February 1, 2015

Birokrasi Secawan Kopi


            Demi mendapati secawan kopi di sepeninggal pagi tanpa meninggalkan kursi, sekiranya hati mesti rela bersabar mengemil satu sistem birokrasi terlebih dulu.Atas kesadaran antropologi budayayang kau punya, pemesanan cawan bisa saja dilakukan dengan panggilan dari telepon genggam (itu kalau kau seorang Pesohor).Tapi jikalau kau seorang adiluhung atau bahkan hanya seorang pesuruh yang mudah saja terpengaruh, bikin sajalah sendiri.Sila bereksplorasi sesuai selera hati, tanpa khawatir diracuni.
            Yang paling pertama dan utama dalam membikin secawan kopi, pastikan bubuk kopi dan air panas telah siap tergenapi.Jika tidak,ngopisajasecara fiksi. Mari.Dan tentang korelasi cawan atau cangkir sebagai wadah yang classy, usah resah terlampau dipikirkan. Cukup kemasan bekas air mineral atau serupa penutup termos yang digunakan, maka jadilah kitangopi sambil berfantasiuncang-uncang kaki.

Fotogenik Lakonik
Selayang pandang teori tentang ngopi,pria kelahiran Solo (Jawa Tengah) pada 07 Nopember 1935 ini lebih suka membikin kopinya sendiri.Terbukti,ketika seorang Willibrordus Surendra Broto Rendra atau Wahyu Sulaiman Rendra (Kompas, 08 Agustus 2009) menjawabpermintaan wartawan Gamma (21 Nopember 1999:79) untuk mendeskripsikan dirinya (yang sekaligus seorang dramawan dan teaterawan itu) dengan sepatah kata.Dan Rendramenjawab dirinya sebagai seorang“penyair!”. Pengakuan ini tentu senada dengan mutu yang dimiliki seorang Rendra, terhitung hingga millennium ketiga---ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ke-64---wartawan majalah berita itu menyebut bahwa ia telah berkarya selama empat puluh empat tahun (Gamma No 39, hlm 78). Yang sejatinya, ia sudah berkarya 3 tahun lebih lama dari perhitungan majalah tersebut. Tercatat sejak usia sembilan belas tahun, sebuah karya lakonnya Orang-orang di Tikungan Jalan memenangkan hadiah pertama dari bagian Kesenian Departemen P dan K, Yogyakarta, di tahun 1954. Meskipun begitu, sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan Balada Orang-orang Tercinta ditulisnya ketika ia masih berusia tujuh belas tahun---yang kemudian pada tahun 1957 kumpulan puisi masa SMA-nya tersebut menangkan anugerah hadiah dari Dewan Kesenian Nasional. Bahkan kian jauh dari perhitungan majalah tadi (Si Burung Merak oleh Bakdi Soemanto: Kompas, 01 Januari 2000).

