementara mengenai diksi yang digunakannya, Willy sendiri mengatakan bahwa kekuatan sebuah puisi bukanlah terletak pada kalimat-kalimat yang njlimet, tetapi pada kalimat-kalimat yang ditulis dengan sederhana dengan daya ungkap yang sederhana pula (Maulana, 2009: 20-21).
Willy, mula-mula menerima undangan dari Kementerian Luar Negeri Amerika (DR. Henry Kissinger) untuk mengikuti seminar di Harvard(Rendra, 1998: i), kemudian ia lanjutkan dengan mendaftarkan diri ke New York, guna menuntut pelajaran teater secara formal di America Academy of Dramatic Arts selama tiga tahun (Si Burung Merak oleh Bakdi Soemanto: Kompas, 01 Januari 2000). Kemudian dia masuk sebentar di Jean Erdman School of Dance,mengikuti penyutradaraan di University of New York, membaca-baca buku mengenai sosiologi, dan kembali ke Indonesia menjelang akhir 1967 (Haryono, 2005: 94). Dengan pola-pola yang ia kantongi selama masa studi, menggugah kegelisahan Willy untuk membuka semacam program studi teater di Fakultas Sastra UGM.Namun patut disayangkan, keinginan itu tak lekas terlaksana. Maklum Orba, pendidikan teater merupakan bagian dari seni pertunjukan juga. Hinggalah sepulang dari Amerika, Willy pun coba menawarkan diri untuk membenahi Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film).Tapi kembali, gagasan itutak jua menemukan kecocokan.
Tampaknya, dua kegagalan tadi tak lantas menyurutkan niat Willy dalam menggugat suasana gawat seni drama moderen di Indonesia.Pengalamannya selama studi di AS itu, telah membuka kesadarannya,bahwa yang pertama dan utama adalah membenahi calon-calon aktor.Hal ini seperti yang telah tertuang dalam makalahnya yang berjudul Menyadari Kedudukan Drama Modern di Indonesia,Willymemulai khotbahnya di Sonobudaya (Yogyakarta) yang diselenggarakan oleh Studi Mantika.Ia menuliskan bahwa perlu diadakan kompromi dalam hal memilih pemain yang dapat memberikan dedikasi secara professional, ia juga menuliskan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kebudayaan lisan---tradisi lisan dalam hal ini memang merupakan hasil budayadan berkembang dalam suatu masyarakat. Yang kemudian ia realisasikan dengan membentuk grup teater bernama Bengkel Teater.Waktu itu masih beranggotakan Moortri Purnomo, Chaerul Umam, Azwar AN, dan Bakdi Soemanto.
Berbekal kepulangan dari studinya di Amerika pada tahun 1964, Willy memperkenalkan bentuk latihan, lakon pendramaan, improvisasi, yang belum dikenal sebelumnya.Dan seiring pola-pola latihan terus berjalan, mulai berdatangan teman-teman teaterawan untuk ikut bergabung, antara lain Putu Wijaya, Amak Baljun, Entik dan lain-lain.Pola-pola latihan kian meningkat, mulai dariekplorasi gerak tubuh, lakon dengan cara-cara yang spontan, hingga sikap-sikap bahasa non-verbal.Dan pada titik inilah---dengan juga asosiasi dolanan jawa semasa kecil, Willy berhasil menyangkal dominasi tradisi lisan di Indonesia.Suatu langkah baru dalam jagat teater di Indonesia, yang oleh GM (Goenawan Mohammad),menamainya sebagai Teater Mini Kata, dan tentang apa yang dimaksudkan oleh GM adalah posisi teater mini-kata sebagai teater avant-garde, sebagaimana ciri khas gerakan avant-garde lainnya mengejutkan, tampak dengan sengaja mencari keributan, dan juga hasrat untuk memberontak pada lingkungannya (Mohamad, 1981: 139). Pun beberapa pengamat lain senada menamai mereka dengan sebutan masing-masing. Taufik Ismail menyebutnya sebagai Teater Puisi; dan Arifin C. Noer menyebutnya sebagai Teater Murni.

Alinea Rasa
Seperti telah diketahui, bahwa pendekatan antropologi sastra dalam kajian sastra adalah suatu hal yang baru.Menyebabkan, sedikitnya temuan teori-teori tentangantropologi sastra tersebut.Hal ini mungkin juga karenadominasi pendekatan sosiologi sastra karena menganggap bahwa hal-hal yang bersifat antropologis dalam sastra merupakan wilayah kajian sosiologi sastra.Atas kelangkaan tersebut, maka dalam kajian antropologi sastra pada tulisan ini hanya mengacu pada pandangan-pandangan Prof. Dr.I Nyoman Kutha Ratna saja yang dipakaisebagai pijakan.Pandangan-pandangannya tersebut ada dalam bukunya berjudul Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (2004).
Willy, dalam menghadapi alam, kesenian ataupun seni baginya adalah pekerjaan yang tak ubahnya dengan bercocok tanam, berkantor, atau berdagang. Posisi terhadap alam menempatkan dirinya dalam pelbagai persoalan-persoalan yang muncul; dengan segala ketegangan hubungan  masyarakatnya dan dirinya. Dalam Doa Orang Lapar, Willy berkata: O Allah,/Kelaparan adalah burung gagak/jutaan burung gagak/bagai awan yang hitam/ menghalang pandangku/ ke sorgaMu! Maka lahir kegelisahan metafisik yang membawa penyair kepada lirik, yang menerjemahkan gerak-gerik alam, dan gerak-gerik lahiriah bermetamorfosa menjadi gerak-gerik batin (Ignas Kleden pada Kata Pengantar dalam Buku Rendra, Ia Tak Pernah Pergi).
Antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat (Kutha Ratna, 2004: 63).Manusia dalam konteks ini tentu saja manusia sebagai individu yang membentuk suatu kebudayaan, bukan manusia sebagai mahluk sosial dalam masyarakat, yang nantinya melahirkan pendekatan sosisologi sastra.Masih dalam (Kata Pengantar Ignas Kleden) hubungan dengan masyarakat lahir kegelisahan politis, yang membawa penyair kepada dramatik, intensifkan gerak-gerik batin menjadi laku lahiriah dalam proporsi yang dilebih-lebihkan: Tanganku mengepal/ ketika terbuka menjadi cakar/ aku meraih ke arah delapan penjuru (sajak Tangan). Sedangkan dalam berhadapan dengan dirinya, lahir kegelisahan eksistensial yang dapat diungkapkan secara liris maupun secara dramatis. Dalam sajak Bumi Hangus Willy berkata: Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ kita harus pergi ke mana, di mana rumah kita?Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ bimbang kalbu oleh cedera/ Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ hari ini maut untuk siapa?
Sebagaimana dijelaskan oleh Yule, kata budaya mengacu pada semua gagasan dan anggapan tentang sifat dasar benda-benda dan manusia yang kita pelajari ketika kita menjadi anggota dari sebuah kelompok sosial (Yule, 2006: 216).Kata budaya, demikian dapat diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh secara sosial. Reaksi seseorang yang dijawantahkan berupa bahasa dapat muncul dari rangsangan yang didapatkannya dari persentuhannya dengan orang lain yang tergabung dalam sebuah masyarakat. Pengertian budaya menurut Yule tersebut di atas hanyalah satu dari sekian banyak pengertian budaya.Pengertian tersebut di atas mendekati dengan pengertian kebudayaan yang diajukan oleh Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu(Koentjaraningrat, 1983: 9). Berdasarkan definisi yang diajukannya, Koentjaraningrat kemudian membagi wujud kebudayaan menjadi 3: (a) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (b) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. (c) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dengan adanya tiga wujud kebudayaan ini, maka wujud rangsangan terhadap seseorang yang mempengaruhi reaksi bahasa pun dapat disimpulkan berupa hal-hal yang tercakup dalam tiga wujud tersebut.
Antropologi sastra memberi perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya (Kutha Ratna, 2004: 353-357).Artinya, antropologi sastra mengkaji sastra dengan memperhatikan teori dan data-data yang bersifat antropologis yang ada di dalamnya.Dalam konteks yang lebih operasional, dapat disimpulkan bahwa pengkajian antropologi sastra terhadap sastra adalah dengan berusaha melihat perjalanan atau sikap individu tokoh cerita yang mewarnai dan pengungkap budaya masyarakat tertentu yang terkandung dalam kesastraan itu sendiri.
Dalam tulisan ini, dibahas sebuah sajak berjudul Nyanyian Angsa karya Willy yang dimuat dalam kumpulan puisinya yang berjudul Blues Untuk Bonnie (1981:32--40). Sajak ini merupakan salah satu sajak yang berwacana tentang kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana halnya sajak-sajaknya yang lain.Bila dilihat dari sudut antropologis, maka tampak bahwa sajak Nyanyian Angsamengandung nuansa antropologis.Hal ini tergambar dari perjalan kehidupan tokoh Maria Zaitun sebagai seorang pelacur yang sudah tak menarik lagi.Sebagaiseorang individu yang sedang mencari jati diri sebagai makhluk Tuhan,ditugasi oleh penyair untuk mengeksplorasi aneka budaya kehidupan manusia yangsenantiasa bersifat kontradiktif. Dalam sajak itu tersiratbermacam pertanyaan yang bersifat filosofis, tentang apa dan bagaimana sesungguhnya hidup itu.Sampaiakhirnya, pada tepian sebuah sungai, dalam kelelahan setelah mengalami pelbagai penolakan demi penolakan.Sebagai simbolik ritual keagamaan, Maria Zaitun mulai meminum air yang mengalir di sungai itu, lalu membasuh muka, tangan, besertakakinya.Membersihkan diri dari segala dosa, merenungi perjalanan hidupnya. Hingga bertemulah ia dalam cumbu pelepasan dosa dengan sosok lelaki yang tampan. Dipercayai oleh Maria Zaitun sebagai Juru Selamat, atas pemaknaan bekas luka penyaliban sang Kristus.

