November 1, 2015

Makan Uduk, Teror, dan Masyarakat Indonesia

Pagi tadi, saya makan uduk bareng Chomsky dan Martin Griffith. Ke warung Mpok Mileh yang persis di belakang Mal Alam Sutera. Siapa tahu, seger-segernya AC Mal sampe ke situ. Sial, ternyata banyak AC yang rusak gegara kejadian kemarin. "...iye tuh, ade-ade aje tuh bocah. Udeh tue masih aje maenan petasan dalem mol," gerutu Mpok Mileh sambil pegang termos.

Di tengah goyangan pinggul Mpok Mileh yang lagi ngaduk teh manis, tiba-tiba si Aam---panggilan akrab Chomsky yang hobinya suka nyeletuk, "terorisme dapat dipahami sebagai ancaman atau penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik, agama, atau lainnya dengan cara-cara intimidasi, menimbulkan ketakutan, dan sebagainya yang diarahkan terhadap penduduk atau warga negara tertentu." Mpok Mileh still konsen tak goyah, bodo amat Aam, tetep ngaduk teh sambil goyang.

Tidak lama si Aam kelar, samber si Atin---panggilan akrab Griffith, tak mau kalah cerocosnya menambahkan, "terorisme bisa dilakukan siapa saja, dalam bentuk beragam, dan demi motif yang berbeda-beda..."

Dan sambil mata tetep fokus ke pinggul Mpok Mileh, si Atin ngelanjutin, "...rinciannya; (1) transnational organised crime atau kriminalitas yang beroperasi melintasi batas negara seperti perdagangan narkotika; (2) state sponsored terrorism atau negara yang memberi dukungan terhadap tindakan teror; (3) nationalistic terrorism atau gerakan di dalam negara yang mengacaukan ketertiban masyarakat seperti gerakan separatis; dan (4) ideological terrorism atau teroris yang mendasarkan aksinya pada prinsip-prinsip ideologi."

"Untung saja," kataku dalam hati, "si Atin buru-buru ngelarin ocehannya. Bisa-bisa disiram tiga gelas teh manis tuh sama Mpok Mileh pas balik badan. Heu heu!"






_______________________
Daftar Pustaka

Chomsky, Noam. 2003. Power and Terror: Post-9/11 Talks and Interviews. New York: Seven Stories Press.

Griffiths, Martin dan Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key
concept. London: Routledge.

July 25, 2015

Mencari Dikau dalam Nyanyi Sunyi


;sebuah kajian prematur puisi Amir Hamzah

INTRO

Bahasa merupakan sebuah sistem lambang atau tanda yang bersifat arbitrer, dan konvensional. Tanda-tanda tersebut memiliki makna tersendiri, dilihat dari interpretasi setiap orang. Seperti yang diungkapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo, bahwa bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem yang mempunyai arti.
Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna cat pada lukisan sebelum digunakan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa, sedangkan kata-kata, sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat.
Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti konvensional. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan konvensi masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut semiotik. Begitu juga ilmu yang mempelajari sistem tanda-tanda itu disebut semiotika.
Dalam memahami sebuah tanda, khususnya dalam sebuah karya sastra berupa puisi, setiap individu pasti memiliki interpretasi yang berbeda. Hal itu merupakan sebuah bentuk kewajaran yang pasti akan terjadi. Begitu juga dalam menginterpretasikan sebuah puisi, yang di dalamnya terdapat tanda-tanda (bahasa) yang memiliki makna tersendiri di balik tanda-tanda tersebut.
Dalam salah satu puisi karya Amir Hamzah yang berjudul Memuji Dikau terdapat juga tanda-tanda yang memiliki makna tersendiri. Amir coba menyampaikan sesuatu melalui tanda dalam sebuah karya sastra yang ia karang. Tanda itu dapat ditemukan setelah kita coba untuk mengkajinya dengan berbagai cara. Salah satunya menggunakan konsep semiotika Michael Riffaterre.
Kajian ini, menjadi alternatif untuk mengkaji sastra dari aspek semiotika. Selanjutnya, dimaksudkan untuk mengungkapkan bagaimana makna simbol-simbol dalam puisi Memuji Dikau karya Amir Hamzah.

REFFRAIN

Semiotik adalah ilmu yang pempelajari tentang tanda yang mempunyai makna. Tokoh dalam semiotik terdiri atas Ferdinand de Saussure, dan Charles Sander Pierce. Menurut Sariban, (2009:44-45) konsep Semiotik menurut Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa tanda mempunyai dua aspek, yakni penanda (signifier), dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formal yang menandai suatu petanda. Penanda adalah bentuk formal bahasa, sedangkan petanda adalah arti yang ditimbulkan oleh bentuk formal.
Semiotika, biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda, pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes, 1982: ix). Menurut Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Empat hal tersebut adalah: (1) puisi adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif), (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (Riffatere dalam Salam, 2009:3).
Untuk mengungkapkan makna secara semiotik, dapat dilakukan dengan kajian heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5-6). Heuristik merupakan langkah untuk menemukan makna melalui penkajian struktur bahasa dengan mengintrepetasikan teks sastra secara referensial lewat tanda-tanda linguistik. Langkah ini berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial, artinya bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal nyata. Pembacaan hermeneutik atau retroaktif merupakan kelanjutan dari pembacaan heuristik untuk mencari makna. Metode ini merupakan cara kerja yang dilakukan pembaca dengan bekerja secara terus menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak-balik dari awal sampai akhir (Riffattere dalam Sangidu, 2004: 19).
Pada puisi Memuji Dikau karya Amir Hamzah ini akan dikaji melalui analisis semiotik dengan beberapa aspek berikut, yaitu:

