July 19, 2015

Sebuah Romantika Klise

Pada dongeng maupun fabel, seusai pembaca menyelesaikan bacaannya acapkali hanya memiliki satu simpulan utuh. Semisal dalam pelbagai serial dongeng anak, fabel Si Kancil dan Buaya. Yang dengan kecerdikan kancil, posisikan Buaya selalu kalah dan tertipu. Demikianlah yang selalu diajarkan guru pada muridnya, pembaca pada pendengarnya−meski dalam realitasnya, Buaya tetap menjadi sosok yang menakutkan. Nilai-nilai “yang-sudah-mapan” tersebut, menjadi  formula dalam dongeng maupun fabel lainnya, seperti dalam Buaya Putih dan Buaya Hitam. Barangkali untuk fabel yang satu ini, tak banyak pembaca mengetahui tentang bagaimana ceritanya.
Tersebut suatu Istana Buaya, pada suatu masa hiduplah seekor Raja yang tinggal menjelang ajalnnya. Sementara banyak Rakyatnya yang masih bertarung dengan kelaparan, maka atas titah Sang Raja bergeraklah dua ekor Buaya sebagai diplomat kerajaan. Buaya Putih dan Hitam memiliki misi yang sama, yakni membagikan daging rusa kepada rakyatnya, dan memastikan semua terbagi dengan adil. Namun nampaknya Buaya Hitam tak menaati titah Sang Raja, ia malah melahap sendiri daging-daging rusa dan membiarkan rakyat terus kelaparan hingga menjelang kematian. Hal ini kemudian diketahui oleh Buaya Putih, mengakibatkan pertarungan hebat di antara keduanya. Hingga menghadaplah Buaya Putih kepada Sang Raja, laporkan semua ketamakan Buaya Hitam. Sampai kepada tiba ajal Sang Raja, amanatkan Buaya Putih sebagai penerus mahkota. Sementara Buaya Hitam, terjerat hukum dan harus bertafakur dalam jeruji besi hingga menjemput ajalnya.
Tanpa maksud memberi tanggapan atas fabel di atas, kembali nilai-nilai menjadi sebuah representasi moral sinar xerox. Hitam-putih penghakiman, menjadi begitu mudah ditasbihkan. Mungkin dengan sebab landasan didaktis-lah, dongeng maupun fabel anak mengalami keseragaman gaya penceritaan. Mendatangkan suatu masalah, dengan diikuti hadirnya sosok pahlawan nan agung.
Sebagian memilih pasrah, dan mengalami saja suatu stagnansi yang ada. Perasaan serupa, akhirnya hanya menguapkan sebuah kebosanan atau kejenuhan atas plot, alur, serta tokoh yang digunakan. Namun perlu pula disyukuri, adanya kesetiaan beberapa orang yang masih bertahan, dan memilih untuk tetap tinggal dalam varian-varian pada jenis prosa yang satu ini. Sebab sejatinya, apresiasi mesti tetap dijalankan. Menjadi sebuah sentilan sekaligus tegangan untuk para penulis dalam kreasikan penciptaan, serta membebaskan diri dari kungkungan penulis lama.
***
Kejenuhan serupa juga terjadi dalam kancah perpolitikan negeri. Bukan tentang Romantika Cicak dan Buaya, atau Kenakalan Komo yang bikin macet mobil nasional dan esemka, atau kisah persahabatan antar Pimpinan Garuda dan Banteng. Melainkan tentang suguhan dongeng tersebut, yang menawarkan kisah cinta dengan level manusia setengah dewa. Tak menentang tak pula mengamini ucapan Barthes sepenuhnya, bahwa “yang-sudah-sangat-jelas-sehingga-tidak-perlu-dikatakan-lagi”, suatu era “serba-tidak-jelas” inilah yang justru menyebabkan sebuah dongeng menjadi  kisah cinta yang rumit dan membosankan. Kita diposisikan seperti sedang mengoperasikan pesawat tempur dengan segala pirantinya, membaca kisah cinta penuh dengan manuver-manuver canggih atas plot, alur, serta tokoh.
Meski terkadang menelikung rasa dan logika, pembacaan kisah cinta tetap harus berlanjut dan diteruskan. Meski kejadian-kejadian buruk jadi semacam penguraian retorik yang membingungkan,  pengabaian terhadap uraian kisah cinta tak boleh terjadi, dan perlu dihindari sekalipun hanya dalam pikiran saja.
Terhadap tawaran dongeng, yang memuat kisah cinta dengan aksi tipu-tipu, lobbying, dan upeti. Cukuplah kiranya, dengan kita mengatakan bahwa kejahatan berkeliaran lebih nyata dari Tuhan. Sebab tak ada pentingnya menghakimi masa lalu dan apa yang tengah terjadi, serta tingkah lakon dan kejadian-kejadian buruk dalam diri seseorang. Penghakiman tetaplah merupakan bentuk kejahatan juga. Penghakiman boleh jadi hanya sebuah tindak kecerobohan.  Mengingat puncak kebaikan tertinggi tak terletak pada tingkah laku seseorang, melainkan bertunas dalam pikiran.
Dengan sedikit naif, saya tak bisa menafikan penghakiman akan tetap ada. Pembenaran-pembenaran teatrikal hadir bersama para pembaca dan analisator, yang terus berkicau dan membanyol tentang kekonyolan plot, alur, serta lakon tokoh yang tertawar di tiap kilasan dongeng maupun fabel.
Tanpa lebih dulu berdialektika, simpulan kisah cinta menjadi paranoia tersendiri. Seperti di banyak jejaring media sosial, penghakiman ditasbihkan dari atas ranjang; di stasiun-stasiun media massa, penghakiman ditasbihkan dari meja beranda. Menjadi suatu perpanjangan lengan atas ritualisasi pengagungan sinar-sinar xerox.

Mengingat tiadanya dunia yang begitu mudah untuk dihitam-putihkan, saya memilih untuk tetap tinggal menjadi seorang anak yang membaca dongeng. Meski acapkali patah hati, sebab tak bisa tidur nyenyak selagi menikmati kisah cinta. []

No comments:

Post a Comment