Alinea Telinga
Di samping itu, persinggungan antropologis sajak-sajak Willy dengan pola diksi-diksi tabu yang digunakan dalam kumpulan sajak-sajaknya. Di mana bahasa dan budaya, telah dipahami sejak lama sebagai dua elemenyang  berkaitan erat. Semisalnya dalam buku Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Koentjaraningrat, 1983: 2) menjelaskan bahasa sebagai salah satu dari tujuh unsur universal kebudayaan.Dan dalam beberapa sajak yang telah dimuat dalam antologi-antaloginya tersebut, dapat ditemukanbeberapa diksi tabu.Semacam tetek, mengobel klentit, berak, dan babu.Pun diksi-diksi serupa dapat pula ditemukan pada sajak-sajak dalam antologi-antologiyang sebelumnya. Seperti, Blues Untuk Bonnie dan Sajak-sajak Sepatu Tua.Pemilihan diksi tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan:Mengapa dalam sajak-sajak Willy, banyak bermunculan diksi-diksi yang dalam khazanah leksikon bahasa Indonesia merupakan hal yang tabu?Apakah hal tersebut ada kaitannya dengan persentuhan Willy dengan budaya Amerika di pasca studinya tersebut?
Timbulnya penggunaan diksi tersebut---dalam kaitannya dengan kondisi sosial budaya di Amerika---dapat dipahami dengan memilah kesembilan antologi puisi Willy, yang dua di antaranya (Balada Orang-orang Tercinta: 1957, dan Empat Kumpulan Sajak: 1961)diterbitkan sebelum dia berangkat ke Amerika dan tujuh sisanyaditerbitkan setelah dia pulang dari sana. Dan berikut daftar antologipuisi tersebut (Rahman, 2009: 36); (a) Blues Untuk Bonnie (1971); (b) Sajak-sajak Sepatu Tua (1972); (c) Nyanyian Orang Urakan (1985); (d) Potret Pembangunan Dalam Puisi (1983); (e) Disebabkan Oleh Angin (1993); (f) Orang-orang Rangkasbitung (1993); dan (g) Perjalanan Bu Aminah (1997).
Istilah tabu berarti bentuk tingkah laku yang dilarang. Kata ini berasal dari kata Polynesia tapu. Istilah ini sekarang digunakan dengan lebih umum, terutama merujuk pada beberapa pokok-permasalahnan (misalnya kematian, politik), atau bahasa (misalnya menyumpah, kecabulan) yang dihindari orang-orang (Crystal, 2000: 842). Dan dalam tataran bahasa, kata-kata yang dianggap tabu adalah kata-kata yang dianggap berbahaya, suci, berdaya magis, atau mengejutkan dan biasanya diucapkan hanya dalam situasi tertentu atau oleh orang-orang tertentu (Swan, 1996: 573).
Dalam melakukan pembagian kategorisasi kata-kata tabu, bahasa Indonesia cenderung memiliki kesamaan dengan kategorisasi dalam bahasa Inggris yang sebagaimana diungkapkan oleh Michael Swan memiliki tiga kategori (Swan, 1996: 573).Pembagian tersebut adalah:
1)      Kategori kata yang berkaitan dengan simbol keagamaan.
  •  Kata ‘Tuhan’ dalam sajak Mazmur Mawar Willy yang dimuatdalam antologiSajak-sajakSepatu Tua, imaji yang bertentangan dengan arti leksikal: Dan sekarang saya lihat Tuhan sebagai orang tuarenta.
  • Kata ‘Malaikat’ dalam sajak Pemandangan Senjakala yang dimuat dalam antologi Blues Untuk Bonnie, penggambaran sifat manusia yang memiliki syahwat atau berahi atas malaikat merupakan sesuatu yang terkesan tidak pada tempatnya: Dan menggairahkan syahwat para malaikat dan kelelawar.

 2)      Kategori kata yang berkaitan dengan aktifitas seksual dan anggota tubuh tertentu.
  •  Kata ‘Tetek’ pada sajaknya---sebelum kepergiannya ke Amerika, Willy biasa menggunakan kata payudara dan susu---dapat ditemukan dalam Sajak Gadis dan Majikan yang dimuat dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi: ketikatuan sikut tetekku.
  • Kata ‘Mengobel’ dan ‘Klentit’ dalam sajak SLA yang dimuat dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi, merupakan leksikon dari bahasa Jawa yang berarti menempelkan jemari seseorang pada anus atau vagina seseorang (Stevens, 2009: 509) dan klentit (atau kata bakunya dalam bahasa Indonesia adalah kelentit) bermakna daging atau gumpal jaringan kecil yang terdapat pada ujung atas lubang vulva (lubang pukas) (Sugono, 2008: 716) dan kata ‘Klangkang’ dalam sajak Nyanyian Angsa dalam antologi Blues Untuk Bonnie, merupakan bagian tubuh di antara kedua pangkal paha (Sugono, 2008: 713). Dan berkonotasi seksual, yang dalam bahasa Jawa Kangkang (Stevens, 2009: 445) mengesankan pada imaji persetubuhan;Murid-murid mengobel klentit ibugurunya; penuh borok di klangkang
  • Kata ‘Lonte’ dalam satu baris sajak Kesaksian yang dimuat dalam antologiBlues Untuk Bonnie, merupakan leksikon dari bahasa Jawa (Stevens, 2009: 593). Kata ini memiliki tingkat kekasaran yang sama dengan sundal dan cabo. Kata yang agak sopan untuk merujuk makna yang sama adalah pelacur (darikata lacur) dan PSK (Pekerja Seks Komersial), sementara kata yang dianggap paling sopan adalah WTS (Wanita Tuna Susila): Sebagai lonte yang merdeka (Rendra, 1993:17)
  • Kata ‘Beha’ dalam Sajak Gadis dan Majikannya yang dimuat dalam antologiPotret Pembangunan dalam Puisi dan kata ‘Kutang’ dapat dalam sajak Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta yang dimuat dalam antologiBlues Untuk Bonnie, merupakan serapan dari bahasa Portugis(Stevens, 2009: 541) dan merujuk pada baju dalam wanita yang digunakan untuk menutupi payudara (Sugono, 2008: 848), dengan kata lain istilah ini adalah istilah yang jarang digunakan sebab menyangkut bagian dalam tubuh perempuan yang pembicaraan tentangnya bisa dianggap tidak sopan. Kata ini memiliki sinonim beha (berasal dari bahasa Belanda, bustebouder) (Stevens, 2009: 107) dan coli (berasal dari bahasa Hindi kuno). Kata beha dianggap sebagai kata yang dipergunakan dalam percakapan (Sugono, 2008b: 270) meski demikian, penggunaan kata ini sendiri bersama seluruh sinonimnya tetap mengesankan tidak sopan sebab alasan yang sudah dijelaskan di awal dan orang cenderung menggunakan istilah baju dalam dalam kondisi harus merujuk pada benda tersebut;Uang yang tuan selipkan ke behaku;Sambil ia buka kutangmu (Rendra, 1993: 19). 

