Pada
dongeng maupun fabel, seusai pembaca menyelesaikan bacaannya acapkali hanya
memiliki satu simpulan utuh. Semisal dalam pelbagai serial dongeng anak, fabel
Si Kancil dan Buaya. Yang dengan kecerdikan kancil, posisikan Buaya selalu
kalah dan tertipu. Demikianlah yang selalu diajarkan guru pada muridnya, pembaca
pada pendengarnya−meski dalam realitasnya, Buaya tetap menjadi sosok yang
menakutkan. Nilai-nilai “yang-sudah-mapan” tersebut, menjadi formula dalam dongeng maupun fabel lainnya, seperti
dalam Buaya Putih dan Buaya Hitam. Barangkali untuk fabel yang satu ini, tak
banyak pembaca mengetahui tentang bagaimana ceritanya.
Tersebut
suatu Istana Buaya, pada suatu masa hiduplah seekor Raja yang tinggal menjelang
ajalnnya. Sementara banyak Rakyatnya yang masih bertarung dengan kelaparan,
maka atas titah Sang Raja bergeraklah dua ekor Buaya sebagai diplomat kerajaan.
Buaya Putih dan Hitam memiliki misi yang sama, yakni membagikan daging rusa kepada
rakyatnya, dan memastikan semua terbagi dengan adil. Namun nampaknya Buaya
Hitam tak menaati titah Sang Raja, ia malah melahap sendiri daging-daging rusa
dan membiarkan rakyat terus kelaparan hingga menjelang kematian. Hal ini kemudian
diketahui oleh Buaya Putih, mengakibatkan pertarungan hebat di antara keduanya.
Hingga menghadaplah Buaya Putih kepada Sang Raja, laporkan semua ketamakan Buaya
Hitam. Sampai kepada tiba ajal Sang Raja, amanatkan Buaya Putih sebagai penerus
mahkota. Sementara Buaya Hitam, terjerat hukum dan harus bertafakur dalam
jeruji besi hingga menjemput ajalnya.
Tanpa
maksud memberi tanggapan atas fabel di atas, kembali nilai-nilai menjadi sebuah
representasi moral sinar xerox. Hitam-putih penghakiman, menjadi begitu mudah
ditasbihkan. Mungkin dengan sebab landasan didaktis-lah, dongeng maupun fabel
anak mengalami keseragaman gaya penceritaan. Mendatangkan suatu masalah, dengan
diikuti hadirnya sosok pahlawan nan agung.
Sebagian
memilih pasrah, dan mengalami saja suatu stagnansi yang ada. Perasaan serupa,
akhirnya hanya menguapkan sebuah kebosanan atau kejenuhan atas plot, alur,
serta tokoh yang digunakan. Namun perlu pula disyukuri, adanya kesetiaan
beberapa orang yang masih bertahan, dan memilih untuk tetap tinggal dalam varian-varian
pada jenis prosa yang satu ini. Sebab sejatinya, apresiasi mesti tetap dijalankan.
Menjadi sebuah sentilan sekaligus tegangan untuk para penulis dalam kreasikan
penciptaan, serta membebaskan diri dari kungkungan penulis lama.
***
Kejenuhan
serupa juga terjadi dalam kancah perpolitikan negeri. Bukan tentang Romantika
Cicak dan Buaya, atau Kenakalan Komo yang bikin macet mobil nasional dan
esemka, atau kisah persahabatan antar Pimpinan Garuda dan Banteng. Melainkan
tentang suguhan dongeng tersebut, yang menawarkan kisah cinta dengan level
manusia setengah dewa. Tak menentang tak pula mengamini ucapan Barthes
sepenuhnya, bahwa
“yang-sudah-sangat-jelas-sehingga-tidak-perlu-dikatakan-lagi”, suatu era
“serba-tidak-jelas” inilah yang justru menyebabkan sebuah dongeng menjadi kisah cinta yang rumit dan membosankan. Kita diposisikan
seperti sedang mengoperasikan pesawat tempur dengan segala pirantinya, membaca
kisah cinta penuh dengan manuver-manuver canggih atas plot, alur, serta tokoh.
Meski
terkadang menelikung rasa dan logika, pembacaan kisah cinta tetap harus
berlanjut dan diteruskan. Meski kejadian-kejadian buruk jadi semacam penguraian
retorik yang membingungkan, pengabaian
terhadap uraian kisah cinta tak boleh terjadi, dan perlu dihindari sekalipun
hanya dalam pikiran saja.
Terhadap
tawaran dongeng, yang memuat kisah cinta dengan aksi tipu-tipu, lobbying,
dan upeti. Cukuplah kiranya, dengan kita mengatakan bahwa kejahatan berkeliaran
lebih nyata dari Tuhan. Sebab tak ada pentingnya menghakimi masa lalu dan apa
yang tengah terjadi, serta tingkah lakon dan kejadian-kejadian buruk dalam diri
seseorang. Penghakiman tetaplah merupakan bentuk kejahatan juga. Penghakiman
boleh jadi hanya sebuah tindak kecerobohan.
Mengingat puncak kebaikan tertinggi tak terletak pada tingkah laku
seseorang, melainkan bertunas dalam pikiran.
Dengan
sedikit naif, saya tak bisa menafikan penghakiman akan tetap ada. Pembenaran-pembenaran
teatrikal hadir bersama para pembaca dan analisator, yang terus berkicau dan membanyol
tentang kekonyolan plot, alur, serta lakon tokoh yang tertawar di tiap kilasan
dongeng maupun fabel.
Tanpa
lebih dulu berdialektika, simpulan kisah cinta menjadi paranoia tersendiri. Seperti
di banyak jejaring media sosial, penghakiman ditasbihkan dari atas ranjang; di
stasiun-stasiun media massa, penghakiman ditasbihkan dari meja beranda. Menjadi
suatu perpanjangan lengan atas ritualisasi pengagungan sinar-sinar xerox.
Mengingat
tiadanya dunia yang begitu mudah untuk dihitam-putihkan, saya memilih untuk
tetap tinggal menjadi seorang anak yang membaca dongeng. Meski acapkali patah
hati, sebab tak bisa tidur nyenyak selagi menikmati kisah cinta. []
No comments:
Post a Comment