February 1, 2015

Bacalah!

;hanya sebuah ajakan

Tarigan dan Tarigan (1987: 185) dalam Linda dan Nurlinda (2004) mengemukakan, jika kita menerima pendapat bahwa buku sebagai gudang ilmu pengetahuan, maka menulis dan penulis adalah yang memproduksi gudang tersebut. Tanpa menulis, isi gudang akan tetap kosong. Tanpa penulis, buku tak ubahnya  gedung tua tak berpenghuni. Zaman dengan segala ihwal kemutakhiran, serba modern dan penuh kompetisi kini menjadi penjelas, bahwa menulis merupakan suatu aspek keterampilan yang perlu dikuasai.
Mulai dari era ala media sosial, facebook, twitter, path, instagram, blogger, wordpress,tumblr,dan lain-lain. Ada hal menarik, selain media di atas sebagai pengunggah visual atau sebagai wahana untuk berbagi status; gambar; gagasan; atau memperbarui hal-hal remeh sekalipun. Tetapi media, telah sempurna menjelma serupa kanon-kanon di jelaga. Menjadi taman bermain bagi perpanjangan lengan usia atas budaya tulis menulis. Melanggengkan pelbagai bentuk tulisan, baik hanya sekadar menuangkan kesah atau sekadar untuk unjuk prestige, sampai kepada hal serius pun ada. Sementara, demi menjaga budaya dari kecacatan yang sumbang. Pemakaian eja dan bahasa Indonesia yang baik dan benar, peran masyarakat serta kita menjadi suatu keniscayaan. Khususnya peran  pembelajar dan pengajar di tiap instansi pendidikan.
Mengingat keterampilan menulis bukanlah hal yang mudah, pengajaran bahasa indonesia adalah momen yang tak boleh terlewat. Seperti kesulitan menentukan tema, kesulitan dalam penggunaan diksi, dan ketepatan ejaan. Dan melihat kenyataan tersebut, peran guru bahasa Indonesia sebaiknya dapat memperbaiki dan meningkatkan keterampilan tersebut. Kesanggupan dalam menjalan peran, sebagai pengajar, pembimbing, administrator, fasilitator, evaluator, pembina ilmu, dan penimba ilmu seumur hidup.
Tentunya, dalam pengajaran bahasa Indonesia terlebih kepenulisan. Maka pengajaran tak bisa dilepaskan dari sastra, dan masyarakat mempunyai respon atau tanggapan yang berbeda-beda terhadap sastra. Dalam menanggapi sebuah bacaan sastra yang didengar atau dibacanya. Baik dari pendengaran di tiap pertunjukan, dari  bacaan di koran-koran, atau bahkan hasil simakan dari tulisan-tulisan yang banyak tersebar di sosial-media tadi. Anak mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan kesenangan, pikiran, dan perasaannya. Setiap tanggapan terhadap sastra memang bersifat personal dan khas untuk masing-masing anak, namun demikian setiap tanggapan itu dapat merefleksikan umur dan penglamannya.
Istilah ‘tanggapan’ terhadap karya sastra memiliki makna beragam. Tanggapan dapat mengacu pada apa yang terjadi di akal budi pembaca atau pendengar ketika cerita itu tidak bisa ditangkap. Tanggapan dapat pula mengacu pada sesuatu yang dikatakan atau dikatakan atau dilakukan dengan pikiran dan perasaan tentang sastra. Hal ini mengindikasikan, bahwa buku akan membawa tanggapan yang bagus. Dan tanggapan tersebut adalah bagaimana tingkat ketertarikan atau minat anak dan ekspresi kesukaannya sebagai pembaca. Lingkungan dan pengaruh sosial juga mempengaruhi pilihan buku dan minat bacanya. Minat akan tampak bervariasi karena pengaruh lokasi geografis yang sangat kuat, pengaruh lingkungan dengan ketersediaan dan kelancaran bahan-bahan bacaan di rumah, di kelas, pustaka sekolah, dan pustaka umum.
