;hanya sebuah ajakan
Tarigan dan Tarigan (1987: 185) dalam Linda dan
Nurlinda (2004) mengemukakan, jika kita menerima pendapat bahwa buku sebagai
gudang ilmu pengetahuan, maka menulis dan penulis adalah yang memproduksi
gudang tersebut. Tanpa menulis, isi gudang akan tetap kosong. Tanpa penulis,
buku tak ubahnya gedung tua tak
berpenghuni. Zaman dengan segala ihwal kemutakhiran, serba modern dan penuh
kompetisi kini menjadi penjelas, bahwa menulis merupakan suatu aspek keterampilan
yang perlu dikuasai.
Mulai dari era ala media sosial, facebook, twitter,
path, instagram, blogger, wordpress,tumblr,dan lain-lain. Ada hal menarik,
selain media di atas sebagai pengunggah visual atau sebagai wahana untuk
berbagi status; gambar; gagasan; atau memperbarui hal-hal remeh sekalipun.
Tetapi media, telah sempurna menjelma serupa kanon-kanon di jelaga. Menjadi
taman bermain bagi perpanjangan lengan usia atas budaya tulis menulis.
Melanggengkan pelbagai bentuk tulisan, baik hanya sekadar menuangkan kesah atau
sekadar untuk unjuk prestige, sampai kepada hal serius pun ada.
Sementara, demi menjaga budaya dari kecacatan yang sumbang. Pemakaian eja dan
bahasa Indonesia yang baik dan benar, peran masyarakat serta kita menjadi suatu
keniscayaan. Khususnya peran pembelajar
dan pengajar di tiap instansi pendidikan.
Mengingat keterampilan menulis bukanlah hal yang
mudah, pengajaran bahasa indonesia adalah momen yang tak boleh terlewat.
Seperti kesulitan menentukan tema, kesulitan dalam penggunaan diksi, dan
ketepatan ejaan. Dan melihat kenyataan tersebut, peran guru bahasa Indonesia
sebaiknya dapat memperbaiki dan meningkatkan keterampilan tersebut. Kesanggupan
dalam menjalan peran, sebagai pengajar, pembimbing, administrator, fasilitator,
evaluator, pembina ilmu, dan penimba ilmu seumur hidup.
Tentunya, dalam pengajaran bahasa Indonesia terlebih
kepenulisan. Maka pengajaran tak bisa dilepaskan dari sastra, dan masyarakat
mempunyai respon atau tanggapan yang berbeda-beda terhadap sastra. Dalam
menanggapi sebuah bacaan sastra yang didengar atau dibacanya. Baik dari
pendengaran di tiap pertunjukan, dari
bacaan di koran-koran, atau bahkan hasil simakan dari tulisan-tulisan
yang banyak tersebar di sosial-media tadi. Anak mempunyai cara tersendiri dalam
mengungkapkan kesenangan, pikiran, dan perasaannya. Setiap tanggapan terhadap
sastra memang bersifat personal dan khas untuk masing-masing anak, namun
demikian setiap tanggapan itu dapat merefleksikan umur dan penglamannya.
Istilah ‘tanggapan’ terhadap karya sastra memiliki
makna beragam. Tanggapan dapat mengacu pada apa yang terjadi di akal budi
pembaca atau pendengar ketika cerita itu tidak bisa ditangkap. Tanggapan dapat
pula mengacu pada sesuatu yang dikatakan atau dikatakan atau dilakukan dengan
pikiran dan perasaan tentang sastra. Hal ini mengindikasikan, bahwa buku akan
membawa tanggapan yang bagus. Dan tanggapan tersebut adalah bagaimana tingkat
ketertarikan atau minat anak dan ekspresi kesukaannya sebagai pembaca. Lingkungan
dan pengaruh sosial juga mempengaruhi pilihan buku dan minat bacanya. Minat akan
tampak bervariasi karena pengaruh lokasi geografis yang sangat kuat, pengaruh
lingkungan dengan ketersediaan dan kelancaran bahan-bahan bacaan di rumah, di
kelas, pustaka sekolah, dan pustaka umum.
Maka, di samping juga menambah varian bacaan. Pembelajaran sastra sangat penting
dalam pembangunan, guna mendorong anak untuk bisa bersikap lebih kritis.