Analisis Heuristik

Langkah-langkah penerapan Heuristik adalah dengan mengkaji makna melalui teks atau bahasa secara harfiah dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata.
Dalam menerapkan Heuristik tidak menghiraukan kelengkapan atau kesempurnaan teks atau kondisi gramatikal. Sehingga apresiator dapat menambah ataupun mengurangi bentuk gramatikal yang ada guna menemukan makna yang terkandung dalam teks karya sastra itu sendiri.
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti bilamana perlu disimpan kata atau sinonim kata-katanya ditaruh dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif); bilamana perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti. Pembacaan heuristik puisi Memuji Dikau itu sebagai berikut.

Memuji Dikau

Kalau aku memuji dikau (tuhanku), (maka) dengan mulut (yang) tertutup (khidmat), (serta) mata (yang) terkatup (khusyuk),
(bersujudlah) Sujudlah segalaku (aku dengan segenap kesungguhan), diam terbelam (menjadi kabur dan suram), di dalam (pancaran cahaya) kalam asmara raya.
Turun kekasihmu (semata cahaya), mendapatkan daku (sedang) duduk bersepi, (dan ber-) sunyi sendiri.
Dikucupnya (dikecupnya) bibirku, dipautnya (dilekat-dekapnya) bahuku, digantunginya (dilingkarinya) leherku (berkalung di leher aku),
(dalam peluk yang) hasratkan suara sayang semata (belaka; semaunya tiada kecualinya).
Selagi hati (ku tengah) bernyanyi, (di) sepanjang sujud (ku yang) semua segala (segalaku; dengan segenap kesungguhan),
(lantas) bertindih ia pada pahaku, meminum (mereguk; merasai nikmat) ia akan suaraku….
Dan,
Ia pun (kembali) melayang (dan) pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.

Tentu saja pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak yang sebenarnya. Pembacaan ini terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama, yaitu konvensi bahasanya.

Analisis Hermeneutik

Langkah-langkah penerapan Hermeneutik adalah dengan mengkaji makna melalui pembacaan yang berulang-ulang dengan meramalkan makna yang terkandung secara tersirat pada karya sastra itu sendiri dengan menggunakan segenap pengetahuan yang dimiliki
Dalam menerapkan Hermeneutik memperhatikan segala bentuk kode yang ada diluar kode bahasa guna menemukan makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Pembacaan hermeneutik itu sebagai berikut. Memuji Dikau mengiaskan bahwa

CODA

Karya sastra merupakan suatu hasil cipta seseorang. Seorang pencipta karya, biasanya membuat suatu karya, dengan maksud dan tujuan tertentu. Karya sastra dari Aslan Abidin, misalnya, dalam puisinya yang berjudul Lirisme Buah Apel yang Jatuh ke Bumi, penyair mencoba menyampaikan suatu pengalaman hidup yang pernah ia alami. Dengan menggunakan banyak perlambangan.
Dalam karya tersebut, Aslan Abidin memberikan tanda-tanda yang setiap tanda itu memiliki makna tersendiri. Kata itu dapat kita interpretasikan dengan akal pikiran kita. Meskipun pada kenyataanya belum tentu apa yang kita interpertasikan sepaham dengan pemikiran atau maksud yang ingin disampaikan oleh penyair tersebut.

———————————————

Daftar Pustaka

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Blamington & London: Indiana University Press.
Fauzi, Ahmad. 2013. Kajian Semiotika. Jogjakarta: Pustaka Ilmu.
Abidin, Aslan. 2008. Bahaya Laten Malam Pengantin. Makassar: Ininnawa.
KBBI