Maka, di samping juga menambah varian bacaan. Pembelajaran sastra sangat penting dalam pembangunan, guna mendorong anak untuk bisa bersikap lebih kritis. Pembelajaran sastra akan mengacu kepada kesadaran sosial yang kritis, sehingga pembangunan akan menjadi terarah, makna dari sastra dapat mengarahkan kepada pemberdayaan yang bukan saja membuat orang menjadi tegas, tetapi juga mampu untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Identitas manusia harus tegas dan bebas dari ketergantungan, dan itu bisa didapat dalam pelajaran sastra. sastra merupakan dokumen kebudayaan yang tidak boleh dianggap bersaingan dengan politik sekarang ini. Kebersamaan dalam globalisasi mengundang gagasan multibudaya, dengan menempatkan identitas politik kelompok masing-masing sebagai hak kemanusiaan, kata dia lagi. Karena itu, pihaknya mengusulkan kurikulum multibudaya yang dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra. Kesemuanya itu, tidak lain bertujuan untuk menjadikan pemberdayaan identitas budaya lokal yang ampuh, ujar Azhar. Dia juga berpendapat, umumnya pembelajaran sastra memerlukan nafas baru, sehingga perlu melakukan pendekatan dalam pengajaran.
Tujuan umum pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan  penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dan tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan khusus di bawah ini.
1.    Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan  intelektual, serta kematangan emosional dan sosial
2.    Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
3.    Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
4.    Pengajaran sastra membawa anak pada ranah produktif dan  apresiatif. Sastra adalah sistem  tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Pencipataan karya sastra merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual dan imajinatif. Karya sastra hadir untuk dibaca  dan dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan.
Pengembangan kegiatan pembelajaran apresiatif merupakan usaha untuk membentuk pribadi imajinatif yaitu pribadi yang selalu menunjukkan hasil belajarnya melalui aktivitas mengeksplorasi ide-ide baru, menciptakan tata artistik baru, mewujudkan produk baru, membangun susunan baru, memecahkan  masalah dengan cara-cara baru, dan merefleksikan kegiatan apresiasi dalam bentuk karya-karya yang unik.
Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh anak. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain peran, penulisan kritik dan esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan apresiasi sastra pada anak. Berbagai kegiatan tersebut akan menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada anak terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru sastra dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan sastra. Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas kaitannya, relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain kata, seorang guru sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan seorang pembela di dalam sebuah peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk menunjukkan, bahwa sastra adalah ilmu.
Mengajarkan sastra tidak dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang akan mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak diberikan pelajaran sastra, tidak kalah penting dari suara karya-karya itu. Tidak seperti pelajaran sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari aksi-aksi yang nyata.
Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esai dan sebagainya hanya alat untuk menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik cerita, di dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan kepada mereka yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali tambang mengeruk, memburu makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.
Pengajaran merupakan interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara pengajar dan anak. Diantara keduanya terdapat hubungan atau komunikasi interaksi. Pengajaran merupakan suatu pola yang di dalamnya tersusun suatu prosedur yang direncanakan (Ampera, 2010:6). Selain itu, pada dasarnya sastra merupakan produk budaya, kreasi pengarang yang hidup dan terkait dengan tata kehidupan masyarakat. Sastra memberikan wujud dan menggambarkan kehidupan dan realitas sosial yang ada di masyarakat.
Pengajaran sastra pada dasarnya memiliki peranan dalam peningkatan pemahaman anak. Apabila karya-karya sastra tidak memiliki manfaat, dalam menafsirkan masalah-masalah dalam dunia nyata, maka karya sastra tidak akan bernilai bagi pembacanya. Pada dasarnya pengajaran sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka dapat dipandang pengajaran sastra menduduki tempat yang yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat maka pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang  besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam  masyarakat (Rahmanto, 1996:15). Melalui hal tersebut, sastra memberikan pengaruh terhadap pembacanya. Sastra membentuk pola pikiran dan respon pembaca terhadap apa yang dibacanya dengaan aktivitas kesehariaanya yang saling berkaitan.