Pembelajaran sastra akan mengacu kepada kesadaran sosial yang kritis, sehingga
pembangunan akan menjadi terarah, makna dari sastra dapat mengarahkan kepada
pemberdayaan yang bukan saja membuat orang menjadi tegas, tetapi juga mampu
untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Identitas manusia harus tegas dan
bebas dari ketergantungan, dan itu bisa didapat dalam pelajaran sastra. sastra
merupakan dokumen kebudayaan yang tidak boleh dianggap bersaingan dengan
politik sekarang ini. Kebersamaan dalam globalisasi mengundang gagasan
multibudaya, dengan menempatkan identitas politik kelompok masing-masing
sebagai hak kemanusiaan, kata dia lagi. Karena itu, pihaknya mengusulkan
kurikulum multibudaya yang dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra.
Kesemuanya itu, tidak lain bertujuan untuk menjadikan pemberdayaan identitas
budaya lokal yang ampuh, ujar Azhar. Dia juga berpendapat, umumnya pembelajaran
sastra memerlukan nafas baru, sehingga perlu melakukan pendekatan dalam
pengajaran.
Tujuan umum pembelajaran sastra merupakan bagian
dari tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana
dan proses pembelajaran agar anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Dan tujuan pembelajaran sastra di sekolah
terkait pada tiga tujuan khusus di bawah ini.
1. Menggunakan
bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta
kematangan emosional dan sosial
2. Menikmati
dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
3. Menghargai
dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia.
4. Pengajaran
sastra membawa anak pada ranah produktif dan apresiatif. Sastra adalah
sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Pencipataan karya sastra
merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual dan imajinatif. Karya sastra
hadir untuk dibaca dan dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan
wawasan kehidupan.
Pengembangan
kegiatan pembelajaran apresiatif merupakan usaha untuk membentuk pribadi
imajinatif yaitu pribadi yang selalu menunjukkan hasil belajarnya melalui
aktivitas mengeksplorasi ide-ide baru, menciptakan tata artistik baru,
mewujudkan produk baru, membangun susunan baru, memecahkan masalah dengan
cara-cara baru, dan merefleksikan kegiatan apresiasi dalam bentuk karya-karya
yang unik.
Kegiatan
apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh
anak. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan
berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi,
musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain
peran, penulisan kritik dan esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan
untuk menumbuhkan apresiasi sastra pada anak. Berbagai kegiatan tersebut akan
menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada
anak terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Sastra
tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru sastra
dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan sastra.
Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas
kaitannya, relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain
kata, seorang guru sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya,
bagaikan seorang pembela di dalam sebuah peristiwa pengadilan, untuk
membuktikan, untuk menunjukkan, bahwa sastra adalah ilmu.
Mengajarkan
sastra tidak dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang akan
mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak
diberikan pelajaran sastra, tidak kalah penting dari suara karya-karya itu.
Tidak seperti pelajaran sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai
dari aksi-aksi yang nyata.
Sebuah
sajak, novel, lakon, cerpen, esai dan sebagainya hanya alat untuk
menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik
cerita, di dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan
kepada mereka yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali
tambang mengeruk, memburu makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.
Pengajaran
merupakan interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu
proses saling mempengaruhi antara pengajar dan anak. Diantara keduanya terdapat
hubungan atau komunikasi interaksi. Pengajaran merupakan suatu pola yang di
dalamnya tersusun suatu prosedur yang direncanakan (Ampera, 2010:6). Selain
itu, pada dasarnya sastra merupakan produk budaya, kreasi pengarang yang hidup
dan terkait dengan tata kehidupan masyarakat. Sastra memberikan wujud dan
menggambarkan kehidupan dan realitas sosial yang ada di masyarakat.
Pengajaran
sastra pada dasarnya memiliki peranan dalam peningkatan pemahaman anak. Apabila
karya-karya sastra tidak memiliki manfaat, dalam menafsirkan masalah-masalah
dalam dunia nyata, maka karya sastra tidak akan bernilai bagi pembacanya. Pada
dasarnya pengajaran sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia
nyata, maka dapat dipandang pengajaran sastra menduduki tempat yang yang
selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat maka pengajaran
sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan
masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam
masyarakat (Rahmanto, 1996:15). Melalui hal tersebut, sastra memberikan
pengaruh terhadap pembacanya. Sastra membentuk pola pikiran dan respon pembaca
terhadap apa yang dibacanya dengaan aktivitas kesehariaanya yang saling
berkaitan.