3)      Kategori kata yang berkaitan dengan pembuangan ampas dari dalam (dan anggota) tubuh.
  • Kata ‘Berak’ dalam Sajak Sebatang Lisong yang dimuat dalam antologi Potret Pembangunan Dalam Puisi, merupakan leksikon yang cenderung berkonotasi negatif: Di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka.

Sejauh mana kenyataan ini mempengaruhi pandangan Willy, dapat dilihat dari sajak Blues Untuk Bonnie dan Rick Dari Corona, dua sajak yang dibuatnya ketika dia sedang melakukan studi di sana. Sajak Blues Untuk Bonnie mengisahkan mengenai para negro yang pada hari Minggu pergi ke gereja (sebagai indikator bahwa mereka termasuk beragama) dan pada hari yang lain hanya duduk mabuk-mabukan dan beromong kosong (Haryono, 2005: 101). Sajak kedua bercerita tentang Rick yang suka mencatut karcis, mencandu, dan menderita sakit kelamin dan Betsy, seorang pelacur kulit hitam.
Dari dua sajak itu, tampak bahwa Willy tak memposisikan diri menganggap sosok-sosok tersebut (pemabuk, pelacur, pecandu) sebagai orang jahat. Ada nada menghargai dalam sajak-sajaknya yang sebagaimana dikatakan dalam salah satu sajak yang lain bahwa mereka semua juga berasal dari kemah Ibrahim (Rendra, 1998: 3). Kenyataan bahwa para negro itu dilukiskan beragama tapi juga bermabuk-mabukan mengisyaratkan pemisahan agama dan hal-hal duniawi yang disebut sebagai sekularisme, sementara sosok kulit hitam sendiri sebagaimana disebutkan oleh Aveling adalah simbol kebebasan pribadi dan kebebasan seksual (Haryono, 2005: 102).
Kata-kata tabu yang digunakan Willy dalam sajak-sajaknya seusai studinya di Amerika, kebanyakan merupakan kata-kata tabu yang berkaitan dengan seksualitas.Dengan demikian tampak bahwa ada hubungan antara hal tersebut dengan pandangan yang longgar terhadap seksualitas di Amerika. Wujud pertama kebudayaan sebagaimana telah dijelaskan Koentjaraningrat (sebelumnya di paragraph terdahulu .pen) berupa suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya telah menjadi stimulus yang kemudian memunculkan respon dalam bentuk bahasa berupa kosa kata tabu yang dituangkan WS Rendra dalam sajak-sajaknya pasca-studinya.

Maka. Sebelum fantasi terlalu pagi mengkhianati. Sebelum rotasi terlalu dini mengebiri uncangan kaki. Sebelum kopi mengering jadi ampas kopi. Dan menolak kembali terisi jadi secawan kopi.Izinkan ia untuk menuang dirinya sendiri. Berbincang dalam ruang ketidakmungkinan. Sambil menyesap sengkarut tragedi di tiap sudut antropologi. Hingga tiba kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

Galilei; Gereja-Agama-dan Dogma



Serupa spora pada tanaman paku, dogma tahayul  teramat cepat menyebar. Atas nama keimanan suatu keyakinan/agama tertentu, hal ihwal ajaran serta keyakinan agama atau kepercayaan itu tidak boleh dipersoalkan (dan harus diterima sebagai kebenaran). Sementara, jika obat dari kebodohan adalah ilmu dan bukan iman. Maka beriman tanpa pengetahuan tetaplah bodoh. Hal ini yang merupakan musuh terbesar bagi umat manusia, kalau saja agama terus menyebarkan bibit-bibit kebencian kepada anak-cucu, yakni bibit-bibit mitos kesalehan sebagai kenyataan yang absolut. Maka kemajuan ilmu pengetahuan akan terhenti, dan manusia akan musnah karena jihad bodoh di masa-masa yang akan datang. Dan sebuah jurang yang begitu dalam, seakan terbentuk di antara ilmu pengetahuan dan agama.
Seperti pembunuhan Copernicus dengan konsep heliosentrisnya, agama tak jarang membunuh para ilmuwan yang berani bicara. Penganiayaan terhadap ilmu pengetahuan, terus berlanjut hingga tahun 1500-an. Sebuah kelompok di Roma, mulai melawan hegemoni gereja. Seperti para ahli fisika, matematika, dan astronomi, diam-diam mengadakan jumpa atas keprihatinan terhadap dominasi pengajaran gereja yang tidak benar.
Galileo Galilei, bahkan orang awam pun mengenali siapa dia. Seorang ahli astronomi yang bernasib malang. Yang atas pemikirannya, mengatakan bahwa matahari dan bukan bumi, adalah pusat dari tata surya. Galileo adalah seorang katolik yang taat, ia memperlunak tirani gereja, bahwa ilmu pengetahuan tidaklah mengecilkan keberadaan Tuhan, tapi justru memperkuat keberadaan-Nya. Ia meyakinkan, bahwa ilmu pengetahuan dan agama bukanlah musuh, tetapi rekanan---dua bahasa berbeda yang menceritakan sebuah kisah yang sama. Tetapi gereja tentu saja menolak, penggabungan hanya akan menghancurkan apa yang sudah dikatakan gereja sebagai satu-satunya kendara untuk  mengerti Tuhan (Dialogo-Discorsi-Diagramma).
Kini gereja memang tidak membakar pendosa di atas salib seperti dahulu; mencap punggung dengan bara besi berbentuk salib; bahkan dengan hak hidup yang dibakar hingga arang terakhir. Atau menebas lehernya dahulu, baru memberi kesempatan pendosa untuk bertanya. Memastikan setiap tema legitimasi agama seperti hak cipta. Golok yang tertawa merupakan bagian dari dakwah. Mewujud dalam napas kultural, semenjak surga dan parameter pahala diukur oleh seberapa banyak kepala yang dipisahkan dengan nyawa.
Laksana target segudang fasis FBR di Karbala, adalah bagaimana manusia agar menyebut nama Tuhannya. Dan semenjak masa Galileo, gereja telah mencoba untuk memperlambat kemajuan ilmu pengetahuan yang melesat pesat (yang kadang pula tak jarang melakukan dengan cara-cara yang salah). Namun, ilmu pengetahuan dan agama bukanlah musuh. Maka dalam melawan tiap hal ihwal yang belum bisa dimengerti oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang terbilang masih muda, gereja memohon untuk berhenti; slow down; think and wait. Dan tentang bagaimana orang-orang yang tak mengerti apa itu Petir? Atau tentang bagaimana orang-orang yang tak mampu menghargai kekuatan Petir? Sungguh, pertempuran antara ilmu pengetahuan dan agama masih tetap berlangsung, ajangnya kini berpindah dari medan perang ke ruang sidang.
Pembenaran teatrikal masih coba membanyol tentang kekonyolan iman, maka semenjak hitam dan putih hanya berlaku di hadapan mata sinar Xerox, penasbihan menemukan betapa agungnya kilauan refleksi Plato tanpa terlebih dulu berdialektika. Pengingkaran telah menepis pembebasan argumentasi, paranoia statistika agama menipiskan khotbah dengan gundukan sampah. Tak ada dunia yang begitu mudah untuk dihitam-putihkan, menjamin tiap pembenaran dalam momen heroik yang banal dan zumud berkanal. Pembenaran semantik-semantik kekuasaan, mengawetkan hegemoni alasan atas penjaminan hidup dan pluralitas yang terpisahkan dari nyawa. Sebab iman tanpa ilmu menurut Buya Hamka bagaikan lentera di tangan bayi, dan ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri. Maka pada mata yang tersekat jarak, kegelapan memenuhi ruang iman, dan pijar lentera yang kerap setia memberi penyelamatan. Demikian sebaliknya.
Mu’adz bin Jabal berkata, bahwa wajib atas kalian menuntut ilmu, sesungguhnya mempelajari ilmu (dengan ikhlas) karena Allah merupakan kassyah, mengajinya merupakan ibadah, mengingatnya merupakan tasbih, dan membahasnya merupakan jihad. [Ibnul Qayim-Miftah Daaris Sa’adah 1/131-132; Maktabah Al Misykah]. “Ilmu  adalah revolusi eksternal, dan iman adalah revolusi internal. Tanpa ilmu dan iman, manusia akan binasa dan celaka.” Kata Quraisy Shihab di salah satu akun resminya. Sementara, dalam pidatonya, Paus Fransiskus tidak melihat ilmu pengetahuan dan iman sebagai  dua hal yang bermusuhan. Dan sang Paus mengatakan, bahwa teori-teori ilmiah seperti Dentuman Besar dan evolusi sama sekali tidak bertentangan dengan iman. Tak seperti Koalisi Kristen di Amerika Serikat, yang menjadi kekuatan lobi paling berpengaruh di dunia. Tentang kenapa separuh sekolah-sekolah tak membiarkan siapapun mengajarkan evolusi.
 Buddha dan sebuah catatan kosong, konseptualisasi adalah awal dari kegiatan berpikir, yang kelak melahirkan aku/diri. Dan, kebenaran sejati hanya akan hadir ketika pikiran dan aku/diri ini lenyap. Maka, serupa kanon-kanon surya menjejal jelaga, kapilaritas tinta menggoda kertas berseloka. Sederet idealisme dalam kalam yang merangkum sengkarut fatwa, hegemonik konvensi merumus lurus para pendakwa. Seriosa bahasa tak ubahnya fatamorgana, membias semu pada kelambu rima yang berenda.