Alinea Kornea
Pengkajian antropologi sastra sangatlah mungkin dilakukan, dalam hal ini dapat dilakukan pada ketokohan atau karya-karya sastranya; prosa; puisi; dan drama.Mengingat sastra tak melulu mengandung unsur yang bersifat naratifdengan segala pirantinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat sosiologis, psikis, historis, maupun antropologis---sekalipun Willy (sapaan akrab Rendra) disebut sebagai avent-garde atas puisi-puisi naratifnya yang menggali dan berkisah di tengah dominasi liris, seperti yang pernah disebut oleh Dahono Fitrianto dalam Rendra dan Ajaran Kepeduliannya (Kompas, 16 Agustus 2006). Hipotesa ini diperkuat oleh argumentasi bahwa sastra bersifat terbuka, artinya seorang pengarang memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan segala aspek kehidupannya (kehidupan dalam kepenyairannya .pen) ataupun kehidupan masyarakat di sekitarnya---dalam kaitan ini melalui media bahasa.Oleh karena itu, sastra bisa saja dibahas melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia atau masyarakat.
Pembicaraan sastra dari sudut antropologimerupakan hal yang jarang dalam kajian sastra.Pendekatan antropologi terhadap sastra sebenarnya sudah pernah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh aktor intelektual bernama Claude Levi-Strauss (1963:206).Aktor ini pada awalnya banyak membaca buku-buku filsafat. Ia tertarik pada ilmu Antropologi setelah membaca buku Primitive Society karya Robert Lowie (Ahimsa Putra, 1977:x), ia melakukan pengkajian secara struktural terhadap mitos dengan teori oposisi binernya. Sejatinya, hal yang samapula bisa diterapkan pada sastra modern, seperti: prosa, puisi, atau drama. Seperti yangterdapat dalamdua pengkajian mendalam yang dilakukan oleh Kris Budiman berjudul Claude Levi-Strauss di Hadapan Maria Zaitun dan Liminalitas Maria Zaitun (Budiman, 1994: 14-40). Dua penelitian tersebut mengambil objek yang sama yaitu satu puisi panjang Willy yang berjudul Nyanyian Angsa dengan dua teori yang berbeda, yang pertama menggunakan Strukturalisme Strauss dan yang kedua menggunakan Liminasi-nya Turner.
Lahirnya pendekatan antropologi sastra sebagai prosesi mendapati secawan kopi tadi, didasarkan atas kenyataan bahwa: (a) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek yang penting; (b) baik sastra maupun antropologi mempermasalahkan relevansi manusia dengan budaya, dan (c) baik antropologi maupun sastra sama-sama mempermasalahkan tradisi lisan atau sastra lisan, seperti : mitos, dongeng, dan legenda menjadi objek kajiannya (Kutha Ratna, 2004:352). Kesanggupan ketiga kenyataan tadi, dapat dibaca sajak-sajak Willy yang menghadapkan kita pada citra atau pengertian yang terlukiskan dalam citra yang amat dekat dengan panca indera (lihat Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat oleh Ignas Kleden: Kompas, 12 Agustus 2009). Dalam hal seni kata dan menciptaia memang jagonya, hampir di setiap jenis sastra: semisal puisi, cerita pendek, lakon, esai, uraian bagaimana bermain drama, serta teks iklan, dan novel sebagai pengecualian.
Balada Orang-orang Tercinta adalah kumpulan puisi yang bercerita, sementara cerpen-cerpennya, sepertiIa Sudah Bertualang, Hutan Itu, Dua Jantan, dan beberapa lainnya tak hanya merupakan fiksi pendek yang bercerita, tetapi sekaligus menyentuhkan tenaga ke-puitis-annya sejak usia yang sangat muda. Karakteristikyang khas baik dari pilihan diksi maupun gaya. Hal tersebut sebagaimana diakui sendiri oleh Willy adalah pengaruh dari tembang dolanan Jawayang mempunyai kelincahan-kelincahan image yang asosiatif (Haryono, 2005: 63).Sementara mengenai diksi yang digunakannya, Willy sendiri mengatakan bahwa kekuatan sebuah puisi bukanlah terletak pada kalimat-kalimat yang njlimet, tetapi pada kalimat-kalimat yang ditulis dengan sederhana dengan daya ungkap yang sederhana pula (Maulana, 2009: 20-21).
Willy, mula-mula menerima undangan dari Kementerian Luar Negeri Amerika (DR. Henry Kissinger) untuk mengikuti seminar di Harvard(Rendra, 1998: i), kemudian ia lanjutkan dengan mendaftarkan diri ke New York, guna menuntut pelajaran teater secara formal di America Academy of Dramatic Arts selama tiga tahun (Si Burung Merak oleh Bakdi Soemanto: Kompas, 01 Januari 2000). Kemudian dia masuk sebentar di Jean Erdman School of Dance,mengikuti penyutradaraan di University of New York, membaca-baca buku mengenai sosiologi, dan kembali ke Indonesia menjelang akhir 1967 (Haryono, 2005: 94). Dengan pola-pola yang ia kantongi selama masa studi, menggugah kegelisahan Willy untuk membuka semacam program studi teater di Fakultas Sastra UGM.Namun patut disayangkan, keinginan itu tak lekas terlaksana. Maklum Orba, pendidikan teater merupakan bagian dari seni pertunjukan juga. Hinggalah sepulang dari Amerika, Willy pun coba menawarkan diri untuk membenahi Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film).Tapi kembali, gagasan itutak jua menemukan kecocokan.
Tampaknya, dua kegagalan tadi tak lantas menyurutkan niat Willy dalam menggugat suasana gawat seni drama moderen di Indonesia.Pengalamannya selama studi di AS itu, telah membuka kesadarannya,bahwa yang pertama dan utama adalah membenahi calon-calon aktor.Hal ini seperti yang telah tertuang dalam makalahnya yang berjudul Menyadari Kedudukan Drama Modern di Indonesia,Willymemulai khotbahnya di Sonobudaya (Yogyakarta) yang diselenggarakan oleh Studi Mantika.Ia menuliskan bahwa perlu diadakan kompromi dalam hal memilih pemain yang dapat memberikan dedikasi secara professional, ia juga menuliskan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kebudayaan lisan---tradisi lisan dalam hal ini memang merupakan hasil budayadan berkembang dalam suatu masyarakat. Yang kemudian ia realisasikan dengan membentuk grup teater bernama Bengkel Teater.Waktu itu masih beranggotakan Moortri Purnomo, Chaerul Umam, Azwar AN, dan Bakdi Soemanto.
Berbekal kepulangan dari studinya di Amerika pada tahun 1964, Willy memperkenalkan bentuk latihan, lakon pendramaan, improvisasi, yang belum dikenal sebelumnya.Dan seiring pola-pola latihan terus berjalan, mulai berdatangan teman-teman teaterawan untuk ikut bergabung, antara lain Putu Wijaya, Amak Baljun, Entik dan lain-lain.Pola-pola latihan kian meningkat, mulai dariekplorasi gerak tubuh, lakon dengan cara-cara yang spontan, hingga sikap-sikap bahasa non-verbal.Dan pada titik inilah---dengan juga asosiasi dolanan jawa semasa kecil, Willy berhasil menyangkal dominasi tradisi lisan di Indonesia.Suatu langkah baru dalam jagat teater di Indonesia, yang oleh GM (Goenawan Mohammad),menamainya sebagai Teater Mini Kata, dan tentang apa yang dimaksudkan oleh GM adalah posisi teater mini-kata sebagai teater avant-garde, sebagaimana ciri khas gerakan avant-garde lainnya mengejutkan, tampak dengan sengaja mencari keributan, dan juga hasrat untuk memberontak pada lingkungannya (Mohamad, 1981: 139). Pun beberapa pengamat lain senada menamai mereka dengan sebutan masing-masing. Taufik Ismail menyebutnya sebagai Teater Puisi; dan Arifin C. Noer menyebutnya sebagai Teater Murni.