Pengajaran
bahasa dan sastra pada umumnya mengalami kendala dan hambatan. Khususnya pada
pengajaran sastra yang terkadang dianggap kurang bermanfaat. Sikap yang kurang
apresiatif muncul dari anak didik dan guru, sehingga pengajaran sastra
terabaikan. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya
sekedar memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang
mendapat tempat dihati anak. Pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan
selama ini dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi
para guru yang pengetahuan dan apresiasi (dan budayanya) rendah. Mengingat hakikat
dari tujuan pengajaran sastra yaitu untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta
dan penghargaan bagi anak terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai budaya
warisan leluhur. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang
mempengaruhi minat dan keinginan anak untuk mengikuti pengajaran dengan baik.
Bahan
pengajaran sastra sangat penting pada proses pembelajaran. Materi yang sesuai
akan dapat membantu anak lebih mudah utuk memahami karya sastra. Materi ajar
yang rumit dan sulit akan membuat anak merasa bosan untuk menikmati karya sastranya.
Rahmanto (1996:27—33) mengemukakan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan
dalam memilih pengajaran sastra yaitu sebagai berikut:
Bahasa
Penguasaan
suatu bahasa sebenarnya tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap yang tampak.
Sementara perkembangan karya sastra melewati tahap-tahap yang meliputi banyak
aspe kebahasaan. Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh
masalah-masalah yang akan dibahas, tapi juga faktor lain seperti: cara
penulisan yang dipakai si pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu
penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang.
Psikologi
Dalam
memilih bahan pengajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis hendaknya
diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minta dan
keenggaan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologi ini juga
sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas,
kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan situasi atau pemecahan problem.
Latar
Belakang Budaya
Biasanya
anak akan lebih mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang
yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila
karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka atau
yang memiliki kesamaan dengan mereka.Dengan demikian secara umum hendaknya guru
sastra memilih bahan pengajaran dengan menggunakan prinsip yang mengutamakan
karya-karya sastra yang latar ceritanya dikenal anak. Karya-karya sastra dengan
latar budaya sendiri yang dikenal anak, akan membantu anak untuk memahami
budayanya sendiri.
Cerita pendek
menurut Edgar Allan Poe (dalam Nurgiyantoro,
1995: 10) adalah sebuah cerita
selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai
dua jam. Cerita pendek (cerpen) adalah bagian dari sastra yang memiliki
nilai estetik yang mengandung unsur-unsur kehidupan
masyarakat. Bersama unsur intrinsik dan ekstrinsiknya yang membentuk kesatuan,
sastra (cerpen) memancarkan estetikanya sehingga dapat dinikmati penikmatnya.
Medium sastra adalah bahasa. Kelebihan Cerpen atau cerita pendek adalah
kemampuannya mengemukakan secara lebih
banyak secara implisit dari sekadar yang diceritakan. Memahami
sebuah cerita pendek adalah bagian dari
kegiatan menikmati karya sastra secara lebih mendalam dan lebih serius. Karena
di dalam cerita pendek terdapat cerita atau kisah secuil
dari kehidupan yang bermakna.
Sebagai
karya sastra, cerita pendek mengandung makna yang perlu diiterpretasikan.
Seperti yang dikatakan Budi Darma (2004:47) bahwa karya sastra yang merangsang
pembaca untuk menafsirkan atau menginterpretasikan karya sastra itu disebut
sastra serius atau interpretative
literature. Penikmatan karya
sastra tidak lepas dari memahami unsur-unsur
yang membangun karya sastra
itu sendiri, diantaranya
adalah tokoh, karakter, alur, setting, dan amanat. Tokoh dalam
karya sastra merupakan salah satu unsur penunjang dalam keberhasilan cerita. Lewat
tokoh pula, pengarang dapat mempengaruhi pembaca untuk menerima ide-ide
pengarang. Menurut Budi Darma (2004:47). bahwa kendati masing-masing
pengarang/sastrawan mempunyai gagasan dan tujuan masing-masing, pada dasarnya
fiksionalitas tidak dapat
membebaskan diri dari; (a). masalah nasib; (b). masalah
keagamaan, kepercayaan perlindungan dan keselamatan; (c).
masalah alam; (d). masalah manusia (e). masalah masyarakat.