Paman Maryam Pulang


;sebuah refleksi jurnalistik seorang pengarang


PRELUDE
Tulisan ini bermula sekitar tahun 1962. Seorang Doktor di Universitas Yale menemukan karangan naratif karya Gay Talase, yang mengisahkan Joe Luis sebagai seorang petinju lapuk. Sejak saat itu, Thomas Kennery Wolfie---seorang Doktor yang tadi---merasa terkesan dengan tulisan semacam itu.  Ia mulai mengembangkan penulisan jurnalistik yang tak semata-mata hanya menghadirkan eksposisi berupa kalimat-kalimat tunggal, atau sebagai kemasan fakta dan data belaka. Ia berkeyakinan, bahwa penulisan reportase (atau jurnalistik) akan lebih cair dan emosional tatkala ditulis dengan gaya naratif deskriptif. Laiknya sebuah novel (bahkan sebuah karya sastra), dengan tidak mengesampingkan fakta dan data yang sesungguhnya. Maka dengan gaya naratif deskriptif, sebuah reportase tak lagi kaku seperti karangan eksposisi sebelumnya.
Pengalaman sentimentil, kerap menjadi tema menarik dalam serangkaian cerita yang utuh. Dengan corak sebuah berita yang kronologis, bahasa yang lebih naratif dan akrab. Kepemilikan ingatan---yang disebut oleh Wolfie---dalam pengembangannya dalam feature, yakni sebagai human interest atau penyimpan dari pengalaman-pengalaman sentimentil tadi. Maka, orang-orang menjadi sumber berita atas pengangkatan sebuah tema. Dan berbagai macam contoh dari bentuk sastra jurnalisme, berikut nama-nama pengarang Indonesia yang sebagian karyanya dapat dijadikan referensi bacaan, di antaranya; (1) Seno Gumira Ajidarma; (2) Okky Madasari; (3) dan Leila Salikha Chudori.
Dalam  sebuah esai  yang  berjudul  Literature  and  Society, Ian Watt membicarakan hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Damono, 1979:3--6; Faruk, 1994:4--5). Secara keseluruhan, hubungan timbal-balik tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi isi karya sastranya. Yang terutama harus ditelisik adalah; (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan  dari  pengayom  (patron),  atau  dari  masyarakat  secara  langsung,  atau  dari  kerja rangkap; (b) profesionalisme dalam kepengarangan, sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi; (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang; hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Di sini dipertanyakan  sampai sejauh mana sastra  dapat  dianggap  sebagai  cerminan  keadaan  masyarakat.  Pengertian  “cermin”  di  sini sangat kabur, dan oleh karenanya, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang terutama mendapat  perhatian  adalah; (a)  sastra   mungkin   tidak  dapat  dikatakan   mencerminkan masyarakat  pada waktu ia ditulis sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis; (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya; (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat; (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat, demikian juga sebaliknya, karya yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan  masyarakat.  Pandangan  sosial  pengarang  harus  diperhitungkan  apabila  seseorang menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979:3--6; Faruk, 1994:4--5).
Menurut  Eagleton  (2002:61--62),  karya  sastra  bisa  dikatakan  tidak  berdiri  dengan objeknya dalam bentuk reflektif, simetris, dan hubungan satu-satu. Objek sastra ditampilkan dalam karya sastra dalam bentuk: deformed (perubahan bentuk), refracted (perubahan arah atau  pembiasan),  dan  dissolved  (dibubarkan)—sehingga  setidaknya  menghasilkan  kembali sebuah cermin yang kemudian memproduksi objeknya. Cerminan terhadap objeknya itu berupa cara tampilan dramatik yang memproduksi ulang teks dramatik atau mempertaruhkan contoh yang  lebih menantang.  Efek sastra pada  hakikatnya  lebih untuk merusak  bentuk  (deform) daripada  meniru.  Jika  imaji  keseluruhan  dapat  disamakan  dengan  realitas  (seperti  dalam sebuah cermin), imaji menjadi identik dengan realitas dan berhenti menjadi citra. Karakteristik gaya sastra yang menganggap semakin seseorang menjauhkan dirinya dari objek, semakin dia benar-benar menirunya. Hal tersebut menurut Macherey (Eagleton, 2002:61--62), merupakan suatu model dari semua aktivitas artistik, sastra hakikatnya adalah parodik.
Kaitan   antara   karya   sastra   dengan   realitas   atau   masyarakat,   menurut   teori Strukturalisme Genetik sebagaimana dikemukakan Goldmann (1981:111), dimediasi oleh pandangan dunia (world view). Karya sastra merupakan ekspresi dan produk strukturasi pandangan   dunia   (Faruk,   1988:78).   Pandangan   dunialah   yang   memicu   subjek   untuk mengarang. Identifikasi pandangan dunia juga dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. Mengetahui pandangan dunia   suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari. Rekonstruksi pandangan dunia dalam pandangan Goldmann merupakan suatu hal yang khas sebagai representasi kolektivitas kecenderungan kelompok tertentu, pada saat sejarah tertentu yang terdapat pada karya-karya tertentu yang bersifat kanon.
Ketiga, fungsi sosial sastra. Di sini, kritikus terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?” dan “Sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan; (a) sudut pandang ekstrem kaum romantik, misalnya, yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya  dengan  karya  pendeta  atau  nabi dan  dalam  anggapan  ini tercakup  juga  pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b) dari sudut lain dikatakan bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini, gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best seller; (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur (Damono, 1979:6; Faruk, 1994:5).
Karya sastra sebagai simbol verbal, menurut Kuntowijoyo (1987:127), mempunyai tiga peranan; (1) sebagai cara pemahaman (mode of comprehension); (2) cara perhubungan (mode of communication); (3) cara  penciptaan  (mode  of creation).  Dalam  kaitannya  dengan peristiwa sejarah, Kuntowijoyo lebih lanjut mendeskripsikan bahwa pada dasarnya, objek karya sastra adalah realitas—apa pun yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Bila realitas tersebut berupa peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat dikategorikan sebagai; (1) usaha menerjemahkan  peristiwa  itu  dalam  bahasa  imajiner  dengan  maksud  untuk  memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; (2) karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya  untuk menyampaikan  pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa  sejarah; (3) karya  sastra  dapat berupa  penciptaan  kembali  sebuah  peristiwa sejarah  (seperti  halnya  karya  sejarah)  sesuai  dengan  pengetahuan  dan  daya  imajinasi pengarang.
Dalam karya sastra yang menjadikan peristiwa sebagai bahan, ketiga hal di atas dapat menjadi  satu.  Perbedaan  masing-masing  hanya  dalam  kadar campur  tangan  dan  motivasi pengarangnya. Sebagai cara pemahaman, misalnya, kadar peristiwa sejarah sebagai aktualitas (kadar faktisitasnya) akan lebih tinggi daripada kadar imajinasi pengarang. Sebagai cara perhubungan,  kedua  unsur tersebut,  baik faktisitasnya  maupun imajinasinya  memiliki kadar yang sama. Sebagai cara penciptaan, kadar aktualitas atau faktisitasnya lebih rendah daripada imajinasi pengarang. Perbedaan tersebut dalam karya sastra memang sebatas asumsi teoretis yang dalam pelaksanaannya sukar untuk dibedakan (Kuntowijoyo, 1987:127).
Perbedaan antara sejarah dan sastra tampak dalam skala yang dibuat Koestler dalam mengklasifikasikan  bentuk-bentuk  penemuan  manusia,  dari  bentuk-bentuk  yang  objective-verifiable  ke  yang  subjective-emotional   tercatat  berturut-turut:   kimia,  biokimia,  biologi, kedokteran,  psikologi,  antropologi,  sejarah,  biografi,  novel,  epik, dan  lirik.  Di sini,  tampak bahwa sejarah dan novel (karya sastra) mempunyai jarak yang tidak terlalu jauh untuk mengadakan  hubungan.  White  (1987:51)  dalam  artikelnya  yang  berjudul  “Interpretation  in History”  menyatakan  bahwa  pada  umumnya,  para  ahli  sejarah  menyetujui  akan  peran interpretasi dalam penyusunan kisah sejarah. Sebuah narasi sejarah memerlukan penyeleksian dan interpretasi atas tumpukan fakta yang diperolehnya menjadi sebuah rekonstruksi terhadap sebuah peristiwa  yang terjadi. Dengan demikian,  pada hakikatnya  peristiwa  sejarah  sejajar dengan karya sastra dalam merekonstruksi sebuah peristiwa masa lalu.
Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara pendekatan sejarah dengan sejarah sastra, sastra sejarah, dan novel sejarah. Pendekatan historis mempertibangkan historitas karya yang diteliti, yang dibedakan dari sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga sekarang. Sastra sejarah merupakan karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah adalah novel yang kaya akan unsur-unsur sejarah (Ratna, 2004: 65).
Novel  sejarah  ataupun  khususnya  novel  sosial,  menurut  Kuntowijoyo  (1987:134), memiliki hubungan timbal balik dengan peristiwa sejarah; (1) karya sastra menjadi saksi dan diilhami  oleh  zamannya; (2) sebaliknya,  karya  sastra  dapat  mempengaruhi  peristiwa- peristiwa sejarah zamannya  dengan membentuk sebuah public opinion. Pandangan ini mirip dengan konsep hegemoni Gramci dalam memandang karya sastra, yang bersifat reflektif sekaligus formatif terhadap masyarakatnya (Faruk, 1994:11; Ratna, 2003:22; Nurhadi, 2004:14--30).
Dan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Fenomena tersebut menjadi bagian yang menarik dalam perkembangan kesusasteraan Indonesia mutakhir. Sejumlah karya-karya fiksi di Indonesia, dengan penulisan reportase ala naratif deskriptif, terbit dalam wujud cerita yang mengemas peristiwa faktual ke dalamnya. Sehingga, pengalaman-pengalaman sentimentil kerap menjadi tema dalam serangkaian cerita yang utuh. Berikut nama-nama pengarang Indonesia, seperti Seno Gumira Ajidarma, Okky Puspa Madassari, dan Leila Salikha Chudori yang terangkum parsial menjadi tiga Interlude.