Alinea Rasa
Seperti telah diketahui, bahwa pendekatan antropologi sastra dalam kajian sastra adalah suatu hal yang baru.Menyebabkan, sedikitnya temuan teori-teori tentangantropologi sastra tersebut.Hal ini mungkin juga karenadominasi pendekatan sosiologi sastra karena menganggap bahwa hal-hal yang bersifat antropologis dalam sastra merupakan wilayah kajian sosiologi sastra.Atas kelangkaan tersebut, maka dalam kajian antropologi sastra pada tulisan ini hanya mengacu pada pandangan-pandangan Prof. Dr.I Nyoman Kutha Ratna saja yang dipakaisebagai pijakan.Pandangan-pandangannya tersebut ada dalam bukunya berjudul Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (2004).
Willy, dalam menghadapi alam, kesenian ataupun seni baginya adalah pekerjaan yang tak ubahnya dengan bercocok tanam, berkantor, atau berdagang. Posisi terhadap alam menempatkan dirinya dalam pelbagai persoalan-persoalan yang muncul; dengan segala ketegangan hubungan  masyarakatnya dan dirinya. Dalam Doa Orang Lapar, Willy berkata: O Allah,/Kelaparan adalah burung gagak/jutaan burung gagak/bagai awan yang hitam/ menghalang pandangku/ ke sorgaMu! Maka lahir kegelisahan metafisik yang membawa penyair kepada lirik, yang menerjemahkan gerak-gerik alam, dan gerak-gerik lahiriah bermetamorfosa menjadi gerak-gerik batin (Ignas Kleden pada Kata Pengantar dalam Buku Rendra, Ia Tak Pernah Pergi).
Antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat (Kutha Ratna, 2004: 63).Manusia dalam konteks ini tentu saja manusia sebagai individu yang membentuk suatu kebudayaan, bukan manusia sebagai mahluk sosial dalam masyarakat, yang nantinya melahirkan pendekatan sosisologi sastra.Masih dalam (Kata Pengantar Ignas Kleden) hubungan dengan masyarakat lahir kegelisahan politis, yang membawa penyair kepada dramatik, intensifkan gerak-gerik batin menjadi laku lahiriah dalam proporsi yang dilebih-lebihkan: Tanganku mengepal/ ketika terbuka menjadi cakar/ aku meraih ke arah delapan penjuru (sajak Tangan). Sedangkan dalam berhadapan dengan dirinya, lahir kegelisahan eksistensial yang dapat diungkapkan secara liris maupun secara dramatis. Dalam sajak Bumi Hangus Willy berkata: Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ kita harus pergi ke mana, di mana rumah kita?Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ bimbang kalbu oleh cedera/ Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ hari ini maut untuk siapa?
Sebagaimana dijelaskan oleh Yule, kata budaya mengacu pada semua gagasan dan anggapan tentang sifat dasar benda-benda dan manusia yang kita pelajari ketika kita menjadi anggota dari sebuah kelompok sosial (Yule, 2006: 216).Kata budaya, demikian dapat diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh secara sosial. Reaksi seseorang yang dijawantahkan berupa bahasa dapat muncul dari rangsangan yang didapatkannya dari persentuhannya dengan orang lain yang tergabung dalam sebuah masyarakat. Pengertian budaya menurut Yule tersebut di atas hanyalah satu dari sekian banyak pengertian budaya.Pengertian tersebut di atas mendekati dengan pengertian kebudayaan yang diajukan oleh Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu(Koentjaraningrat, 1983: 9). Berdasarkan definisi yang diajukannya, Koentjaraningrat kemudian membagi wujud kebudayaan menjadi 3: (a) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (b) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. (c) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dengan adanya tiga wujud kebudayaan ini, maka wujud rangsangan terhadap seseorang yang mempengaruhi reaksi bahasa pun dapat disimpulkan berupa hal-hal yang tercakup dalam tiga wujud tersebut.
Antropologi sastra memberi perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya (Kutha Ratna, 2004: 353-357).Artinya, antropologi sastra mengkaji sastra dengan memperhatikan teori dan data-data yang bersifat antropologis yang ada di dalamnya.Dalam konteks yang lebih operasional, dapat disimpulkan bahwa pengkajian antropologi sastra terhadap sastra adalah dengan berusaha melihat perjalanan atau sikap individu tokoh cerita yang mewarnai dan pengungkap budaya masyarakat tertentu yang terkandung dalam kesastraan itu sendiri.
Dalam tulisan ini, dibahas sebuah sajak berjudul Nyanyian Angsa karya Willy yang dimuat dalam kumpulan puisinya yang berjudul Blues Untuk Bonnie (1981:32--40). Sajak ini merupakan salah satu sajak yang berwacana tentang kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana halnya sajak-sajaknya yang lain.Bila dilihat dari sudut antropologis, maka tampak bahwa sajak Nyanyian Angsamengandung nuansa antropologis.Hal ini tergambar dari perjalan kehidupan tokoh Maria Zaitun sebagai seorang pelacur yang sudah tak menarik lagi.Sebagaiseorang individu yang sedang mencari jati diri sebagai makhluk Tuhan,ditugasi oleh penyair untuk mengeksplorasi aneka budaya kehidupan manusia yangsenantiasa bersifat kontradiktif. Dalam sajak itu tersiratbermacam pertanyaan yang bersifat filosofis, tentang apa dan bagaimana sesungguhnya hidup itu.Sampaiakhirnya, pada tepian sebuah sungai, dalam kelelahan setelah mengalami pelbagai penolakan demi penolakan.Sebagai simbolik ritual keagamaan, Maria Zaitun mulai meminum air yang mengalir di sungai itu, lalu membasuh muka, tangan, besertakakinya.Membersihkan diri dari segala dosa, merenungi perjalanan hidupnya. Hingga bertemulah ia dalam cumbu pelepasan dosa dengan sosok lelaki yang tampan. Dipercayai oleh Maria Zaitun sebagai Juru Selamat, atas pemaknaan bekas luka penyaliban sang Kristus.