Menurut
Ratna (2007:39) bahwa hasil karya
manusia selalu dalam
kondisi interdependensi, tetapi bukan dalam hubungan substansial melainkan
fungsional. Secara fungsional sastra berhubungan dengan karya seni yang lain,
berhubungan juga dengan agama, mitos, filsafat, ilmu pengetahuan, arsitektur,
politik, ekonomi, dan sebagainya. Karya sastra harus dipahami sesuai dengan
hakikatnya.
Dengan
demikian cerita pendek adalah dunia fiksi yang digambarkan pengarang
seolah-olah menyerupai dunia sesungguhnya. Sehingga cerita yang mengalir dan
terjalin itu seolah panggung kehidupan. Adanya cerita seperti layaknya
kehidupan nyata itu
tidak dipungkiri bahwa segala
yang terjadi dalam dunia nyata dapat tercakup dalam karya sastra. Seperti yang
dikatakan oleh Ratna (2007: 77) bahwa
hubungan sosial menjelaskan genesis karya sebagai salah satu akibat interaksi berbagai
interaksi yang terjadi. Karya sastra
adalah respon-respon interaksi
sosial.
Cerita
pendek dengan segala variasinya memberi sumbangsih pemikiran bagi pembaca sehingga dapat lebih bijak dalam mengarungi
kehidupan. Menurut Sastrowardoyo (1999:57) bahwa karya sastra tidak memberikan
rumus-rumus berharga bagi intelektual, tetapi lebih menyarankan berbagai
kemungkinan moral, sosial, dan psikologis, mendorong kemampuan pikiran untuk
merenung, bermimpi, dan membawa
pikiran ke semua macam situasi
dan dibentuk oleh pengalaman-pengalaman imajinatif. Dan dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa cerita pendek yang sarat dengan permasalahan perlu
diinterpretasikan. Cerpen dengan segala kreasinya tersebut merupakan ide
cemerlang pengarang sebagai kepedulian terhadap keadaan sosial.
Pengembangan
bahan ajar menulis cerpen dengan strategi pemodelan adalah bahan ajar yang
menyajikan materi, latihan, dan berbagai pemodelan/contoh cerpen yang
diharapkan dapat membantu anak dalam menulis cerpen yang memfokuskan pada
pengembangan peristiwa dan tokoh. Peristiwa dan tokoh merupakan unsur cerpen
yang saling berhubungan, yang juga tidak terlepas dari unsurunsur yang lain,
seperti latar, gaya, sudut pandang, dan tema. Berdasarkan hal tersebut, secara
implisit unsur cerpen peristiwa dan tokoh dalam bahan ajar menulis ini saling
berhubungan dan saling menghidupi.
Dan
dalam pembelajaran menulis cerpen, tidak terlepas dari bimbingan guru sehingga anak
mampu memilih tema, mengembangkan ide pokok, mengembangkan tokoh baik langsung
maupun tidak langsung, mengembangkan peristiwa, menyusun draf yang dikembangkan
dari kerangka, dan mengedit naskah cerpen atau merevisi. Kegiatan menulis
cerpen dengan strategi pemodelan dalam bahan ajar bertujuan agar anak mengalami
proses dalam beberapa tahapan kegiatan belajar. Tahapan kegiatan yang dilewati
itu meliputi; (1). memilih topik; (2). mengembangkan ide pokok; (3).
mengembangkan tokoh baik langsung maupun tidak langsung; (4).
mengembangkan peristiwa; (5). menyusun kerangka; (6). menulis
cerpen; (7). mengedit atau merevisi.
Atas
dalih pengajaran apresiasi cerpen di sekolah-sekolah, mulai dari tingkat SD
sampai dengan SMA belum memenuhi harapan. Situasi dan kondisi pengajaran
apresiasi cerpen di sekolah yang hanya didominasi oleh pemerian pengetahuan tentang
cerpen, sejarah cerpen, dan belum mengarah pada kegiatan belajar yang
apresiatif. Sebenarnya yang dituntut pada kurikulum baik 1994 maupun 2004,
yaitu peningkatan kemampuan anak mengapresiasi cerpen yang tidak sekadar
dibekali dengan pengetahuan dan sejarah cerpen, melainkan juga pemberian
pengalaman kreatif mencipta cerpen.
Apabila
diamati secara cermat menurut perspektif penulis, ada empat kecenderungan yang
memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi pengajaran apresiasi cerpen di
sekolah. Pertama, pengajaran apresiasi cerpen masa kini lebih didominasi
dan cenderung mengarah pada sejarah dan teori cerpen. Kedua, pengajaran
apresiasi cerpen anak didik kurang diberi kesempatan meresapi dan mereaksi
karya cerpen. Ketiga, ada jarak antara pengajaran apresiasi cerpen dan
perkembangan cerpen. Keempat, dalam pengajaran apresiasi cerpen anak didik
kurang diberi kesempatan untuk berlatih mencipta cerpen.