INTERLUDE I: Seno Gumira Ajidarma
Penulis yang meraih Khatulistiwa Literary Award 2005 ini mempunyai kekhasan karya yang tidak hanya terletak pada nuansa investigasi dan intelejennya saja, tetapi juga lebih pada pengungkapannya yang padat dan tangguh. Seno Gumira Ajidarma, dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (Ajidarma, 1997: 93), hendak menyampaikan kebenaran suatu peristiwa melalui karya sastra ketika media jurnalistik mengalami  kegagalan karena terbentur oleh penyensoran. Secara konsisten, Seno Gumira Ajidarma---seorang sastrawan (cerpenis dan novelis), dosen, fotografer--- yang juga seorang wartawan ini mengungkapkan peristiwa-peristiwa sosial politik ke dalam karya-karyanya. Sehingga dapat kita lakukan penelusuran dengan mengaitkan sejumlah peristiwa-peristiwa faktual yang pernah terjadi sebagai objek acuannya.
Dalam situasi pemerintahan serba sensor, peristiwa-peristiwa faktual tidak dapat ditampilkan secara langsung (atau dengan nama lain sebagai karya jurnalistik). Rangkaian peristiwa disampaikan dengan cara dikodekan, disamarkan, disisipkan, disurealistikkan, dimetaforakan, dan disimbolkan. Sehingga melalui wahana sastra, pengungkapan peristiwa-peristiwa faktual tetap dapat dikabarkan. Seperti penggambaran sosok Soeharto menjadi Paman Gober, seperti yang digambarkan dalam cerpen Kematian  Paman Gober dalam antologi Iblis Tidak Pernah Mati merupakan  teknik penceritaan secara metaforik. Soeharto dalam cerpen ini dimetaforkan menjadi Paman Gober, tokoh cerita Donald Duck, yang sangat berkuasa dan kaya, sehingga tidak ada yang berani menentangnya.  Satu-satunya  bentuk perlawanan  terhadapnya  hanyalah  dengan menantikan kematiannya yang bakal dimuat setiap koran pada halaman pertama.
Sejumlah cerpen dalam antologi Saksi Mata dan dalam roman Jazz, Parfum & Insiden yang mengisahkan sejumlah peristiwa faktual terkait dengan pembantaian terhadap sejumlah demonstran  yang dikenal dengan InsideDili 1991 (dan peristiwdi Timor Timur lainnya) diceritakan dengan teknik pengkodean bahasa walikan versi abjad Jawa. Dalam kedua karya fiksi tersebut, kata Dili dituliskan menjadi Ningi, Timtim menjadi Gidgid, dan lainnya. Selain  itu,  sejumlah  peristiwa  faktual  disamarkan  penceritaannya, baik  yang  terkait dengan nama, lokasi, maupun tanggal peristiwanya. Akan tetapi, dengan pembacaan yang jeli, hal-hal yang disamarkan tersebut dapat ditelusuri peristiwa acuannya. Meskipun tidak menyantumkan  secara  langsung  peristiwa  acuannya,  cerpen  Clara  yang terdapat  dalam antologi Iblis Tidak Pernah Mati, dapat dikenali sebagai peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta itu dengan mengenali korban perkosaan massal di tengah kerusuhan itu yang beretniskan Cina. Teknik penyamaran  peristiwa seperti ini hampir ditemukan pada cerpen-cerpen lainnya. Selain mengenali peristiwanya yang sejajar dengan peristiwa  faktualnya,  Senselalu  menuliskan  tempat  datanggal  penulisan karya-karya padbagian akhir (kolofon) yang dapat dijadikan  referensi  terhadap  kronologi peristiwa faktualnya.
Peristiwa-peristiwa dalam cerpen memiliki kaitan dengan kehidupan nyata. Meski dalam teori hermeneutik ditekankan, adanya otonomi teks dan keinginan untuk melepaskan diri dari konteks sosial tertentu. Model seperti ini hampir tidak mungkin diterapkan sepenuhnya, karena baik teks maupun interpretator merupakan produk sosial. Simbol-simbol yang terdapat dalam cerpen akan dicari referensinya dalam peristiwa, pengalaman, dan kehidupan nyata. Cerpen yang mengambil sumber inspirasi dari keberadaan Soeharto, seperti teori Umar Junus, dapat bersifat melaporkan peristiwa, menghubungkan peristiwa, memfiktifkan peristiwa, mereaksi peristiwa, serta menyublimasi peristiwa. Sebuah cerita pendek ada kemungkinan bagian-bagiannya dapat mewakili hal-hal tersebut.
Aspek-aspek sosiologis yang menunjukkan adanya hubungan antara isi cerita pendek dengan keadaan nyata di Indonesia, umumnya berkaitan dengan masalah sosial politik yang bermuara ke sepak terjang Soeharto. Aspek-aspek sosiologis yang menonjol berkaitan dengan strategi Soeharto dalam mengendalikan kekuasaan, keterlibatan Soeharto dalam masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme, tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatan serta pengunduran diri Soeharto sangat mudah kita temui di sekitar masa reformasi. Gejolak emosi pengarang saat itu memang memuncak sehingga terjadi ledakan ekspresi. Karya-karya dengan tema protes sosial politik jadi membanjir. Apa pun yang terjadi, sastra adalah saksi zaman. Soeharto adalah bagian dari perjalanan zaman. Rekaman peristiwa dalam sastra, seperti halnya sejarah, agar kita sebagai pembaca dapat berbuat lebih arif. Sastra memang bukan sekadar refleksi, tapi lebih dari itu sastra diharapkan dapat memberikan katarsis atau pencucian bagi jiwa. Soeharto adalah model simbolik, pembaca yang lain mungkin punya penafsiran berbeda. Tetapi, sebagai rekaman jejak manusia, sastra akan tetap relevan dengan kehidupan. Soeharto telah menjadi sumber inspirasi yang subur bagi perjalanan sastra Indonesia.
Profesi sebagai jurnalis menghadapkan Seno pada investigasi lapangan untuk menyajikan fakta atas kondisi sosial yang timpang terutama pada masa kepemimpinan orde baru yang refresif. Ketika jurnalisme yang bersumber dari fakta mengalami kendala, sastra menjadi pilihan untuk berbicara tentang kebenaran. “Bagi saya, dalam bentuk fakta maupun fiksi, kebenaran adalah kebenaran – yang getarannya bisa dirasakan setiap orang,” tulisnya (dalam buku Ketika Jurn\alisme Dibungkam Sastra Harus Bicara 1997: 111).
Dalam esai Dari Pengarang Ternama Hingga Pendekar Tak Bernama, Damhuri Mohammad menulis, barangkali yang dimaksud “kepentingan” oleh Seno adalah sebentuk kepekaan subyektif pengarang terhadap berbagai persoalan sosial, yang kemudian mendorongnya untuk menulis sebuah cerita, namun karena yang dilahirkan adalah teks sastra, pastilah ada “kepentingan estetis” di dalamnya. Akan tetapi, menurut Damhuri, karena yang tersuguh ke hadapan pembaca adalah sederetan prosa, baik cerpen maupun novel, maka fakta-fakta keras seperti pembunuhan biadab, kekerasan atas nama keamanan, digiling-digilas sedemikian rupa hingga berubah menjadi tepung imajinasi yang tak dapat dipilah lagi mana fakta, mana fiksi. Keduanya menyatu, berkelit-kelindan, bersenyawa dalam sebuah adonan bernama cerita.