Pengajaran bahasa dan sastra pada umumnya mengalami kendala dan hambatan. Khususnya pada pengajaran sastra yang terkadang dianggap kurang bermanfaat. Sikap yang kurang apresiatif muncul dari anak didik dan guru, sehingga pengajaran sastra terabaikan. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat dihati anak. Pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan selama ini dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi para guru yang pengetahuan dan apresiasi (dan budayanya) rendah. Mengingat hakikat dari tujuan pengajaran sastra yaitu untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta dan penghargaan bagi anak terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai budaya warisan leluhur. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang mempengaruhi minat dan keinginan anak untuk mengikuti pengajaran dengan baik.
Bahan pengajaran sastra sangat penting pada proses pembelajaran. Materi yang sesuai akan dapat membantu anak lebih mudah utuk memahami karya sastra. Materi ajar yang rumit dan sulit akan membuat anak merasa bosan untuk menikmati karya sastranya. Rahmanto (1996:27—33) mengemukakan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam memilih pengajaran sastra yaitu sebagai berikut:
Bahasa
Penguasaan suatu bahasa sebenarnya tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap yang tampak. Sementara perkembangan karya sastra melewati tahap-tahap yang meliputi banyak aspe kebahasaan. Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang akan dibahas, tapi juga faktor lain seperti: cara penulisan yang dipakai si pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang.
Psikologi
Dalam memilih bahan pengajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis hendaknya diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minta dan keenggaan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologi ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan situasi atau pemecahan problem.
Latar Belakang Budaya
Biasanya anak akan lebih mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka atau yang memiliki kesamaan dengan mereka.Dengan demikian secara umum hendaknya guru sastra memilih bahan pengajaran dengan menggunakan prinsip yang mengutamakan karya-karya sastra yang latar ceritanya dikenal anak. Karya-karya sastra dengan latar budaya sendiri yang dikenal anak, akan membantu anak untuk memahami budayanya sendiri.
Cerita  pendek  menurut  Edgar  Allan Poe (dalam  Nurgiyantoro,  1995:  10) adalah sebuah cerita selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Cerita pendek (cerpen) adalah bagian dari sastra yang memiliki nilai  estetik  yang mengandung unsur-unsur kehidupan masyarakat. Bersama unsur intrinsik dan ekstrinsiknya yang membentuk kesatuan, sastra (cerpen) memancarkan estetikanya sehingga dapat dinikmati penikmatnya. Medium sastra adalah bahasa. Kelebihan Cerpen atau cerita pendek adalah kemampuannya mengemukakan  secara  lebih  banyak secara implisit dari sekadar yang diceritakan. Memahami sebuah   cerita pendek adalah bagian dari kegiatan menikmati karya sastra secara lebih mendalam dan lebih serius. Karena di dalam cerita pendek terdapat cerita atau kisah  secuil  dari  kehidupan  yang bermakna.
Sebagai karya sastra, cerita pendek mengandung makna yang perlu diiterpretasikan. Seperti yang dikatakan Budi Darma (2004:47) bahwa karya sastra yang merangsang pembaca untuk menafsirkan atau menginterpretasikan karya sastra itu disebut sastra serius atau interpretative  literature.  Penikmatan karya sastra tidak lepas dari memahami unsur-unsur  yang  membangun  karya sastra   itu   sendiri,   diantaranya   adalah tokoh, karakter, alur, setting, dan amanat. Tokoh   dalam   karya   sastra   merupakan salah satu unsur    penunjang dalam keberhasilan cerita. Lewat tokoh pula, pengarang dapat mempengaruhi pembaca untuk menerima ide-ide pengarang. Menurut Budi Darma (2004:47). bahwa kendati masing-masing pengarang/sastrawan mempunyai gagasan dan tujuan masing-masing, pada dasarnya fiksionalitas   tidak   dapat   membebaskan diri dari; (a). masalah nasib; (b). masalah keagamaan,  kepercayaan  perlindungan dan keselamatan; (c). masalah alam; (d). masalah manusia (e). masalah masyarakat.
Menurut Ratna (2007:39) bahwa hasil karya   manusia   selalu   dalam   kondisi interdependensi, tetapi bukan dalam hubungan substansial melainkan fungsional. Secara fungsional sastra berhubungan dengan karya seni yang lain, berhubungan juga dengan agama, mitos, filsafat, ilmu pengetahuan, arsitektur, politik, ekonomi, dan sebagainya. Karya sastra harus dipahami sesuai dengan hakikatnya.