Alinea Telinga
Di samping itu, persinggungan antropologis sajak-sajak Willy dengan pola diksi-diksi tabu yang digunakan dalam kumpulan sajak-sajaknya. Di mana bahasa dan budaya, telah dipahami sejak lama sebagai dua elemenyang  berkaitan erat. Semisalnya dalam buku Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Koentjaraningrat, 1983: 2) menjelaskan bahasa sebagai salah satu dari tujuh unsur universal kebudayaan.Dan dalam beberapa sajak yang telah dimuat dalam antologi-antaloginya tersebut, dapat ditemukanbeberapa diksi tabu.Semacam tetek, mengobel klentit, berak, dan babu.Pun diksi-diksi serupa dapat pula ditemukan pada sajak-sajak dalam antologi-antologiyang sebelumnya. Seperti, Blues Untuk Bonnie dan Sajak-sajak Sepatu Tua.Pemilihan diksi tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan:Mengapa dalam sajak-sajak Willy, banyak bermunculan diksi-diksi yang dalam khazanah leksikon bahasa Indonesia merupakan hal yang tabu?Apakah hal tersebut ada kaitannya dengan persentuhan Willy dengan budaya Amerika di pasca studinya tersebut?
Timbulnya penggunaan diksi tersebut---dalam kaitannya dengan kondisi sosial budaya di Amerika---dapat dipahami dengan memilah kesembilan antologi puisi Willy, yang dua di antaranya (Balada Orang-orang Tercinta: 1957, dan Empat Kumpulan Sajak: 1961)diterbitkan sebelum dia berangkat ke Amerika dan tujuh sisanyaditerbitkan setelah dia pulang dari sana. Dan berikut daftar antologipuisi tersebut (Rahman, 2009: 36); (a) Blues Untuk Bonnie (1971); (b) Sajak-sajak Sepatu Tua (1972); (c) Nyanyian Orang Urakan (1985); (d) Potret Pembangunan Dalam Puisi (1983); (e) Disebabkan Oleh Angin (1993); (f) Orang-orang Rangkasbitung (1993); dan (g) Perjalanan Bu Aminah (1997).
Istilah tabu berarti bentuk tingkah laku yang dilarang. Kata ini berasal dari kata Polynesia tapu. Istilah ini sekarang digunakan dengan lebih umum, terutama merujuk pada beberapa pokok-permasalahnan (misalnya kematian, politik), atau bahasa (misalnya menyumpah, kecabulan) yang dihindari orang-orang (Crystal, 2000: 842). Dan dalam tataran bahasa, kata-kata yang dianggap tabu adalah kata-kata yang dianggap berbahaya, suci, berdaya magis, atau mengejutkan dan biasanya diucapkan hanya dalam situasi tertentu atau oleh orang-orang tertentu (Swan, 1996: 573).
Dalam melakukan pembagian kategorisasi kata-kata tabu, bahasa Indonesia cenderung memiliki kesamaan dengan kategorisasi dalam bahasa Inggris yang sebagaimana diungkapkan oleh Michael Swan memiliki tiga kategori (Swan, 1996: 573).Pembagian tersebut adalah:
1)      Kategori kata yang berkaitan dengan simbol keagamaan.
  •  Kata ‘Tuhan’ dalam sajak Mazmur Mawar Willy yang dimuatdalam antologiSajak-sajakSepatu Tua, imaji yang bertentangan dengan arti leksikal: Dan sekarang saya lihat Tuhan sebagai orang tuarenta.
  • Kata ‘Malaikat’ dalam sajak Pemandangan Senjakala yang dimuat dalam antologi Blues Untuk Bonnie, penggambaran sifat manusia yang memiliki syahwat atau berahi atas malaikat merupakan sesuatu yang terkesan tidak pada tempatnya: Dan menggairahkan syahwat para malaikat dan kelelawar.