INTERLUDE II: Okky Puspa Madasari
Namanya melesat, setelah novelnya yang berjudul Maryam meraih Anugerah Sastra Khatulistiwa 2012. Okky Madasari, sekitar empat tahun lalu ia memutuskan untuk menjadi penulis, setelah hampir empat tahun pula menjalani keseharian sebagai wartawan. Novel pertamanya, berjudul Entrok. Terbit pada tahun 2010, dan pada tahun 2013  diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ia mengawali kiprah, dengan menyampaikan permasalahan yang ada di sekitarnya lewat fiksi. Dengan latar belakang cerita masa Orde Baru dan bagaimana catatan sejarah saat menjadi warga negara ketika itu. Okky---penyuka karya-karya Pramoedya Ananta Toer---ini mengaku, merasa beruntung lebih dulu mengenal dunia jurnalistik sebelum memutuskan menjadi penulis. Karena proses belajar menulisnya menjadi terasah, ketika sebagai wartawan ia harus menulis efektif dan enak dibaca. Membuat sesuatu yang rumit menjadi mudah dimengerti buat orang lain.
Setahun kemudian, lahir novel 86 yang bercerita tentang korupsi. Bisa jadi orang-orang sudah akrab dengan masalah satu ini, karena hampir setiap hari diberitakan di televisi. Meskipun begitu, isi ceritanya tetap relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini, di mana masih marak  akan  praktik  korupsi. Menurut penjelasannya, novel 86 sempat masuk nominasi. “Tadinya masuk ke penulis muda berbakat. Tapi, karena kategori itu dihapus, akhirnya masuk nominasi karya,” jelas perempuan berjilbab tersebut. Okky  Madasari pernah  berprofesi  sebagai wartawan bidang hukum dan korupsi, yang dapat mengindikasikan novel ini menjadi sangat kental dengan reportase yang sarat akan aspek-aspek sosial-politik. Ditambah lagi novel 86 menggunakan nama-nama tempat yang benar-benar ada, menjadikannya semakin tampak nyata. Hal ini seolah menjadi jawaban bagi pemerintahan Indonesia yang hingga saat ini belum dapat memberantas korupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febridiansyah melalui Media Indonesia menyatakan bahwa novel 86 secara   tersirat   membuka   praktik-praktik   korupsi   yang   dilakukan   di   lembaga pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Okky, oleh Is Mujiarso dalam pemberitaan detikhot dikatakan bahwa ia kembali menyuarakan kegelisahan terhadap masalah korupsi. Meneruskan apa yang sebelumnya telah diperjuangkan sastrawan terkenal seperti Mochtar Lubis, Ramadhan KH, Ajib Rosyidi, dan Satyagraha Hoerip.
Novel ketiganya Maryam. Okky menyuarakan kondisi sekelompok masyarakat di Lombok, yang dianggap menyimpang karena perbedaan keyakinan. Mereka diusir, tidak boleh tinggal di tanah kelahiran sendiri. Bahkan sampai saat ini, orang-orang yang terasingkan sebab iman masih dirundung masalah. Sosok Maryam, seorang perempuan penganut Ahmadiyah asal Lombok mengalami diskriminasi dan penderitaan karena keluarganya terusir dari kampung halamannya. ”Novel ini tidak pada posisi membela atau membenarkan keyakinan apapun. Novel Maryam hanya ingin memperjuangan hak-hak warga negara yang terampas,” kata Okky (dalam wawancara Republika, Jumat 9 Maret 2014). Ia berharap kisah yang diangkat dari realita ini seharusnya menjadi peringatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden berikutnya bahwa tidak ada demokrasi dan penghormatan terhadap hak azasi manusia tanpa penegakan hukum yang tegas. Selanjutnya Okky melanjutkan, bahwa novel Maryam tidak pada posisi membela atau membenarkan ideologi atau keyakinan apapun, novel Maryam hanya ingin memperjuangkan hak-hak warga negara yang terampas hanya karena perbedaan iman.
Selanjutnya, Okky kembali mencuatkan isu-isu sosial dalam novel keempatnya. Pasung Jiwa, serasa ada suatu hal yang berbeda dari buku-buku Okky sebelumnya. Tidak seperti Entrok dan 86, masing-masing memiliki fokus isu yang individual, tidak bertumpang tindih anatara isu yang satu isu-isu yang lainnya. Entrok di era orde baru, dengan segala isu perpolitikannya. Sedangkan 86, berfokus pada suap-menyuap di peradilan. Dan pada Pasung Jiwa, terdapat isu yang terkesan memaksakan dan topik yang diangkat pun menjadi agak melebar. Ada isu transgender, kasus Marsinah, reformasi ’98, serta laskar berjubah putih. Meski tokoh utama dalam cerita ini tetap terlibat dalam isu-isu tersebut, tapi kompleksnya malah menjadikan isu tersebut kurang tertempel kuat seperti dalam buku-buku sebelumnya.
Pengarang memiliki posisi yang sangat menentukan. Pada umumnya unsur- unsur kepengarangan dikaitkan dengan asumsi struktur rohaniah, seperti: kapasitas intelektual dan logika, kualitas moral dan spiritual, fungsi-fungsi didaktis dan teori ideologis.  Pengarang dipandang  sebagai  subjek  yang  memiliki  kompetensi  yang paling memadai dalam menghasilkan sebuah karya sastra (Kutha Ratna, 2004:194). Sebagai seorang Muslimah, Okky mengakui, selalu ada nilai-nilai keislaman dalam setiap karyanya. “Mungkin inilah saatnya kita harus menyadarkan masyarakat bahwa religius tidak berarti hanya melaksanakan lima rukun Islam tapi tetap berperilaku tercela, misal naik haji tapi tetap korupsi,” katanya. Religius menurutnya, adalah bagaimana tujuan tertinggi agama, yakni kebaikan, terwujud dalam perilaku kita terhadap sesama manusia, dalam bingkai kemanusiaan.
Okky pun menjadikan agama sebagai petunjuk untuk memperlakukan manusia dan makhluk hidup lainnya, “Agama buat saya bukan sekadar tentang surga dan neraka. Agama bagi saya adalah tuntunan atas perilaku saya hidup di dunia. Yang penting adalah bagaimana kita bisa menjadi manusia yang jauh lebih baik dengan berdasarkan tuntunan agama.” Agama jadi penuntun berperilaku sehari-hari. Agama juga jadi hukum tertinggi dalam dirinya sebelum dia bersentuhan dengan hukum-hukum ciptaan manusia. “Dengan demikian, saya tak akan pernah korupsi karena agama saya jelas melarang kita mengambil yang bukan hak.”
Sastra tidak terlepas dari manusia, keduanya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan, manusia merupakan objek penceritaan terbesar dalam sebuah karya sastra, terutama novel.  Menurut Antilan Purba (2009:2) manusia  serta  kehidupannya  merupakan persoalan  yang  selalu  menarik  untuk dibahas. Sastra berisi manusia dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya terkait rapat  dengan  kehidupan  sastra.  manusia  menghidupi sastra.  kehidupan  manusia adalah kehidupan sastra. Manusia beragama menghidupi sastra dan agama, begitu juga manusia berpolitik menghidupi sastra dan politik.