Dengan demikian cerita pendek adalah dunia fiksi yang digambarkan pengarang seolah-olah menyerupai dunia sesungguhnya. Sehingga cerita yang mengalir dan terjalin itu seolah panggung kehidupan. Adanya cerita seperti layaknya kehidupan   nyata   itu   tidak   dipungkiri bahwa segala yang terjadi dalam dunia nyata dapat tercakup dalam karya sastra. Seperti yang dikatakan oleh  Ratna (2007: 77) bahwa hubungan sosial menjelaskan genesis karya sebagai salah satu akibat interaksi  berbagai  interaksi  yang terjadi. Karya  sastra  adalah  respon-respon interaksi sosial.
Cerita pendek dengan segala variasinya memberi sumbangsih pemikiran bagi pembaca   sehingga dapat lebih bijak dalam mengarungi kehidupan. Menurut Sastrowardoyo (1999:57) bahwa karya sastra tidak memberikan rumus-rumus berharga bagi intelektual, tetapi lebih menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial, dan psikologis, mendorong kemampuan pikiran untuk merenung, bermimpi,   dan   membawa   pikiran   ke semua macam situasi dan dibentuk oleh pengalaman-pengalaman imajinatif. Dan dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita pendek yang sarat dengan permasalahan perlu diinterpretasikan. Cerpen dengan segala kreasinya tersebut merupakan ide cemerlang pengarang sebagai kepedulian terhadap keadaan sosial.
Pengembangan bahan ajar menulis cerpen dengan strategi pemodelan adalah bahan ajar yang menyajikan materi, latihan, dan berbagai pemodelan/contoh cerpen yang diharapkan dapat membantu anak dalam menulis cerpen yang memfokuskan pada pengembangan peristiwa dan tokoh. Peristiwa dan tokoh merupakan unsur cerpen yang saling berhubungan, yang juga tidak terlepas dari unsur­unsur yang lain, seperti latar, gaya, sudut pandang, dan tema. Berdasarkan hal tersebut, secara implisit unsur cerpen peristiwa dan tokoh dalam bahan ajar menulis ini saling berhubungan dan saling menghidupi.
Dan dalam pembelajaran menulis cerpen, tidak terlepas dari bimbingan guru sehingga anak mampu memilih tema, mengembangkan ide pokok, mengembangkan tokoh baik langsung maupun tidak langsung, mengembangkan peristiwa, menyusun draf yang dikembangkan dari kerangka, dan mengedit naskah cerpen atau merevisi. Kegiatan menulis cerpen dengan strategi pemodelan dalam bahan ajar bertujuan agar anak mengalami proses dalam beberapa tahapan kegiatan belajar. Tahapan kegiatan yang dilewati itu meliputi; (1). memilih topik; (2). mengembangkan ide pokok; (3). mengembangkan tokoh baik langsung maupun tidak langsung; (4). mengembangkan peristiwa; (5). menyusun kerangka; (6). menulis cerpen; (7). mengedit atau merevisi.
Atas dalih pengajaran apresiasi cerpen di sekolah-sekolah, mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA belum memenuhi harapan. Situasi dan kondisi pengajaran apresiasi cerpen di sekolah yang hanya didominasi oleh pemerian pengetahuan tentang cerpen, sejarah cerpen, dan belum mengarah pada kegiatan belajar yang apresiatif. Sebenarnya yang dituntut pada kurikulum baik 1994 maupun 2004, yaitu peningkatan kemampuan anak mengapresiasi cerpen yang tidak sekadar dibekali dengan pengetahuan dan sejarah cerpen, melainkan juga pemberian pengalaman kreatif mencipta cerpen.
Apabila diamati secara cermat menurut perspektif penulis, ada empat kecenderungan yang memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi pengajaran apresiasi cerpen di sekolah. Pertama, pengajaran apresiasi cerpen masa kini lebih didominasi dan cenderung mengarah pada sejarah dan teori cerpen. Kedua, pengajaran apresiasi cerpen anak didik kurang diberi kesempatan meresapi dan mereaksi karya cerpen. Ketiga, ada jarak antara pengajaran apresiasi cerpen dan perkembangan cerpen. Keempat, dalam pengajaran apresiasi cerpen anak didik kurang diberi kesempatan untuk berlatih mencipta cerpen.