July 19, 2015

Sebuah Romantika Klise

Pada dongeng maupun fabel, seusai pembaca menyelesaikan bacaannya acapkali hanya memiliki satu simpulan utuh. Semisal dalam pelbagai serial dongeng anak, fabel Si Kancil dan Buaya. Yang dengan kecerdikan kancil, posisikan Buaya selalu kalah dan tertipu. Demikianlah yang selalu diajarkan guru pada muridnya, pembaca pada pendengarnya−meski dalam realitasnya, Buaya tetap menjadi sosok yang menakutkan. Nilai-nilai “yang-sudah-mapan” tersebut, menjadi  formula dalam dongeng maupun fabel lainnya, seperti dalam Buaya Putih dan Buaya Hitam. Barangkali untuk fabel yang satu ini, tak banyak pembaca mengetahui tentang bagaimana ceritanya.
Tersebut suatu Istana Buaya, pada suatu masa hiduplah seekor Raja yang tinggal menjelang ajalnnya. Sementara banyak Rakyatnya yang masih bertarung dengan kelaparan, maka atas titah Sang Raja bergeraklah dua ekor Buaya sebagai diplomat kerajaan. Buaya Putih dan Hitam memiliki misi yang sama, yakni membagikan daging rusa kepada rakyatnya, dan memastikan semua terbagi dengan adil. Namun nampaknya Buaya Hitam tak menaati titah Sang Raja, ia malah melahap sendiri daging-daging rusa dan membiarkan rakyat terus kelaparan hingga menjelang kematian. Hal ini kemudian diketahui oleh Buaya Putih, mengakibatkan pertarungan hebat di antara keduanya. Hingga menghadaplah Buaya Putih kepada Sang Raja, laporkan semua ketamakan Buaya Hitam. Sampai kepada tiba ajal Sang Raja, amanatkan Buaya Putih sebagai penerus mahkota. Sementara Buaya Hitam, terjerat hukum dan harus bertafakur dalam jeruji besi hingga menjemput ajalnya.
Tanpa maksud memberi tanggapan atas fabel di atas, kembali nilai-nilai menjadi sebuah representasi moral sinar xerox. Hitam-putih penghakiman, menjadi begitu mudah ditasbihkan. Mungkin dengan sebab landasan didaktis-lah, dongeng maupun fabel anak mengalami keseragaman gaya penceritaan. Mendatangkan suatu masalah, dengan diikuti hadirnya sosok pahlawan nan agung.
Sebagian memilih pasrah, dan mengalami saja suatu stagnansi yang ada. Perasaan serupa, akhirnya hanya menguapkan sebuah kebosanan atau kejenuhan atas plot, alur, serta tokoh yang digunakan. Namun perlu pula disyukuri, adanya kesetiaan beberapa orang yang masih bertahan, dan memilih untuk tetap tinggal dalam varian-varian pada jenis prosa yang satu ini. Sebab sejatinya, apresiasi mesti tetap dijalankan. Menjadi sebuah sentilan sekaligus tegangan untuk para penulis dalam kreasikan penciptaan, serta membebaskan diri dari kungkungan penulis lama.
***
Kejenuhan serupa juga terjadi dalam kancah perpolitikan negeri. Bukan tentang Romantika Cicak dan Buaya, atau Kenakalan Komo yang bikin macet mobil nasional dan esemka, atau kisah persahabatan antar Pimpinan Garuda dan Banteng. Melainkan tentang suguhan dongeng tersebut, yang menawarkan kisah cinta dengan level manusia setengah dewa. Tak menentang tak pula mengamini ucapan Barthes sepenuhnya, bahwa “yang-sudah-sangat-jelas-sehingga-tidak-perlu-dikatakan-lagi”, suatu era “serba-tidak-jelas” inilah yang justru menyebabkan sebuah dongeng menjadi  kisah cinta yang rumit dan membosankan. Kita diposisikan seperti sedang mengoperasikan pesawat tempur dengan segala pirantinya, membaca kisah cinta penuh dengan manuver-manuver canggih atas plot, alur, serta tokoh.
Meski terkadang menelikung rasa dan logika, pembacaan kisah cinta tetap harus berlanjut dan diteruskan. Meski kejadian-kejadian buruk jadi semacam penguraian retorik yang membingungkan,  pengabaian terhadap uraian kisah cinta tak boleh terjadi, dan perlu dihindari sekalipun hanya dalam pikiran saja.
Terhadap tawaran dongeng, yang memuat kisah cinta dengan aksi tipu-tipu, lobbying, dan upeti. Cukuplah kiranya, dengan kita mengatakan bahwa kejahatan berkeliaran lebih nyata dari Tuhan. Sebab tak ada pentingnya menghakimi masa lalu dan apa yang tengah terjadi, serta tingkah lakon dan kejadian-kejadian buruk dalam diri seseorang. Penghakiman tetaplah merupakan bentuk kejahatan juga. Penghakiman boleh jadi hanya sebuah tindak kecerobohan.  Mengingat puncak kebaikan tertinggi tak terletak pada tingkah laku seseorang, melainkan bertunas dalam pikiran.
Dengan sedikit naif, saya tak bisa menafikan penghakiman akan tetap ada. Pembenaran-pembenaran teatrikal hadir bersama para pembaca dan analisator, yang terus berkicau dan membanyol tentang kekonyolan plot, alur, serta lakon tokoh yang tertawar di tiap kilasan dongeng maupun fabel.
Tanpa lebih dulu berdialektika, simpulan kisah cinta menjadi paranoia tersendiri. Seperti di banyak jejaring media sosial, penghakiman ditasbihkan dari atas ranjang; di stasiun-stasiun media massa, penghakiman ditasbihkan dari meja beranda. Menjadi suatu perpanjangan lengan atas ritualisasi pengagungan sinar-sinar xerox.

Mengingat tiadanya dunia yang begitu mudah untuk dihitam-putihkan, saya memilih untuk tetap tinggal menjadi seorang anak yang membaca dongeng. Meski acapkali patah hati, sebab tak bisa tidur nyenyak selagi menikmati kisah cinta. []