INTERLUDE III: Leila Salikha Chudori
Bertemankan Rain Chudori---sang putri semata wayang, redaktur senior majalah Tempo ini memulai kepulangannya. Hingar bingar dunia yang tersimpan selama menjalani hidup sebagai wartawan, kini dijadikan kekuatan untuk dapat berkarya. Berbekal kelihaian observasi setelah 20 tahun menjadi jurnalis, ia menulis sebuah novel yang memukau banyak orang. Leila S. Chudori, sejumlah pihak mengakui bahwa karyanya merupakan tulisan yang begitu nyata, sebab kaya akan fakta sejarah. Ibu satu anak ini berhasil mempertemukan kembali kata-kata, yang kemudian saling jatuh cinta, kawin, dan melahirkan sebuah cerita. Kemudian, membawanya kembali pada dunia sastra; Pulang.
Awalnya, Rain mengomentari kumpulan cerpen Malam Terakhir, buah karyanya yang diterbitkan kembali pada 2009. “You’re a very very good writer, mom!” tegas Rain pada ibunya seperti dikisahkan Leila kepada Didaktika. Pujian yang datang dari Rain benar menjadi cambuk yang membangkitkan asa kesusastraan Leila, hingga akhirnya ia pun memilih untuk Pulang. Dalam perjalanannya, ia menulis 9 dari Nadira sebelum memulai penulisan novel Pulang. “Kalau pujian datang dari orang lain itu biasa, tapi ini datang dari anak saya sendiri,” akunya. Leila sangat menghargai apresiasi sang putri, pasalnya Rain merupakan pribadi yang amat kritis.
Penulis cerpen yang sekaligus wartawan senior ini mendapatkan penghargaan sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional. Novel karya Leila yang berjudul 9 dari Nadira menjadi pilihan utama dewan juri. Dewan juri yang menilai merupakan ahli dibidang bahasa dan sastra, seperti, Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta, Abdul Hadi WM, Jacob Sumardjo, dan Abdul Rozak Zaidan. Cerpen fiksi 9 dari Nadira ini menceritakan tentang seorang perempuan cantik bernama Nadira Suwandi. Leila menggambarkan Nadira adalah seorang jurnalis---yang menurut Leila, adalah refleksi dirinya yang seorang wartawan. Cerita diawali saat Nadira---seorang introvert cerdas---menemukan sang Ibu tercinta mati bunuh diri. Menurut Leila, kisah yang ingin digambarkannya bukan kenapa ibunya Nadira mati bunuh diri. "Tapi  bagaimana kehidupan Nadira setelah menemukan ibunya bunuh diri. Bagaimana Nadira bisa bertahan menghadapi hidup," kata Leila. Buku setebal 270 halaman ini menceritakan kehidupan Nadira selanjutnya. Bagaimana Nadira menjalani hidupnya. Dengan penggalan sembilan cerpen, lembaran hidup Nadira dan keluarganya dikisahkan oleh Leila melalui tulisan khasnya.
Di akhir tahun 2012, dunia sastra Indonesia menyambut kelahiran sebuah karya Leila dengan gegap gempita. Penulis yang sudah berkarya sejak usia 11 tahun ini menerbitkan novel terbarunya berjudul Pulang. Bagi pembaca, Pulang merupakan karya apik yang mampu menjadi pelipur lara serta memberi refleksi sederhana yang mampu merawat ingatan masyarakat akan sebuah peristiwa sejarah. Namun buat Leila sendiri, Pulang adalah sebuah kata yang merepresentasi hidupnya. Sebab sudah lebih dari 20 tahun---tepatnya sejak 1989, Leila muda memutuskan diri untuk menjadi wartawan dan meninggalkan dunia penulisan fiksi.
Dan Pulang, yang secara eksplisit Leila sudah menerangkan, bahwa ia begitu terinspirasi oleh para eksil yang pernah dijumpainya, seperti Ibrahim Isa, Sobron Aidit, Umar Said dan sosok lainnya. Selain itu, Ia dipengaruhi oleh kebijakan redaksi tempatnya bekerja---Tempo, yang secara rutin tahunan menerbitkan edisi khusus terkait peristiwa G/30/S sejak 2005 lalu. Juga, sebagai variasi dalam upaya pelurusan sejarah nasional. Seperti yang telah dilakukan oleh Asvi Warman Adam maupun Bonnie Triyana, dalam melawan dominasi penulisan sejarah distorsif yang selama ini dilakukan oleh para sejarawan mainstream atau “peliharaan” Orba yang dipelopori oleh sosok Prof. Nugroho Notosusanto. Dan Novel Pulang adalah pemenang Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2013, hal ini membuktikan bahwa novel Pulang adalah sebuah bacaan yang penting dan menarik untuk dijadikan pengganti sumber-sumber bacaan lama yang mungkin dirasa menjenuhkan seperti terbitan Balai Pustaka atau teenlit yang saat ini digandrungi para pelajar sekolah maupun perguruan tinggi.
Sebagai sebuah karya fiksi, namun sama sekali tidak membuat Pulang menjadi novel yang bisa diremehkan. Mengingat proses penulisannya selama 6 tahun sejak 2006, dan selesai tahun 2012. Kemudian pula, didorong oleh rasa keprihatinan yang dalam. Dan melalui penelitian serius, serta penelusuran sejarah yang panjang demi diperolehnya konteks sosio-historis dalam usaha mendekati realitas. Restoran Indonesia, yang ia samarkan menjadi Restoran Tanah Air di Rue de Vaugirard, Paris, Prancis. Diambil sebagai latar tempat utama novel ini. Hal itu membuat Pulang seakan nyata, dan  menggiring saya memasuki imajinasi tentang kisah hidup beberapa orang eksil politik yang sejak sekitar 40 tahun lalu. Bagaimana memperjuangkan hidup di negeri jauh, dengan membangun badan usaha berbentuk koperasi produksi. Sebagaimana pernah dikisahkan oleh sastrawan Sobron Aidit pada tahun 2007, dalam buku memoar yang berjudul Melawan dengan Restoran.
Novel Pulang karya Leila adalah sebuah novel yang mengisahkan tentang kehidupan para eksil di Paris, tentang hasrat yang sekaligus juga ratapan mengenai suatu tempat dimana dia berasal. Dalam Pulang, manusia atau individu adalah sesuatu yang tak pernah selesai karena di dalam diri mereka selalu tersimpan harapan dan mimpi akan hidup yang lebih baik. Pulang mencoba mendirikan status kemanusiaan di atas hakikat hidup dan harapan. Hakikat hidup dan harapan inilah yang kemudian menjadi dasar dari novel Pulang. Manusia bahkan yang demikian terpencil sekalipun tak pernah berhenti dipenuhi oleh harapan di dalam hidupnya.
Pada cover belakang novel Pulang diterangkan bahwa “Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.” Ringkasan tersebut mengindikasikan kompleksitas cerita yang tinggi. Keluarga, cinta, dan pengkhianatan, meski dalam kenyataan memang seringkali berkaitan atas tiga tema besar itu. Lalu tiga peristiwa yang melatarbelakanginya pun tidak kalah kompleks. Apalagi peristiwa 30 September 1965 di Indonesia bisa dibilang kabur dalam sejarah Indonesia. Leila memilih tema dan peristiwa yang tidak mudah untuk diceritakan secara naratif. Namun sejauh ini, ia dapat mengatasi kompleksitas tersebut. Ia berhasil mengolah unsur-unsur naratif dan menyajikannya secara baik dalam novelnya Pulang.
Novel Pulang mengungkapkan tentang suatu realitas yang terjadi pada tahun 1965-1998 yang selama ini mungkin ditutup-tutupi oleh pemerintah bahkan diputarbalikan faktanya. Seperti yang kita ketahui bahwa hal yang tertulis pada buku-buku sejarah baik itu di sekolah maupun  perpustakaan umum bukan tergantung pada apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu, melainkan tergantung siapa orang yang berkuasa pada saat ini (pemerintah). Di dalam novel Pulang terdapat kejadian-kejadian yang dianggap tidak berperikemanusiaan yang terjadi pada tokoh-tokoh yang dianggap sebagai orang kiri dan ini semua dilakukan oleh aparat pemerintahan pada saat itu yang seharusnya melindungi rakyatnya sendiri. Sedangkan yang terjadi sekarang sebagaimana yang ditulis di buku-buku sejarah adalah sebaliknya, bahwa orang-orang yang dianggap kiri tersebutlah yang dinyatakan tidak berperikemanusiaan terhadap orang-orang sekitarnya, bahkan kepada aparat itu sendiri seperti terbunuhnya jendral-jendral di lubang buaya. Melalui Pulang, sudah jelas terlihat keberanian dan ambisi Leila untuk mengaitkan sastra dengan kejadian politik. Pulang adalah novel mengenai ‘hasrat untuk pergi ke tempat asalnya’. Dalam hasrat untuk pergi kembali ke tempat asalnya itu, subyek resah, bertanya, dan meratap. Sebagian berhasil mendapatkan jawaban, sebagian lagi gagal.
Narasi kehidupan (sejarah) tidak melulu harus diceritakan lewat buku-buku cetak sejarah di sekolah-sekolah, yang kenyataannya justru makin banyak kisah sejarah itu sendiri tidak dikupas secara lengkap, utuh dan tuntas. Juga lewat banyak tulisan-tulisan di internet yang terkadang isinya juga semakin mengaburkan cerita sejarahnya---tidak lengkap. Bagaimana sejarah itu sendiri menjadi menarik untuk diketahui dan dipahami, sehingga menumbuhkan ruang-bebas bagi banyak orang dalam menginterpretasikan dengan kehidupannya. Jembatan penghubung antara yang lalu dan sekarang, untuk masa depan. Biarpun ungkapan past is the past menjadi begitu populer saat ini, namun apakah salah jika yang sekarang belajar dari yang lampau? Ataukah, yang sekarang sengaja ingin mengubur----melupakan---dalam-dalam yang sudah lampau itu?