 2)      Kategori kata yang berkaitan dengan aktifitas seksual dan anggota tubuh tertentu.
  •  Kata ‘Tetek’ pada sajaknya---sebelum kepergiannya ke Amerika, Willy biasa menggunakan kata payudara dan susu---dapat ditemukan dalam Sajak Gadis dan Majikan yang dimuat dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi: ketikatuan sikut tetekku.
  • Kata ‘Mengobel’ dan ‘Klentit’ dalam sajak SLA yang dimuat dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi, merupakan leksikon dari bahasa Jawa yang berarti menempelkan jemari seseorang pada anus atau vagina seseorang (Stevens, 2009: 509) dan klentit (atau kata bakunya dalam bahasa Indonesia adalah kelentit) bermakna daging atau gumpal jaringan kecil yang terdapat pada ujung atas lubang vulva (lubang pukas) (Sugono, 2008: 716) dan kata ‘Klangkang’ dalam sajak Nyanyian Angsa dalam antologi Blues Untuk Bonnie, merupakan bagian tubuh di antara kedua pangkal paha (Sugono, 2008: 713). Dan berkonotasi seksual, yang dalam bahasa Jawa Kangkang (Stevens, 2009: 445) mengesankan pada imaji persetubuhan;Murid-murid mengobel klentit ibugurunya; penuh borok di klangkang
  • Kata ‘Lonte’ dalam satu baris sajak Kesaksian yang dimuat dalam antologiBlues Untuk Bonnie, merupakan leksikon dari bahasa Jawa (Stevens, 2009: 593). Kata ini memiliki tingkat kekasaran yang sama dengan sundal dan cabo. Kata yang agak sopan untuk merujuk makna yang sama adalah pelacur (darikata lacur) dan PSK (Pekerja Seks Komersial), sementara kata yang dianggap paling sopan adalah WTS (Wanita Tuna Susila): Sebagai lonte yang merdeka (Rendra, 1993:17)
  • Kata ‘Beha’ dalam Sajak Gadis dan Majikannya yang dimuat dalam antologiPotret Pembangunan dalam Puisi dan kata ‘Kutang’ dapat dalam sajak Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta yang dimuat dalam antologiBlues Untuk Bonnie, merupakan serapan dari bahasa Portugis(Stevens, 2009: 541) dan merujuk pada baju dalam wanita yang digunakan untuk menutupi payudara (Sugono, 2008: 848), dengan kata lain istilah ini adalah istilah yang jarang digunakan sebab menyangkut bagian dalam tubuh perempuan yang pembicaraan tentangnya bisa dianggap tidak sopan. Kata ini memiliki sinonim beha (berasal dari bahasa Belanda, bustebouder) (Stevens, 2009: 107) dan coli (berasal dari bahasa Hindi kuno). Kata beha dianggap sebagai kata yang dipergunakan dalam percakapan (Sugono, 2008b: 270) meski demikian, penggunaan kata ini sendiri bersama seluruh sinonimnya tetap mengesankan tidak sopan sebab alasan yang sudah dijelaskan di awal dan orang cenderung menggunakan istilah baju dalam dalam kondisi harus merujuk pada benda tersebut;Uang yang tuan selipkan ke behaku;Sambil ia buka kutangmu (Rendra, 1993: 19). 