Guru
dalam hal ini berkewajiban menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif
dalam kegiatan belajar-mengajar apresiasi cerpen. Situasi dan kondisi yang
kondusif adalah memungkinkannya anak untuk dapat bersikap reseptif, reaktif,
dan aktraktif di dalam kegiatan belajar-mengajar apresiasi cerpen.
Maka
dengan strategi pengajaran re-kreasi, kiranya menjadi alasan tepat.
Mengingat pelbagai pengalaman yang telah terjadi, seperti yang sudah dipaparkan
di atas. Istilah re-kreasi dapat diartikan sebagai upaya
“penciptaan kembali”. Strategi re-kreasi dalam pengajaran
apresiasi cerpen merupakan penerapan teknik penciptaan kembali dalam kegiatan
belajar-mengajar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mencipta cerpen
berdasarkan unsur-unsur yang terdapat di dalam cerpen lain yang pernah dibaca.
Istilah re-kreasi ada hubungannya dengan strategi strata.
Strategi strata tersebut meliputi tiga tahap; (1). tahap penjelajahan; (2).
tahap interpretasi; (3). tahap re-kreasi.
Kegiatan-kegiatan
yang dapat dilaksanakan pada tahap re-kreasi dalam pengajaran cerpen
adalah; (1). penciptaan kembali sebuah cerpen berdasarkan tema cerpen
lain yang pernah dibaca; (2). penciptaan kembali sebuah cerpen
berdasarkan nada pada cerpen lain yang pernah dibaca anak; (3).
penciptaan kembali sebuah cerpen berdasarkan suasana cerpen lain yang telah
dibaca anak; (4). penciptaan kembali sebuah cerpen berdasarkan latar cerpen
lain yang telah dibaca anak; (5). penciptaan sebuah parafrase,
penyaduran, dan penerjemahan cerpen ke dalam bentuk lain.
Berdasarkan
tema, strategi re-kreasi sebuah cerpen dapat dilakukan berdasarkan
tema cerpen lain. Dan diharapkan pula dapat menunjang keterampilan berbahasa
siswa, baik kemampuan berbahasa maupun kemampuan bersastra (mendengar,
berbicara, membaca, menulis). Penciptaan kembali sebuah cerpen berdasarkan
persamaan tema cerpen lain juga dapat mengembangkan cipta, rasa, dan karsa
siswa serta menunjang pembentukan watak. Demikian pula berdasarkan unsur-unsur
instrinsik lainnya.
Re-kreasi
dan
rekreasi sebagai sebuah alternatif. Cerpen sebagai karya kemanusiaan yang
kreatif, imajinatif, dan sugestif dapat berfungsi memberikan pengaruh positif
terhadap cara berpikir orang mengenai baik dan buruk, mengenai benar dan salah,
dan mengenai cara hidupnya sendiri serta bangsanya (Suyitno, 1986). Konteks
kalimat tersebut bermakna bahwa fungsi cerpen dalam kehidupan manusia jauh dari
hal-hal yang bersifat kebendaan. Dengan demikian kegiatan belajar-mengajar
apresiasi cerpen selain bisa diarahkan pada
kegiatan re-kreasi (penciptaan kembali), hendaknya juga memberikan
rekreasi imajinatif yang bersifat spiritual. Yang kemudian, dengan langkah awal
re-kreasi. Pelbagai macam pembiasaan diri dalam mengawali penulisan
cerpen, selanjutnya menjadi stimulus bagi penulisan cerpen yang orisinal dan
otentik.
Pustaka
Ampera,
Taufik. 2010. Pengajaran Sastra Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis
Aktivitas. Bandung: Widya Padjadjaran.
Darma, Budi.
2004. Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Kemendiknas.
2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Kegiatan Naskah Bahan
Kerjasama, Informasi dan Publikasi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Dasar Kementrian Pendidikan Nasional.
Nugiyantoro, Burhan.
1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rahmanto,
B. 1996. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Ratna, Nyoman Kuntha.
2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sastro wardoyo,
Subagio. 1999. Sekilas Soal sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka
Suyitno. 1986. Sastra,
Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
Tarigan,
H.G.. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
No comments:
Post a Comment