CODA: Refleksi Sastra Jurnalisme
Membicarakan jurnalisme erat kaitannya dengan proses mengumpulkan data dan fakta lalu mengkonstruksinya menjadi sebuah cerita (berita). Dalam perkembangannya, bentuk penulisan berita tidak sebatas straight news dengan model piramida terbaliknya. Munculnya genre Jurnalisme Sastra (atau sastrawi) membuka ruang bagi jurnalis untuk merekonstruksi fakta menjadi sebuah teks, yang membawa imajinasi pembaca untuk berdialog dengan objek yang diberitakan. Dengan teknik seperti ini, imajinasi pembaca akan menangkap sebuah gambaran peristiwa seperti membaca cerpen atau novel.
Belum lama ini bertambah lagi jurnalis yang melahirkan novel. Tosca Santoso, setelah lebih dua dekade bertualang di dunia jurnalisme, menerbitkan novel berjudul Sarongge. Novel setebal 384 halaman yang diterbitkan Dian Rakyat pada September 2012 tersebut mengangkat tema tentang lingkungan, cinta dan kemanusiaan (juga ditulis: hutan, manusia dan cintanya). Karena gaya penulisannya sebagian serupa karya jurnalisme maka, maka saya gunakan istilah Sastra Jurnalisme.  Gaya penulisan sastra seperti ini sering saya jumpai pada karya sastra yang ditulis oleh sastrawan yang (pernah) berprofesi sebagai jurnalis. Barangkali karena dalam keseharian selalu berkutat dengan reportase dan penulisan teks jurnalisme, maka gaya tersebut kadang terbawa pada penulisan sastra. Ciri-cirinya antara lain dapat dilihat pada gaya penulisan yang banyak didasari fakta lapangan, data-data pendukung dan munculnya idealisasi dan idealisme dalam konstruksi peristiwa. Tapi berbeda dengan Jurnalisme Sastra yang mutlak bersandar pada kebenaran, Sastra Jurnalisme tidak diharamkan memasukkan unsur, latar dan penokohan fiktif.
Maka mengawinkan Sastra dengan Jurnalisme bukan hal terlarang, keduanya berasal dari akar yang sama. Budaya teks/tutur, budaya yang sudah mengakar pada manusia sejak berpuluh abad silam. Realitanya banyak juga jurnalis yang kemudian menjadi sastrawan. Sebut saja Goenawan Mohamad, Rida K Liamsi, Seno Gumira Ajidarma (SGA), Leila S Chudori, Akmal Nasery Basral, Hasan Aspahani, Hary B Koriun, Okky Puspa Madasari, dan banyak nama lainnya. Bahkan seperti yang sudah SGA tegaskan dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, bahwa dalam bentuk fakta (karya jurnalisme) maupun fiksi (karya sastra), kebenaran adalah kebenaran- yang getarannya bisa dirasakan setiap orang. Kemudian SGA pun menggugat, mengenai definisi soal kebenaran yang seringkali terlalu ketat. Sebab dalam dunia jurnalisme, kebenaran seringkali dipersempit hanya terletak pada fakta-fakta pemberitaan berupa teks dan foto. Sementara bentuk pesan lainnya semacam cerpen dan puisi hanya dianggap sebagai fiksi, bukan kebenaran. Padahal sejatinya sastra juga merupakan jalur pengungkapan kebenaran. Sastra adalah cermin realitas. Dalam konteks ini, jurnalisme dan sastra bisa menjadi medium untuk mengomunikasikan kebenaran.
Toh kenyataannya, dunia jurnalisme juga tidak lepas dari konstruksi informasi fiktif. Bahkan media sebesar New York Times dan The Washington Post juga tak luput dari muslihat jurnalisme fiksi yang dilakukan wartawannya. Salah satu yang menonjol adalah kasus Janet Leslie Cooke, yang menulis artikel ‘’Dunia Jimmy’’ dan dimuat di The Washington Post pada 28 September 1980. Laporan itu mendapat penghargaan Feature Terbaik Pulitzer 1981. Belakangan, ketahuan bahwa artikel tentang bocah pencandu heroin di kawasan kumuh Washington DC itu bohong dan sosok Jimmy hanyalah rekaan Cook.

Tapi sastra dan fiksi jelas dua hal yang berbeda. Maka jurnalisme sastra dengan jurnalisme fiksi tidak bisa disamakan. Fiksi dalam KBBI diartikan sebagai cerita rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan dan pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Sedang sastra lebih kepada bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai. Maka ketika menyebut jurnalisme sastra, pikiran kita harus dibebaskan dari kata: fiksi.