Guru dalam hal ini berkewajiban menciptakan situasi  dan kondisi yang kondusif dalam kegiatan belajar-mengajar apresiasi cerpen. Situasi dan kondisi yang kondusif adalah memungkinkannya anak untuk dapat bersikap reseptif, reaktif, dan aktraktif di dalam kegiatan belajar-mengajar apresiasi cerpen.
Maka dengan strategi pengajaran re-kreasi, kiranya menjadi alasan tepat. Mengingat pelbagai pengalaman yang telah terjadi, seperti yang sudah dipaparkan di atas. Istilah re-kreasi dapat diartikan sebagai upaya “penciptaan kembali”. Strategi re-kreasi dalam pengajaran apresiasi cerpen merupakan penerapan teknik penciptaan kembali dalam kegiatan belajar-mengajar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mencipta cerpen berdasarkan unsur-unsur yang terdapat di dalam cerpen lain yang pernah dibaca. Istilah re-kreasi ada hubungannya dengan strategi strata. Strategi strata tersebut meliputi tiga tahap; (1). tahap penjelajahan; (2). tahap interpretasi; (3). tahap re-kreasi.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan pada tahap re-kreasi dalam pengajaran cerpen adalah; (1). penciptaan kembali sebuah cerpen berdasarkan tema cerpen lain yang pernah dibaca; (2). penciptaan kembali sebuah cerpen berdasarkan nada pada cerpen lain yang pernah dibaca anak; (3). penciptaan kembali sebuah cerpen berdasarkan suasana cerpen lain yang telah dibaca anak; (4). penciptaan kembali sebuah cerpen berdasarkan latar cerpen lain yang telah dibaca anak; (5). penciptaan sebuah parafrase, penyaduran, dan penerjemahan cerpen ke dalam bentuk lain.
Berdasarkan tema, strategi re-kreasi sebuah cerpen dapat dilakukan berdasarkan tema cerpen lain. Dan diharapkan pula dapat menunjang keterampilan berbahasa siswa, baik kemampuan berbahasa maupun kemampuan bersastra (mendengar, berbicara, membaca, menulis). Penciptaan kembali sebuah cerpen berdasarkan persamaan tema cerpen lain juga dapat mengembangkan cipta, rasa, dan karsa siswa serta menunjang pembentukan watak. Demikian pula berdasarkan unsur-unsur instrinsik lainnya.
Re-kreasi dan rekreasi sebagai sebuah alternatif. Cerpen sebagai karya kemanusiaan yang kreatif, imajinatif, dan sugestif dapat berfungsi memberikan pengaruh positif terhadap cara berpikir orang mengenai baik dan buruk, mengenai benar dan salah, dan mengenai cara hidupnya sendiri serta bangsanya (Suyitno, 1986). Konteks kalimat tersebut bermakna bahwa fungsi cerpen dalam kehidupan manusia jauh dari hal-hal yang bersifat kebendaan. Dengan demikian kegiatan belajar-mengajar apresiasi cerpen selain bisa diarahkan pada kegiatan re-kreasi (penciptaan kembali), hendaknya juga memberikan rekreasi imajinatif yang bersifat spiritual. Yang kemudian, dengan langkah awal re-kreasi. Pelbagai macam pembiasaan diri dalam mengawali penulisan cerpen, selanjutnya menjadi stimulus bagi penulisan cerpen yang orisinal dan otentik.








Pustaka
Ampera, Taufik. 2010. Pengajaran Sastra Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya Padjadjaran.
Darma,   Budi.   2004. Pengantar   Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Kemendiknas. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Kegiatan Naskah Bahan Kerjasama, Informasi dan Publikasi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Kementrian Pendidikan Nasional.
Nugiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rahmanto, B.  1996. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Ratna, Nyoman Kuntha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sastro wardoyo, Subagio. 1999. Sekilas Soal sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka
Suyitno. 1986. Sastra, Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
Tarigan, H.G.. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

No comments:

Post a Comment