3)      Kategori kata yang berkaitan dengan pembuangan ampas dari dalam (dan anggota) tubuh.
  • Kata ‘Berak’ dalam Sajak Sebatang Lisong yang dimuat dalam antologi Potret Pembangunan Dalam Puisi, merupakan leksikon yang cenderung berkonotasi negatif: Di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka.

Sejauh mana kenyataan ini mempengaruhi pandangan Willy, dapat dilihat dari sajak Blues Untuk Bonnie dan Rick Dari Corona, dua sajak yang dibuatnya ketika dia sedang melakukan studi di sana. Sajak Blues Untuk Bonnie mengisahkan mengenai para negro yang pada hari Minggu pergi ke gereja (sebagai indikator bahwa mereka termasuk beragama) dan pada hari yang lain hanya duduk mabuk-mabukan dan beromong kosong (Haryono, 2005: 101). Sajak kedua bercerita tentang Rick yang suka mencatut karcis, mencandu, dan menderita sakit kelamin dan Betsy, seorang pelacur kulit hitam.
Dari dua sajak itu, tampak bahwa Willy tak memposisikan diri menganggap sosok-sosok tersebut (pemabuk, pelacur, pecandu) sebagai orang jahat. Ada nada menghargai dalam sajak-sajaknya yang sebagaimana dikatakan dalam salah satu sajak yang lain bahwa mereka semua juga berasal dari kemah Ibrahim (Rendra, 1998: 3). Kenyataan bahwa para negro itu dilukiskan beragama tapi juga bermabuk-mabukan mengisyaratkan pemisahan agama dan hal-hal duniawi yang disebut sebagai sekularisme, sementara sosok kulit hitam sendiri sebagaimana disebutkan oleh Aveling adalah simbol kebebasan pribadi dan kebebasan seksual (Haryono, 2005: 102).
Kata-kata tabu yang digunakan Willy dalam sajak-sajaknya seusai studinya di Amerika, kebanyakan merupakan kata-kata tabu yang berkaitan dengan seksualitas.Dengan demikian tampak bahwa ada hubungan antara hal tersebut dengan pandangan yang longgar terhadap seksualitas di Amerika. Wujud pertama kebudayaan sebagaimana telah dijelaskan Koentjaraningrat (sebelumnya di paragraph terdahulu .pen) berupa suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya telah menjadi stimulus yang kemudian memunculkan respon dalam bentuk bahasa berupa kosa kata tabu yang dituangkan WS Rendra dalam sajak-sajaknya pasca-studinya.

Maka. Sebelum fantasi terlalu pagi mengkhianati. Sebelum rotasi terlalu dini mengebiri uncangan kaki. Sebelum kopi mengering jadi ampas kopi. Dan menolak kembali terisi jadi secawan kopi.Izinkan ia untuk menuang dirinya sendiri. Berbincang dalam ruang ketidakmungkinan. Sambil menyesap sengkarut tragedi di tiap sudut antropologi. Hingga tiba kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

No comments:

Post a Comment